By. MUHAMMAD NUR LAPONG
Direktur LBH & Research Centre ForJIS
Perdebatan soal Konstitusi Negara UUD 1945, sejak pro kontra Amademen UUD 1945 sampai pasca ditetapkan UUD 2002 sebagai UUD 1945 hasil Amandemen 4 kali dalam satu rangkaian perubahan sejak 1999 -2002 telah terjadi saat dimulainya Amandemen.
PDIP sebagai partai pemenang pemilu pertama reformasi di era Habibie yang berhasil meraih suara 35,62 juta suara (33,75%), dengan perolehan kursi di parlemen 154 kursi diharapkan menjadi ujung tombak perubahan konstitusi negara UUD 1945 yang saat itu diharapkan bisa menampung tuntutan eforia reformasi yang berhasil menumbangkan pemimpin Orde Baru Suharto.
Soal ini menjadi tidak mulus di tubuh PDIP karna mendapat tantangan keras dari kelompok yang menolak Amandemen UUD 1945, oleh tokohnya Amin Aryoso dan Permadi, SH. Akhirnya kelompok yang setujulah yang dipimpin oleh Jacob Tobing mantan Tokoh Partai Golkar yang loncat ke PDIP kemudian memenangkan pertarungan ini di PDIP, dan bersama partai lain yakni Golkar, PAN, PKB, PBB, PPP, Fraksi TNI/Polri, Utusan Daerah dan Golongan menuntaskan Amademen UUU 1945 pada tahun 2002.
Kelompok tidak puas dan penetangan atas Amandemen ini terus berlanjut hingga hari ini, sederet tokoh seperti Jend. Purn. Tri Sutrino mantan Wakil Presiden RI., Ridwan Saidi Tokoh Cendekiawan Muslim, Ir. Soleh Khalid mantan Ketum PB. HMI, Sri Bintang Pamungkas, Taufiqurrahman Ruqi mantan Ketua KPK, dr. Zul Eko Mei dll. Terus kemudian mewarnai perdebatan pro kontra Konstitusi kembali ke naskah asli UUD 1945 hingga hari ini.
Perdebatan ini menjadi penting dan serius karena menyangkut soal konstitusi negara, yang bukan saja menjadi rujukan dasar bagi semua anak bangsa dalam bernegara tetapi juga menjadi pondamen dasar institusi negara dalam menjalankan roda pemerintahan.
Dalam sejarahnya perdebatan panjang (konstitusi) dalam bernegara di negeri ini sudah terjadi tarik menarik kepentingan sejak Indonesia baru merdeka seumur jagung, yakni dengan di mulainya negara Boneka oleh povokasi Van Mook melalui Konferensi kenegaraan lebih dikenal sebagai Majelis Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federale Overleg atau BFO) yang dilanjutkan dengan Komprensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan Pada tanggal 14 November tahun 1949 dengan UUD RIS.
Namun belum cukup setahun UUD RIS diamputasi menjadi UUDS 1950 dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, tetapi Konstituante gagal membentuk konstitusi baru hingga berlarut-larut. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi kembali berlakunya UUD 1945.
Hari ini bangsa Indonesia kembali di pertontonkan perdebatan Konstitusi Negara antara yang pro Konstitusi UUD 1945 Asli vs Konstitusi UUD 45 ala 2002, dalam usia 77 tahun Indonesia merdeka. Perdebatan ini di perkirakan makin seru karena sudah masuk pada tatanan politik institusi kenegaraan setelah secara terbuka Ketua Dewan Perwakilan Daerah, AA LaNyalla Mahmus Mattalitti secara terang terang di berbagai forum menyampaikan gagasannya untuk kembali ke UUD 1945 melalui naskah yang ditulisnya berjudul : PETA JALAN MENGEMBALIKAN KEDAULATAN DAN MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT.
