Sanksi Petinggi PSSI: Mundur!

Oleh Imam Wahyudi *)

Menpora, Zainudin Amali tampak “pasang badan“. Dalam merespons dan penanganan Tragedi Sepakbola yang menelan korban 125 orang tewas. Cuma menduga-duga, ketika beliau menjadi pengarah konpers di depan pintu utama Stadion Kanjuruhan, Malang, Minggu petang kemarin.

Menpora membuka konpers. Lantas pernyataan dalam kapasitas menpora. Bersama Kapolri, Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dan Ketum PSSI, Moch. Iriawan. Mereka sejajar di baris depan. Di baris kedua, tampak Gubernur Jatim — Khofifah Indar Parawansa — Kapolda Jatim, Irjen Pol. Nico Afinta dan Pangdam V/Brawijaya, Mayjen TNI Nurchahyanto.

Tragedi kemanusiaan yang menggegerkan jagat sepakbola ini menjadi domain PSSI. Setidaknya secara administratif dan teknis kegiatan. Tentu, khalayak menanti pernyataan Ketum PSSI pada kesempatan pertama. Itu tak terjadi. Pernyataan di konpers tampaknya dibangun secara hirarkis protokoler. Menyusul pidato Menpora, lanjut Kapolri, baru kemudian Ketum PSSI. Terakhir tuan rumah , yakni Gubernur Jatim. Kapolda Jatim tak ikut rangkaian memberi pernyataan.

Tak ingin berlarut soal performa konpers. Mungkin saja terkait sepakbola sebagai sexy dalam nomenklatur menpora. Dalam hal leading sector kegiatan sepakbola dengan segala konsekuensinya adalah PSSI. Sebagai otoritas Liga 1 Indonesia, tentu PSSI yang pada gilirannya — berada di barisan depan dalam hal pertanggungjawaban.

Bendera Setengah Tiang

Tragedi kemanusiaan di arena sepakbola, justru terjadi pada saat negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Rangkaian peristiwa silih berganti. Bertubi. Tak cukup Peristiwa Duren Tiga,  berlanjut Kaisar Sambo & Konsorsium 303. Terakhir kabar PPATK mendeteksi aliran dana Rp 155 Triliun dari transaksi judi online yang belum diungkap rinci ke publik. Bersamaan itu, gelombang aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM bersubsidi yang memicu lonjakan harga kebutuhan pokok. Rangkaian yang tak mudah dibaca saling mengait.

Dugaan pembunuhan seorang brigadir polisi, tak pelak menggegerkan seantero nusantara. Tragedi Kanjuruhan mencatat (sementara) sekira 130 supporter meregang nyawa. Dua di antaranya aparat polisi. Sungguh mengejutkan, memilukan. Dalam sekejap, berita duka itu merebak ke mancanegara. Seiring pernyataan belasungkawa dan pita hitam di lengan baju.

Rasanya, justru Menpora perlu memaklumkan pengibaran bendera setengah tiang. Setidaknya selama sepekan, bersamaan penghentian sementara kompetisi. Betapa tidak, laporan resmi mencatat 125 orang tewas. Tercatat 323 orang luka, di antaranya 39 orang luka berat — dalam perawatan medis rumah sakit. Jumlah yang dahsyat, tragis dan memilukan.

Betapa, kita pernah dikagetkan Tragedi Heysel. Tak kurang tragis, menelan korban jiwa 29 orang. Aksi hooliganisme jelang final Liga Champions antara Liverpool vs Juventus, 29 Mei 1985. Dalam jumlah korban, tragedi di Stadion Heysel, Brussels itu tidak masuk “10 besar” dunia.

Sebaliknya, Tragedi Kanjuruhan — maaf, menyodok peringkat dua atau tiga dalam jumlah korban level dunia. Di bawah “rekor” Stadion Nasional Peru, saat laga timnas tuan rumah  vs Argentina, 24 Mei 1964 dengan korban 328 orang. Menyusul di Stadion Accra, Ghana, 09 Mei 2001 (126 orang). Berikutnya di Sheffield, Inggris, 15 April 1989 yang telan 96 jiwa. Tragedi Heysel yang menghebohkan dunia pada 37 tahun silam itu ranking-14. Tercatat 21 tempat dalam daftar tragedi sepakbola yang banyak renggut nyawa. Urutan terakhir terjadi di Alexandria, Mesir, 01 Januari 1999 dengan 11 korban jiwa.

Trend Positif vs Negatif

Abaikan dulu trend positif prestasi timnas U-20 Indonesia yang masuk putaran final Piala Asia di Uzbekistan, 01-18 Maret 2023. Pun Piala Dunia U-20/2023 yang mempercayakan Indonesia sebagai tuanrumah dan otomatis peserta, 20 Mei – 11 Juni 2023.

Tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Malang, membalikkan keadaan. Praktis menjadi trend negatif dalam konteks agenda atau calendar event bagi insan sepakbola Indonesia. Utamanya, PSSI.

PSSI praktis meratapi, agar FIFA tak serta-merta jatuhkan sanksi. Presiden FIFA, Gianni Infantino menyebut Tragedi Kanjuruhan Hari Kelam Sepakbola Dunia. “Sebuah tragedi di luar pemahaman,” katanya.

Frasa “di luar pemahaman” yang memberi arti dalam. Sedalam posisi PSSI yang kadung dangkal, mengaku “tidak memprediksi tragedi Kanjuruhan terjadi”. Lho!

Kita, tentu sepakat — bahwa Tragedi Kanjuruhan menjadi preseden buruk persebakbolaan negeri ini. Lagi, harus disebut PSSI. Karenanya, langkah bijak adalah sanksi kepada jajaran PSSI. Mundur, sungguh lebih baik. Bukan semata manifestasi tanggungjawab, tapi sekali gus unjuk jiwa ksatria.

Gas Air Mata

Perhatian Presiden Jokowi melalui Menpora dengan minta pihak yang terlibat bertanggungjawab. Janji menpora. Pun Kapolri berjanji melakukan investigasi secara serius dan mengusut tuntas.

Penggunaan gas air mata yang jelas melanggar aturan FIFA. Gas air mata yang ribuan sanak keluarga mencucurkan air mata duka. Gas air mata yang memicu kepanikan dan sesak nafas hingga kematian. Sesimpel alasan akan “keputusan” Kapolda Jatim, bahwa “gas air mata ditembakkan, karena petugas dipukul supporter”. Hendaknya pula bertanggungjawab.

Tak cukup kaitan over kapasitas. Picunya, jelas gas air mata. Tak cukup evaluasi dan investigasi. Malah tak cukup pula pengenaan sanksi. Ya, mundur tadi. Lebih presisi.

Ketika sepakbola sebagai industri, tak cukup orientasi prestasi. Bagai menjauh bayang dan harapan: Sepakbola yang menghibur, menjunjung tinggi sportivitas dan bermartabat. Sportivitas yang tanpa kecuali bagi petinggi PSSI. ***

*) Wartawan senior di Bandung.