By. Muhammad Nur Lapong
Direktur LBH & Research Centre ForJIS
Teriakan orasi kawan kawan mahasiswa dalam berbagai unjuk rasa yang mengkritisi program pemerintah yang salah arah, acap kali kita dengar slogan mereka dengan kalimat, “negara sedang tidak baik baik saja.” Anak kalimat “tidak baik baik saja,” dari kawan kawan mahasiswa tersebut mencerminkan ungkapan kritik dari kawanan intelek, dalam dan beredukasi pada semua perpektif yang di kritisinya, semata membuktikan diri bahwa mereka adalah insan akademis.
Pemerintah sebagai refresentasi peran terdepan negara yang disebut lembaga eksekutif dan mitra intitusi negara lainnya seperti DPR, DPD, & MPR (lembaga legislatif) dan MA, Komisi Yudisial & MK (lembag yudikatif), dalam teori kenegaraan Montesque mereka disebut Trias Politica.
Ketiga lembaga negara inilah bertanggung jawab secara bersama sama hadir untuk mengurusi namanya negara dengan segala tetek benget dan dinamikanya, kalau di Indonesia semua urusan kepentingan itu, yang pada masa orde baru disingkat dengan sebutan Ipoleksosbudmil dengan Trilogi pembangunannya (pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan). Setelah reformasi 98 di konstitusi UUD 2002 bin UUD 45 ditambahkan satu lagi soal titik berat kepada HAM dan istilah Trilogi Pembangunan hilang, sekarang populer dengan 4 pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan bhinneka tunggal ika).
Saat 24 tahun usia reformasi dengan berbagai dinamika bermasyarakat dan bernegaranya yang semakin pesat perkembangannya, ternyata masyarakat yang bereformasi 98 itu tidak menemukan kestabilannya dalam bernegara yang diharapkan bisa menjadi lebih baik dibanding masa orde baru.
KKN menjadi salah satu tuntutan utama reformasi, faktanya makin merajalela. Korupsi yang diplesetin Gus Dur sekarang sudah terbuka di atas meja menjadi benar adanya, nyaris semua pimpinan negara sudah menjadi tersangka KPK. Kolusi hampir sudah terjadi di semua lini kehidupan bernegara, semua bisa diatur dan semua punya harga, termasuk siapa yang harus dipilih hingga suara dibilik suara para pemilih pun sudah dibandrol dengan harga, tinggal pilih pake appel Malang atau appel Amerika. Nepotisme apalagi? Dinasty politik dan nepotisme terjadi di semua rekruitment baik dipimpinan partai, pimpinan daerah sampai pimpinan negara bisa diatur dengan pola anak bini dan mantu secara bergantian. Anak dan mantu bisa jadi walikota secara bersamaan. “Sungguh luar biasa berkah negara ini kepada mereka !”
Sementara pri kehidupan pemegang sah daulat rakyat yang diurus oleh negara, pada kenyataannya berkebalikan dalam kehidupan sehari hari mereka, rakyat hidup seperti kawanan hewan yang saling mengintai berebut berkah dari negara, sekedar hidup agar bisa bertahan itu pun jika tak digusur dan dieleminir atas nama pembangunan. Lahan mereka di gunung yang menjadi ulayat adat atau tanah garapan perseorangan telah dirampas menjadi tambang, ingat ini kita menangis untuk warga desa wadas di Jateng kab. Purwerejo yang lokasi penghidupan mereka di jadikan tambang batu andesit. Dihutan, lahan rakyat jadi rebutan para taipan minyak goreng yang kemudian produk minyak goreng mereka bisa di jual mahal sewaktu waktu, ingat kasus minyak goreng hilang di pasaran dan muncul dengan harga meroket padahal Negara ini penghasil cpo terbesar dunia. Sedang rakyat nelayan di laut nasibnya tetap kurang lebih sama, yakni sami mawon makan rawon.