Jika perdebatan konstitusi ini belum berkesudahan dan (tuntas) seperti idealnya konstitusi suatu negara yang berwibawa, berdaulat dan merdeka, Hal ini akan menunjukkan betapa riskannya posisi dan situasi (ipoleksosbudmil) negara Indonesia dalam percaturan global yang sedang menyongsong era baru revolusi 4.0. yang terus berkembang, bahkan situasi eonomi-politik yang unpredictible yang muncul baik dari situasi dari dalam negeri maupun dari dunia luar.
Bagi saya sendiri Perubahan UUD 1945 yang kita kenal dengan amandemen tahun 1999-2022 adalah soal sejarah dan jati diri berbangsa yang semestinya tidak hilang atau menjadi kabur sebagai ontentikasi ke Indonesiaan, serta soal kerancuan perubahan UUD 1945. Banyak pakar menilai bahwa perubahan kemaren terhadap UUD 45 bukan lagi amandemen tertapi membuat UUD baru yang sama sekali jauh dari frasa Grand Norm Pancasila, UUD 45 menjadi liberal, individualis dan bernuansa federal, sangat kental bercita rasa copy paste asing, dan tidak sepenuhnya lagi berjatidiri original bangsa Indonesia. Maka tidak heran jika suara suara lantang mengenai dana dana asing sangat lekat dikaitkan dengan proses amandemen UUD 1945 tersebut.
Konstitusi kita semestinya otentik Indonesia, karena sejarah yang menuliskannya dari para the Founding Fathers kita itu dilaluinya dengan perjuangan hidup mati dan pengorbanan darah dan air mata mereka dan kawan kawannya. Bukan oleh suatu eforia reformasi hasil hengky pengky tawar menawar dari para delegasi kepentingan – copy paste asing, yang malah kebablasan karena justru di daerah asal demokrasi di barat seperti Inggeris, Amerika tidak seperti itu.
Di Inggeris, negara dimana JJ. Roessou dan Montesque diexplore teorinya justru menggunakan demokrasi yg mengenal utusan Golongan (utusan para bangsawan/Lord Council) seperti yg ada di UUD 45 Naskah Asli.
Di Amerika Serikat sebagai Kampiumnya demokrasi justru pemilihan menggunakan pemilihan ala keterwakilan bukan one man one vote, makanya obama yang kulit hitam akhirnya bisa menikmati jadi presiden. Di Indonesia dengan sistem one man one vote dengan dominasi kultural yg masih tradisional maka yang akan jadi presiden adalah hanya orang jawa karena voters terbesar, dan ini lambat laun bisa menimbulkan sentimen kesukuan yang akan menjurus kepada perpecahan.
Keinginan agar konstitusi kita seperti di AS walau sudah puluhan kali mengamandemen konstitusinya, tetapi naskah konstitusinya tetap asli seperti awalnya para the founding fathers mereka saat membuatnya. Mengapa bisa demikian karena pasal hasil amandemen itu di letakkan diluar konstitusi aslinya menjadi pasal adendum. Jadi keaslian konstitusi mereka tetap terjaga seperti semangat awal negaranya pada saat para the founding fathers mereka membuatnya.
Tidak seperti konstitusi kita saat ini menjadi amburadul, antara konteks Batang Tubuh yang diacak acak itu dengan Pembukaan menjadi dis harmoni apalagi dengan Pancasila sebagai Grand Norm bangsa Indonesia.
Ada satu contoh kerancuan dan sangat prinsip soal perubahan UUD 45 oleh para the new founding fathers palsu, adalah Pasal 33 UUD 45, pada point 4 tertulis kata “demokrasi ekonomi”, yang dinilai lekat sebagai pasal pesanan asing dan para kapitalis, itu sangat bertentangan dengan nilai falsafah “Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Mengapa? Karena para the founding father kita dulu melihat bagaimana nasib pribumi yang disebut inlander yang kadang di persamakan dengan sebutan “binatang” menjadi warga negara kelas 3, setelah Belanda, China dan Arab sebagai tuan di negeri ini dulu di era penjajahan. The founding fathers kita melihat – bagai mana bisa demokrasi ekonomi yg intinya meletakkan (persaingan sehat oleh pasar) kepada pribumi yg terjajah ratusan tahun, dimana bodoh dan miskin – (bersaing) dengan Chino, arab, dan unsur kapital besar asing lainnya yang tak pernah terjajah dan dieksploitasi secara massif seperti yang dirasakan kaum pribumi ?
