JAKARTASATU.COM – LP3ES (2 sd 4 September 2022) kembali mengadakan sekolah demokrasi. Ini merupakan sekolah demokrasi kelima setelah sebelumnya tiga kali di Indonesia (pada Februari 2020, Agutus 2020 dan Agustus 2021) dan 1 kali di Belanda pada Juni 2022.
Sekolah Demokrasi kali ini diadakan dengan format hybrid. Peserta luring di kantor LP3ES Jakarta 12 orang dan 100 lainnya bergabung dari seluruh Indonesia dari Aceh Hingga Papua, dari Maluku hingga Nusa tenggara, termasuk Kalimatan, Sulawesi, Jawa, dan Bali. Seperti sebelumnya, para peserta berasal dari beragram profesi seperti akademisi, jurnalis, politisi, penyelenggara pemilu, dan pengusaha. Dari sisi gender, 70% peserta adalah pria dan 30% adalah perempuan.
Sebagai satu forum yang ditujukan untuk membangun dialog, keragaman peserta ini penting dan selalu menjadi karakter utama sekolah demokrasi LP3ES. Keragaman ini juga tercermin dari sisi pemateri di mana pembicara Sekolah Demokrasi juga dihadiri oleh para intelektual dari luar negeri seperti Ward Berenschot dari Universitas Amsterdam, Sylvia Tidey dari Universitas Virginia dan dalam negeri seperti Budi Setiyono dari Universitas Diponegoro, dan Herlambang P Wiratraman dari Universitas Gajah Mada. Bertindak sebagai pembicara, Sekolah Demokrasi kali ini juga menghadirkan Agus Harimurti Yudhoyono yang merupakan ketua umum Partai Demokrat dan Fadli Zon yang merupakan Sekjend Partai Gerindra.
Pada penutupan sekolah demokrasi pada Minggu 4 September diadakan seminar beratjuk “Peta Jalan Konsolidasi Demokrasi 2045”. Menjadi pembicara dan penanggap antara lain: Agus Harimurti Yudhoyono (Partai Demokrat), Fadli Zon (Partai Gerindra), Sekarwati (Partai Golkar), Budi Setiyono (UNDIP) dan Wijayanto (UNDIP/LP3ES).
Di penghujung Sekolah Demokrasi, Wijayanto, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES mengeluarkan rilis hasil riset yang merupakan hasil kerjasama dengan Lab45 tentang Peta Jalan Konsolidasi Demokrasi 2045 yang berisi poin-poin sebagai berikut:
1. Hari ini Indonesia tengah mengalami tren kemunduran demokrasi yang paling serius sejak era reformasi. Dengan melihat sejarah pasang surut demokrasi sejak republik berdiri, maka pasang surut demokrasi merupakan bagian yang mewarnai dinamika sejarah politik Indonesia. Setelah masa awal kemerdekaan yang dipenuhi semangat untuk membangun demokrasi pada awal kepemimpinan Presiden Sukarno (1945-1955), gelombang regresi mengikuti (1956-1958) dan bahkan tendensi otoriter terjadi pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pada masa Orde Baru (1965-1998) otoriterisme pada masa kepemimpinan Suharto. Pada era reformasi pada awalnya demokratisasi berlangsung dengan penuh semangat (1998-2009) namun segera diikuti periode stagnasi (2009-2015) bahkan regresi (2016-sekarang). Mencermati pasang surut ini, maka satu kajian untuk merumuskan peta jalan dan mendorong konsolidasi demokrasi perlu dilakukan.
2. Jika kita menelaah literatur ilmu politik selama lima tahun terakhir, kajian tentang kemunduran demokrasi telah banyak dilakukan namun sebagian besar masih berfokus pada perkembangan terbaru atau situasi kontemporer. Dalam hal ini, satu studi yang secara serius melakukan refleksi atas masa lalu, melakukan analisa atas situasi terkini dan melakukan proyeksi ke masa depan dalam satu narasi yang utuh masih jarang dilakukan. Untuk itu studi ini juga bermaksud untuk mengisi celah dalam literatur tersebut dan merumuskan peta jalan guna mencegah regresi demokrasi dan sekaligus mendorong terwujudnya konsolidasi demokrasi di Indonesia.