Indonesia yang kaya raya dengam sumber daya alamnya, samrudnya khatulistiwa seharusnya tidak boleh menjadi “Negara tidak baik baik saja,” seperti hasil laporan bank dunia dalam Gross National Income (GNI) atau pendapatan nasional bruto per kapita Indonesia, yang menkategorikan negara Indonesia menjadi 100 negara termiskin di dunia. Ini membuat kaget publik Indonesia, dan membuktikan selama ini bahwa negara benar benar tidak sedang baik saja, artinya negara salah urus.
Sebagai fakta misalnya, negara mengurusi ekonomi dengan pertumbuhan meroket, hasilnya utang negara meroket dan pertumbuhan menjadi stagnan, akibatnya rakyat menanggung beban dipajakin dengan berbagai regulasi plus harga harga yang meroket. Negara mengurusi politik yang seharusnya berkedaulatan rakyat, hasilnya negara kompak (kabinet, DPR dan MK) kekeh dengan PT. 20%. Negara mengurusi hukum yang harusnya tegak lurus dan berkeadilan, hasilnya lawan lawan politik pemangku negara silih berganti di kriminalkan. Negara mengurusi Badan Usaha Milik Negara, hasilnya perusahaan perusahaan negara bergantian terlilit utang dan satu persatu dilego. Negara salah urus atas faktor mis manajemen akibat benturan kepentingan antar pengelola negara hingga arogansi sektoral, termasuk tarik menarik kepentingan sejak pembuatan regulasi UU dan regulasi turunannya. Semua ini muaranya tidak lain adalah virus KKN oleh kekuatan oliarkhi dalam tubuh negara.
Yang paling memprihatinkan dari semua urusan salah urus negara, adalah urusan yang memakan korban ratusan nyawa warga negara, yakni mulai dari melayangnya nyawa kurang lebih 700 petugas KPPS dalam pemilu dalam kurun waktu bersaman pada pemilu 2019, tercatat ini rekor terburuk yang memakan korban petugas KPPS dalam sejarah pelaksanaan pemilu moderen di era reformasi. Dan hari ini sejarah rekor terburuk dalam pelaksanaan pertandingan sepakbola moderen di tanah air dalam peristiwa tragedi di stadion Kanjuruhan Malang kemaren, kedua peristiwa ini justru terjadi di era presiden ke 8 Jokowidodo.
Tragedi mengenaskan Stadion Kanjuruhan Malang hanya letupan puncak gunung es dari masalah besar, pola puncak gunung es (tip of the iceberg), dari semua masalah besar negara yang kita hadapi hari ini, yang sangat tidak menguntungkan kehidupan wong cilik, kaum marhein istilah bung Karno.
Tragedi Stadion Kanjuruhan Penanda atau manifestasi bukti serius bahwa hari ini benar “Negara tidak baik baik saja”. Ada sekian ratus hamba Tuhan yang tak berdosa, umumnya anak remaja penerus harapan bangsa merenggang nyawa mati sesak nafas berdesak desakan yang tertimpa gas air mata, dan ratusan lagi lainnya menjadi korban kekerasan.
Kita belum tahu berapa pastinya jumlah korban, dan apa penyebab utama dari tragedi tersebut yang meminta korban ratusan nyawa melayan termasuk 2 orang aparat polisi yang bertugas, belum ada hasil investigasi yang valid dari lembaga yang berwenang yang dibentuk untuk menjelaskan peristiwa yang mengenaskan ini. Publik hanya melihat wajah wajah korban dan gas air mata berwarna putih yang mengepul tebal diantara penontong yang panik melalui video video yang viral di medsos, berita berita korban bervariasi namun yang banyak tercatat antara 127 dan 129 dengan jumlah korban 446 orang.
Dan sebagaimana biasanya Om Mahfud sebagai Menteri Kord. Polhukam sigap mengambil langkah cepat dan memberi komentar komentar bernada humas pemerintah, dan segera melaksanakan rapat kordinasi nasional untuk mendeteksi informasi informasi yang dibutuhkan serta tindakan apa yang perlu diambil dalam tragedi ini.