Faktanya sejak era reformasi (menurut bung Karno refomisme – ajang tawar menawar kepentingan si besar – istilah saya oligarkhi) dengan perubahan UUD 45 palsu ( menggunakan angka 1945 pada hal produk 2002 yang sama sekali isinya berbeda). Penguasaan dan kepemilikan segelintir orang pemodal kapital, kerennya kita sebut aja para taipan, itu sudah menguasai sumberdaya alam Indonesia yang kaya raya ini kurang lebih 80% – aset nasional, sementara nasib para aktivis 98 yang kawan kawan mereka banyak yang mati, mereka berkeringat dan berdarah darah menumbangkan orde baru masih tetap miskin, berharap kesana kemari kepada teman temannya yg kebetulan dapat jabatan. Makanya tidak heran jabatan komisaris BUMN menjadi rebutan para relawan pilpres yang rata angkatan 98 sekali pun mereka jauh dari profesional.
Ini baru satu soal pasal 33 dan masih banyak soal yang lain lagi yang rancu dalam perubahan UUD 45 ini dari hasil reformasi yang salah kaprah oleh para badut badut reformasi asing.
Jadi bagi kawan kawan yang berkiprah kepada perjuangan pro kembalinya naskah asli UUD 1945, ini bukan soal romantika atau romantisme, ini menyangkut kewarasan – akal sehat kita berbangsa secara keseluruhan sebagai negara yg ber-Pancasila yang ingin melihat bangsa ini maju dan rakyatnya berdaulat terutama pribumi ini yang moyangnya di jajah ratusan tahun yg sudah mengorbankan harta, darah dan air mata.
Jadi soal ini tidak ada kaitannya dengan otoritarian, militerisme, dan ketakutan publik pada jabatan 3 priode presiden dan wakil presiden yang lagi heboh hari ini, apa lagi seperti diera Sukarno dan Suharto yang telah berperan dengan segala plus minusnya menurut caranya, dan kita tetap hadir sampai hari ini untuk mengoreksi yang keliru dengan cara terukur menurut kepentingan nasional kita bukan untuk kepentingan orang dan para oligakhi.
Kembali ke UUD 45 Naskah Asli tidak berarti yg dirobah kemaren itu salah atau tidak ada yang benar? Bukan! Kita hanya ingin meletakkan secara proporsional hasil perubahan kemaren itu menjadi pasal-pasal adendum diluar Naskah Asli UUD 45.
Ya, kira kira seperti tolok ukur konstitusi AS lah yang tahan uji dan berwibawa karena sistematika yang tidak rancu dan isi pasal yang relevan dengan kebutuhan dan jatidiri bangsanya, berharap mencontohi konstitusi kampiumnya negara-demokrasi- yang diagungkan itu, tentu bukan sesuatu hal yang buruk yang berbau asing dalam pemaknaan sesungguhnya demi bobot dan berkualitasnya konstitusi UUD 1945.
Perdebatan soal konstitusi UUD 1945 adalah bagaimana meletakkan jati diri bangsa ini yang berkesinambungan dalam konteks sejarah, nilai dan filosofi dari kurun waktu yang lalu, hari ini dan kedepan dalam konstitusi tersebut yang sesuai kebutuhan bangsa untuk bergerak lebih lincah dan elegant.
Nafasnya satu jiwa, semua maju bergerak tidak ada yang tersingkir!
Rorotan/21/9/2022