3. Kajian ini menerapkan metode penelitian kualitatif dengan beberapa metode pengumpulan data: Pertama, kajian literatur atau studi dokumen. Dokumen yang dimaksud berasal dari berbagai sumber tertulis, seperti buku, jurnal, majalah, koran, dan laporan riset dan dokumen tertulis lainnya. Kedua, pengumpulan data dilakukan melalui penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) secara daring. Topik FGD terbagi atas delapan kelompok yang dalam masing-masing penyelenggaraanya terdiri atas 4-5 narasumber dan dimoderatori oleh anggota inti tim. Pemilihan narasumber FGD serta pengelompokan ke dalam topik-topik yang disepakati ditentukan melalui rapat internal dengan memperhatikan kepakaran, publikasi, serta track record mereka dalam isu-isu demokrasi di Indonesia. Secara total terdapat 37 narasumber yang diundang dengan waktu penyelenggaraan pada 2-26 Juni 2022. 16 narasumber di antaranya berasal dari Indonesia sementara 21 orang sisanya berasal dari negara lain seperti Norwegia, Jerman, Perancis, Filipina dan Belanda. Ketiga, untuk melengkapi hasil temuan dari penyelenggaraan FGD, tim peneliti juga melakukan wawancara mendalam secara daring dengan beberapa tokoh demokrasi Indonesia, baik yang berada di dalam maupun di luar pemerintahan. Keempat, untuk memvalidasi hasil penelitian, tim penulis turut mengundang tiga penelaah naskah eksternal yang mempunyai keahlian dan spesialisasi tentang demokrasi untuk memberikan masukan terhadap naskah.
4. Berdasarkan studi yang dilakukan, kajian ini mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi akar masalah yang menyebabkan kemunduran demokrasi di Indonesia: struktural, kultural, institusional dan agensi. Demi mendorong konsolidasi demokrasi Indonesia, studi ini mengindentifikasi langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengtasi permasalahan yang ada. Namun, mengingat demikian banyaknya faktor yang menyebabkan kemunduran demokrasi studi ini juga mengajukan skala prioritas peta jalan konsolidasi yang dapat dilihat pada gambar berikut ini (lihat gb Peta Demokrasi):
5. Dari gambar di atas, kajian ini memetakan tiga skala prioritas untuk mengatasi masalah-masalah demokrasi kita: pertama, permasalahan yang mestinya sudah kita mulai penyelesaiannya hari ini dan kita tuntaskan dalam 2 kali pemilu yaitu pada pemilu 2029. Pada kategori pertama ini antara lain: mengatasi politik uang dengan reformasi sistem pemilu, reformasi internal partai politik, transformasi lembaga penegak hukum, memperkuat fungsi media, membatasi politik dinasti dan membangun kekuatan penyeimbang dengan oposisi yang kuat. Prioritas kedua adalah mengatasi permasalahan yang mestinya sudah kita mulai penyelesaiannya hari ini dan kita tuntaskan dalam 3 kali pemilu yaitu pada pemilu 2034. Pada kategori kedua ini antara lain: memperkuat masyarakat sipil, mematangkan skema welfare state dan pemeberantasan korupsi. Prioritas ketiga adalah mengatasi permasalahan yang mestinya sudah kita mulai penyelesaiannya hari ini dan kita tuntaskan dalam 3 kali pemilu yaitu pada pemilu 2045. Pada kategori kedua ini antara lain: membatasi gerak oligarkhi, meningkatkan literasi politik, memperkuat multikulturalisme dan mewujudkan kaderisasi calon pemimpin bangsa.
6. Dari semua skala prioritas yang diajukan, kajian ini meyakini bahwa prioritas pertama semestinya diberikan pada menjawab permasalahan dan melakukan pembenahan di ranah elektoral, terutama politik uang. Mengatasi politik uang dalam pemilu merupakan agenda yang sangat realistis untuk dilakukan karena bahkan hampir semua politisi juga mengeluhkan hal ini, yang menemukan justifikasi dari sisi akademik tentang betapa bahayanya politik uang untuk demokrasi. Meminimalisir politik uang juga bisa menjadi agenda strategis yang berdampak pada banyak sektor lainnya, karena ia akan melahirkan para pemimpin yang lebih dekat kepada warga negara yang harapannya nantinya akan bisa menghasilkan berbagai kebijakan politik yang lebih berpihak kepada warga. Politik uang menghasilkan politik biaya tinggi yang ada akhirnya menghadirkan berbagai hal yang tidak diharapkan, yaitu di antaranya korupsi, ketergantungan pada pimpinan partai, dan pertukaran konsesi kuasa-uang antara partai dengan pengusaha yang kemudian membuka peluang para oligark menguasai partai secara tidak langsung. Insituasi yang membahayakan kualitas demokrasi.
