By. MUHAMMAD NUR LAPONG
Direktur LBH & Research Centre ForJIS

Heboh dengan pernyataan Luhut Binsar Panjaitan, “peluang orang non-Jawa untuk menjadi presiden Indonesia sangat kecil bahkan nyaris mustahil, menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat berbincang dengan pengamat politik Rocky Gerung. Namun, katanya, orang luar Jawa tidak mesti menjadi presiden untuk bisa ikut mengabdi bagi bangsa dan negara Indonesia.”

Luhut mencontohkan dirinya sendiri. Ia mengaku tidak memaksakan diri mencalonkan sebagai presiden. “Saya double minoritas. Saya Batak. Beragama Kristen. Jadi saya bilang, ya sudah cukup itu. Kita harus tahu. Kenapa saya menyakiti hati sendiri?” katanya.

“Apa harus jadi presiden saja kau bisa mengabdi? Harus tahu diri jugalah, kalau kau bukan orang Jawa,” kata Luhut dikutip melalui akun Youtube RGTV Channel, Kamis, 22 September 2022.

Terkait itu, mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Indonesia, Rizal Ramli kembali mengomentari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Panjaitan. Menurut Rizal Ramli, “orang luar Jawa sulit jadi presiden karena sistem pemilihan di Indonesia tidak kompetitif”, demikian info tertulis Rizal Ramli yang dikirim ke redaksi Pikiranmerdeka.com, Jumat pagi 23/9/2022, melalui link berita fajar. “Jika sistemnya kompetitif kata dia, tidak ada lagi pembelahan Jawa vs Non Jawa.”

“Pernyataan ngasal. Orang luar Jawa susah jadi Presiden karena sistim pemilihan Presiden Indonesia tidak kompetitif, oligapolistik yg sengaja di rekayasa untuk menguntungkan boneka Oligarki. Kalau sistimnya kompetitif tidak ada lagi pembelahan Jawa vs Non-Jawa,” ucap Rizal Ramli sebelumnya melalui akun sosial medianya, Kamis, (22/9/2022).

Menarik disimak pernyataan kedua Tokoh di atas, apalagi kontestasi pilpres 2024 anginnya makin kencang bertiup menyita perhatian publik, tidak kurang terlihat sibuk adalah para menteri kabinet, pejabat negara lainnya setingkat Gubernur, maupun pimpinan lembaga lembaga negara sibuk bermanuver mempengaruhi publik dengan pernyataan pernyataan mendukung, mengidentikkan diri sebagai calon presiden, beserta para relawannya.

Partai partai dan pimpinannya tak kalah gesit bermanuver melakukan silaturrahmi politik untuk membulatkan visi, misi, dan calon presidennya, tidak pelak lagi baligo pun berkibar seantero negeri menjadi iklan dipandang mata sehari hari oleh rakyat yang tak mengerti apa korelasi dengan kemiskinan dan kesulitan mereka hadapi sehari hari.

Melihat kenyataan ini bahwa pilpres masih 2 tahun lagi namun angin sudah bertiup kencang seakan mengalahkan semua pesona persoalan yang dihadapi bangsa ini. Lantas kemana pula arah pernyataan Om Luhut di atas? Apa pertanyaan ini secara hitam putih bisa diartikan sebagai warning kepada kadindat lain yang bukan capres bersuku Jawa? Apakah lontaran menohok dari LBP ini sebaga “mental” bagi capres non Jawa untuk tidak memaksakan diri, tidak perlu jadi presiden untuk mengabdi kepada bangsa dan negara dengan mencotohkan dirinya yang dobel minoritas ?

Dalam Konstitusi UUD 2002 bin 1945 disebutkan Isi Pasal 6 dan 6A UUD 1945 Setelah Amandemen sebagai berikut :

Pasal 6 :
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara
Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta
mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut
dengan undang-undang.

Pasal 6A :
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih
dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang
memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil
Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut
diatur dalam undang-undang.

Jika pasal konstitusi di atas di tambah dengan aturan Presidencial Theresold 20 % (Dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017), maka sangat jelas tidak ada korelasi untuk jadi Presiden dan Wakil Presiden dengan pernyataan LBP di atas, yang menurut Rizal Ramli “pernyataan ngasal ,,.” Lantas apa reasoning seorang LBP melontarkan soal kemustahilan seorang non jawa menjadi presiden. Apakah lemparan bola politiknya yang di tangkap publik bertujuan menggiring pada calon tertentu, atau bisa jadi tujuan utamanya adalah mengoreksi sistim pilpres yang tidak kopetitif (seperti pandangan Rizal Ramli) untuk semua anak bangsa.

