Oleh Hendrajit 

(Pengkaji Geo- Politik dan Direktur Executive The Global Review )

Bangsa kita, termasuk lapis kepemimpinan pusat maupun daerah, cenderung meributkan simptom atau gejala, tapi nggak pernah meributkan diagnosis penyakitnya.

Simptom gejalanya sesak-sesak napas dan mual-mual, disimpulkan langsung oleh para dokter konvensional sebagai penyakit lambung akut. Alhasil, resep obatnya adalah untuk mengobati lambung. Jadinya ya nggak sembuh-sembuh atau makin parah.

Kenapa, karena begitu didiagnosis dokter spesialis penyakit dalam seperti dokter Ali Sulaeman, gejala mual dan sesak napas itu bukan sakit lambung, tapi aktifnya hypo teroid. Bukan sakit lambung. Maka hanya seminggu pasien itu sembuh. Diagnosis tepat, resep obatnya juga tepat.

Para pakar ekonomi kita cara pandangnya tidak seperti dokter Ali Sulaeman yang tidak percaya begitu saja gejala yang sama berarti penyakitnya ya sama.

Dalam membaca krisis nasional, para pemimpin dan elit juga gitu. Ribut dan fokus meributkan gejala bukannya diagnosis. Utang kita rp 7 triliun, ribut. Utang kita rp 7 ribu triliun tapi cadangan devisa nasional kita nggak sampai rp 2 ribu triliun, pada panik dan ribut. Juga nggak bikin diagnonis apa betul gejala utang lebih gede daripada cadangan devisa negara itu memang penyakit ekonomi.

Padahal itu baru simptom gejala. Belum diagnosis apa betul itu penyakit ekonomi atau jangan2 berakar pada penyakit sosial dan budaya bangsa. Atau penyakit kemanusiaan. Sehingga gejala ekonomi sebenarnya hampir kayak gejala sesak napas dan mual yang langsung disimpulkan sebagai penyakit lambung. Padahal gejala yang sama bisa juga berarti penyakit hypo teroid.

Kenaikan BBM awalnya juga beranjak dari kekuatiran dan kepanikan bahwa utang kita yang 7 ribu triliun itu nggak sebanding dengan tabungan negara yang nggak sampai 2 ribu triliun. Maka neraca harus diseimbangkan.

Sri Mulyani, lepas dari dirinya yang menganut paham bahwa IMF dan Bank Dunia lah satu satunya dokter ekonomi yang punya resep cespleng, Sri Mulyani sebagai ekonom tidak bertindak secara metodis seperti dokter Ali Sulaeman.

Alhasil, dengan cara itu, Sri Mul mematuhi pakem IMF dan bank dunia, bahwa kalau utang lebih besar daripada tabungan, berarti kan lebih besar pasak daripada tiang kan. Maka utang lagi buat nutup utang lama.

Tapi sang pengutang ini juga pada dasarnya cuma satpam mafia global, maka terselip agenda: kalau mau utang lagi, tolong itu ya sunat atau cabut subsidi2 sektor rakyat seperti pangan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat.

Maka disusunlah strategi pencabutan subsidi sektor rakyat tidak secara langsung. Yaitu dengan jalan memutar. Maka Jokowi pun mulai berdendang. Ada 70 persen kelompok ekonomi.kuat yang memanfaatkan subsidi BBM.

Pernyataan Jokowi inilah yang jadi dasar tim ekonomi presiden untuk menggulirkan kenaikan BBM seolah olah untuk memerangi orang kaya.

Padahal ini.adalah skenario politik untuk pencabutan subsidi sektor kerakyatan. Karena dengan kenaikan BBM ini, efek domino kenaikan harga akan meluas ke berbagai sektor. Harga 9 pokok naik, biaya pendidikan sekolah naik, biaya pelayanan kesehatan naik, dst. Satu naik memantik kenaikan harga lainnya.

Soalnya sekarang, kenapa dalam situasi sensitif seperti sekarang jokowi dan tim harvard mafia justru bertindak nekad?

Yang jelas, sekali tembak dua burung lumpuh. Skenario neoliberal memuluskan agenda konsensus washington seperti privatisasi BUMN, buka kran impor seluas luasnya dan pencabutan subsidi sektor2 rakyat, dengan kenaikan BBM ini sekarang berada di atas angin. Bahkan dengan kenaikan BBM ini, pencabutan subsidi sektor rakyat sudah berproses akibat efek domino kenaikan harga.

Solusinya, siklus krisis ekonomi dari era suharto hingga reformasi harus diputus. Orde Baru beranggapan bahwa krisis politik era Sukarno mengakibatkan krisis ekonomi. Maka solusinya, ekonomi jadi panglima sebagai antitesis suharto terhadap era sukarno.

Tapi Suharto pun jatuh akibat krisis ekonomi. Penanggulangan krisis ekonomi pasca suharto pun juga ekonomi. Sehingga siklus krisis ekonomi pun berlanjut terus berjalan.

Untuk memutus siklus krisis ekonomi ini, para pakar inkonvensional seperti dokter Ali Sulaeman lah yang bangsa ini butuhkan. Yang memandang dua simptom gejala yang sama belum tentu berakar pada jenis penyakit yang sama.

Bukan pakar-pakar konvensional macam Sri Mulyani yang selalu berkutat pada simptom gejala langsung nulis resep obat. Dan ternyata resepnya beracun.***