Sama seperti halnya yang dilakukan Om Mahfud dalam kasus peretas Bjorka yang telah mempermalukan dan menampar muka negara dalam kemampuan melindungi data pribadi dan data rahasia negara yang telah di bocorkan ke publik, dengan sigap membentuk TimSus untuk segera memburu peretas Bjorka.
Namun faktanya hasil kerja TimSus seperti hilang di telan angin, kecuali berita rakyat jelata yang menjadi korban tersangka oleh aparat, sekali lagi oleh kepiawian Mr. Bjorka mengelabuhi aparat dan TimSus Om Mahfud, seakan Mr. Bjorka ingin menegaskan bahwa dirinya lihai menghadapi negara yang lunglai. Mr Bjorka masih tetap berdiri bebas tidak tersentuh, dan tetap seenak dewe menyampaikan informasi negara atau data pribadi yang di bocorkan yang sebenarnya secara psikologis masyarakat media sosial yang muak dengan situasi hari ini merasa happy dan menunggu apalagi yang akan dibocorkan oleh Mr. Bjorka.
Tragedi kanjuruhan adalah situasi yang lahir dari kondisi yang tidak semestinya perlu terjadi termasuk menelan korban ratusan hamba hamba Tuhan yang tidak berdosa didepan mata para aparat negara yang bertugas, mengherankan saja justru hal ini terjadi baru sekarang dimana aktivitas olahraga yang paling banyak di gemari rakyat Indonesia ini telah berlangsung puluhan tahun, hampir seumur Indonesia Merdeka. Fakta lainnya, rujukan pertandingan sepak bola Indonesia yang dilakukan oleh PSSI juga telah mengikuti aturan FIFA yang menjadi standar internasional dalam pelaksanaannya. Bahwa ada karater penonton sepak bola yang cenderung berlebihan panatik dan ekstrem membela masing masing Timnya itu bukannya hanya terjadi di Indonesia tetapi sudah menjadi pola kakter penonton sepakbola di seluruh dunia.
Dengan kata lain tragedi Stadion Kanjuruhan sebenarnya tidak perlu terjadi, jika antisipasi aparat negara, pemda dan mitra pelaksananya terjalin baik dari berbagai dimensi yang perlu dipersiapkan dalam pertandingan tersebut antara Arema FC VS Persebaya Surabaya, yang sangat di kenal penontongnya masing masing berkarakter Bonek.
Sekarang Telah jatuh korban ratusan jiwa rakyat yang tidak berdosa, secara moral negara tidak boleh lagi cuci tangan dan lepas tangan dari derita rakyatnya apalagi seperti yang dilakukan selama ini menangkapi rakyatnya sebagi tumbal kesalahan (moral hazard). Negara harus mengambil alih beban rakyatnya yang terkena musibah akibat human error negara dalam peristiwa tersebut. Ini sebagai langkah pertanggung jawaban konstitusional untuk memenuhi harapan rakyat yang sudah lama tersakiti.
Negara harus berempati dan melayani rakyatnya yang telah menjadi korban dengan menghukum siapa pejabat negara yang paling bertanggung jawab atas peristiwa ini, dan memberi sanksi yang tegas kepada pihak pihak yang terkait atas tragedi ini, serta mengevaluasi secara serius peristiwa ini sebagai koreksi agar kasus sejenis ini tidak terulang lagi di kemudian hari.
Kepada keluarga korban yang ratusan jumlahnya itu harus mendapat kompensasi yang manusiawi yang layak oleh negara agar dapat dimamfaatkan oleh keluarga korban sebagai pengobat hati yang pilu, sekalipun kompensasi itu tidak mengahapus kenangan pahit keluarga korban dan kesalahan human error negara atas tragedi ini, karena nyawa tak dapat di nilai dan setara dengan pemberian apapun yang sifatnya materi.
Mudah mudahan dengan langkah tersebut menjadi awal yang baik untuk berubah dari suatu situasi, “negara sedang tidak baik baik saja”. Rakyat hanya ingin menegaskan tidak boleh ada dusta lagi oleh negara kepada rakyatnya, yang seharusnya dibela dan di lindungi oleh negara seperti yang diamanahkan oleh konstitusi negara.
rorotan/3/10/2022