Saya menyimak apa yang dikatakan LBP bukan tanpa alasan sebagai politisi kawakan dan jenderal yang berkemampuan intelijen mumpuni, baginya sangat mudah melihat arah politik pemenangan balon capres dan wapres yang akan datang. Secara kasar mari kita coba tilik, dalam dua contoh kasus yakni Puan dan Anies, calon presiden non Jawa. Misalnya Puan sekalipun cucu Sukarno, namun publik Jawa tradisional tetap melihatnya sebagai anak seorang Taufiq Kiemas. Walau umpamanya Megawati memaksakan diri sudah secara terang terangan mendukung putrinya untuk di usung menjadi capres PDIP, tetapi apa itu bulat di tubuh PDIP masih sulit kita tebak apalagi friksi Ganjar Pranowo masih kuat biasnya. Belum lagi kita lihat secara kultural penerimaan masyarakat pemilih tradisional di Jawa khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah sebagai penentu utama kemenangan pasangan seorang Capres dan wapres. Apa lagi melihat lebih jauh secara jeli faksi faksi yang ada di PDIP, faksi politik nasionalis Soekarno, Islam, non Islam dan faksi politik kiri yang runtutannya akan berdampak pada bulatnya suara untuk mendukung Puan sebagai pemenang Capres.

Sekarang Anies, cucu seorang Pahlawan Nasional AR. Baswedan berjasa membantu Agus Salim dalam diplomasi untuk Indonesia mendapat Pengakuan Merdeka oleh negara Mesir, ditambah prestasi Anies mengelola DKI Jakarta membuatnya sangat populer dimedia massa. Pertanyaannya apakah kepopuleran Anies berkolerasi dengan penerimaan pemilih untuk capres? Dalam banyak hasil survey Prabowo masih unggul jauh, jika dipaksakan pun misalnya kerjasama alot SBY, JK, SP, dan PKS meghasilkan duet Anies – AHY. Apakah tetap solid mendulang suara di level akar rumput khususnya di Jatim dan Jateng. Faktanya perlawanan silih berganti yang muncul yang akan di hadapi seorang Anies dimata pesaingnya di cap sebagai represetansi Kanan dan berketurunan Arab. Badai yang dihadapi Anies akan mirip nasib Ahok dalam pilkada DKI Jakarta? Anies belom maju saja secara terang terangan sebagai kadindat presiden sudah di gangjal dengan issu kasus Formula E.

Bagi relawan dan pendukung Puan dan Anies ada pengalaman nyata soal Jawa dan Non Jawa yakni pada Pemilu 2009, ketika JK – Wiranto maju sebagai Capres melawan SBY – Boedino dan Megawati – Prabowo Subianto, hasilnya : 1) SBY – Boediono 73.874.562 suara (60,80%), 2). Megawati – Prabowo Subianto 32.548.105 suara (26,79%) 3). JK – Wiranto hanya kebagian suara 15.081.814 (12,41%). Persentasi kemenangan ini memperlihatkan bahwa seorang yang populer dan berprestasi seperti JK saat itu digelar _the real president_ tidak menjamin dan cukup mumpuni untuk memenangkan pertarungan Presiden di Indonesia. Orang Jawa tetap perkasa mendominasi suara untuk memenangkan Pilpres.

Analisis yang terkesan menjustifikasi pernyataan LBP ini, mungkin juga mengadung logical fallacy? Tentu bagus bagus saja menjadi masukan untuk mendorong kesiapan Puan dan Anies beserta relawannya jika benar maju sebagai kadindat presiden yang mau tidak mau di gadang gadang sebagai refresentasi non Jawa yang muncul. Tidak mudah dan akan menghadapi situasi medan yang memang terjal dan rumit untuk menjadi Presiden Republik Indonesia yang faktanya penduduknya adalah mayoritas Jawa. Demokrasi Amerika yang canggih itu butuh waktu 200 tahun lebih untuk melihat seorang kulit hitam blasteran menjadi Presiden AS yang bernama Obama di tengah mayoritas kulit putih.

Apa yang dikatakan LBP pada faktanya benar bahwa 7 kali bergantian Presiden Republik Indonesia adalah orang Jawa, walau sehari setelah pernyataan LBP di muat di media massa langsung mendapat reaksi komentar pedas dari Rizal Ramli, seakan ingin menyalahkan bahwa sistem pemilihan di Indonesia yang tidak kompetitif – jadi biangnya, perlu pula mendapat apresiasi dalam perubahan sistim pemilu kedepan, misalnya dengan mengawinkan populer vote dengan elektoral College seperti di Amerika Serikat *)., atau didapatkan rumusan sistim yang lebih tepat ala Indonesia untuk semua anak bangsa.

Sehingga suara dari kalangan minoritas pun yang mumpuni dan berkualitas di luar jawa bisa kompetitif bersaing dan optimis memenangkan pilpres karena visi yang diembangnya, seperti harapan Rizal Ramli tidak ada lagi pembelahan Jawa vs non Jawa karena sistemnya tidak kompetitif.

____________________

*) Seorang calon presiden Amerika Serikat yang mendapatkan suara terbanyak
dari masyarakat belum tentu memenangkan pemilihan presiden. Penyebabnya,
presiden AS tidak dipilih secara langung oleh masyarakat, melainkan oleh
lembaga yang dikenal dengan istilah electoral college atau lembaga pemilih.
Di tempat pemungutan suara, pemilih tidak hanya memberikan suara untuk
calon presiden, tapi juga calon anggota electoral college.

Rorotan 23/09/2022