M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.(foto ajiesukma/JakSat)

by M Rizal Fadillah

Muncul di media sosial bahwa sebagian monas sudah dipagari kawat berduri. Tujuannya tentu untuk menghalangi aksi penyampaian aspirasi. Seorang pengacara senior menyatakan bahwa tindakan suka-suka memasang kawat berduri ditempat manapun yang pemerintah atau aparat mau dengan tujuan menghalangi aksi adalah pelanggaran hak asasi. Pernyataan ini rasanya ada benarnya.

Bahwa menjaga keamanan di sekitar area vital seperti Istana Kepresidenan tentu sangat difahami akan tetapi cara menjaga keamanan tidak boleh sampai membatasi masyarakat untuk masuk area agar “terjangkau suaranya” oleh pemangku kekuasaan. Membungkam suara dan membungkam area untuk bersuara adalah pelanggaran hak rakyat untuk menyampaikan pendapat.

Pengamanan standar seperti water canon, pasukan huru hara, atau sejenisnya merupakan hal yang wajar dan memiliki alasan hukum. Tetapi memasang kawat berduri yang bukan untuk menghadapi perang atau serangan yang masif adalah berlebihan. Sekedar menghadapi aksi tidaklah patut untuk dihadang dengan pemasangan kawat berduri apalagi di tempat semaunya. Rakyat bukanlah musuh negara.

Menurut UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum area pengecualian tertentu seperti Istana Kepresidenan, Instansi Militer, dan obyek vital negara diatur jarak pengunjuk rasa. Menurut Penjelasan Pasal 9 ayat (2) butir a. radius Istana Kepresidenan adalah 100 Meter dari pagar luar. Untuk instansi Militer 150 Meter, dan obyek vital negara yaitu 500 Meter.

Pembatasan apapun tentu tidak boleh membahayakan bagi pengunjuk rasa. Oleh karenanya pemasangan kawat berduri apalagi melebihi jarak yang ditentukan oleh Undang-Undang adalah pelanggaran dan membahayakan. Kawat berduri juga pernah atau selalu dipasang di depan gerbang gedung DPR saat demo mahasiswa.

Demikian juga dengan menakut-nakuti peserta aksi dengan pasukan bersenjata secara berlebihan merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia. Brimob sebagai organ Kepolisian sering menampilkan sosok sebagai angkatan bersenjata. Fungsi TNI yang telah diambil alih. Kemerdekaan berpendapat (freedom of speech) dan bebas dari ketakutan (freedom from fear) adalah hak asasi yang dijamin oleh konstitusi dan piagam dunia.

Ayo amankan unjuk rasa tanpa harus mengerahkan pasukan bersenjata dan pemasangan kawat berduri. Kita ini sesama anak bangsa yang tidak sedang berperang. Menjaga demokrasi harus berdasar kemanusian yang adil dan beradab. Rakyat tidak ingin membuat kerusuhan tetapi pasukan-pasukan penyusup “buatan” lah yang sering dibiarkan merajalela dan memantik kerusuhan.

Kawat berduri adalah simbol arogansi dan ambisi untuk melindungi pemimpin yang buta dan tuli serta kehilangan nurani. Tidak ada empati pada penderitaan rakyat yang baru didera pandemi. Naiknya harga BBM yang dimintakan turun demi perut rakyat tidak pantas dihadapkan dengan kawat berduri.

Kawat berduri yang menghadang aspirasi adalah melanggar hak asasi. Pelanggaran itu harus dilawan dengan gagah berani. Istana bukan tempat suci yang harus dilindungi. Istana harus dibersihkan dari oligarki penikmat kebohongan tentang subsidi.
Mereka adalah Jokowi dan kroni.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 12 September 2022