7. Atas masalah tersebut beberapa agenda dapat dilakukan adalah: Pertama, reformasi sistem elektoral, seperti penyederhanaan syarat masuk untuk menjadi partai dan peserta pemilu , penurunan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, modifikasi sistem suara terbanyak dalam penetapan calon terpilih anggota DPR/DPRD, dan pembatasan masa kampanye menjadi lebih singkat.
8. Reformasi elektoral kedua dilakukan terkait syarat membentuk partai dan peserta pemilu terlalu berat terkait dengan sebaran kepengurusan dan keanggotaan, dan administrasi kantor partai yang relevansinya perlu ditinjau kembali di era digital ini. Demikian pula ambang batas pencapresan sebesar 20% dari jumlah kursi di DPR atau 25% dari jumlah suara partai dalam pemilu sebelumnya merupakan angka yang sangat tinggi yang rentan dengan suap dan oligarki terlibat dalam proses itu secara dalam, karenanya ambang batas itu perlu diturunkan setidaknya sama dengan ambang batas partai untuk dapat masuk di parlemen. Sistem suara terbanyak dalam penetapan calon terpilih dimodifikasi dengan memperhatikan peran partai dalam menetapkan calon terpilih jika calon tidak mencapai persentase tertentu dari suara yang memilih tanda gambar partai.
9. Reformasi electoral ketiga dilakukan terkait meningkatkan bantuan keuangan partai politik. Bantuan partai dari negara saat ini terlalu kecil dari kebutuhan. Atas partai yang memperoleh kursi di DPR/DPRD, Partai di tingkat Pusat mendapat bantuan Rp.1.000, -/suara, tingkat Provinsi Rp.1.200,-/suara dan tingkat Kabupaten/Kota Rp.1.500,-/suara. Studi KPK (2018), saat ini pendanaan partai dari berbagai sumber resmi hanya mampu mencukupi sekitar 1,32-2,34% dari kebutuhan partai. Kajian KPK yang menyimpulkan bahwa partai politik di Indonesia membutuhkan anggaran Rp. 16.922,-/suara perlu mendapat perhatian sebagai skema besaran peningkatan bantuan keuangan partai. Peningkatan bantuan keuangan partai tersebut juga harus diiringi dengan pengaturan penggunaan, transparansi dan akuntabilitas.
10. Reformasi elektoral keempat terkait pemanfaatan AI (Artificial Intelligence) untuk integrasi tata kelola elektoral. Mekanisme tata kelola pemilu di ranah partai, ranah penyelenggara pemilu, pemilih, dan pemerintah harus diintegrasikan sedemikian rupa untuk efektivitas dan efisiensi proses pemilihan. Dengan pemanfaatan AI tersebut, kerja-kerja politik partai dalam pemilihan akan semakin mudah dan murah, demikian pula kerja dengan penyelenggara pemilu akan semakin mudah. Perkembangan AI yang semakin canggih akan membantu banyak hal, tanpa mengabaikan keamanan siber.
11. Akhirnya tawaran peta jalan dan periodesaisi di atas baru akan terwujud jika kita sebagai bangsa berjuang bersama untuk mewujudknnya. Masyarakat sipil: akademisi, aktivis, jurnalis, perlu terus mendesakkan agenda progressive ini di ruang publik terutama menjelang periode elektoral seperti saat ini. Pemilu perlu membahas masalah-masalah substantive di atas, dan para kandidat presiden maupun legislative harus bersedia membahas masalah-masalah demokrasi kita sehingga pesta elektroal sekaligus merupakan satu festival gagasan yang bermakna bagi ikhtiar mendorong konsolidasi demokrasi. | RED-JAKSAT