Ketua KPK Firli Bahuri | IST
Ketua KPK Firli Bahuri | IST
Oleh Asyari Usman
Semua ada hikmahnya. Ada ibrahnya. Selalu ada sisi positif di samping kentalnya tujuan negatif suatu tindakan atau kerjadian.
Termasuklah upaya Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri untuk menjegal Anies Baswedan menjadi calon presiden –yang hampir pasti akan menjadi presiden— di pilpres 2024. Ini pun ada hikmahnya.
Nah, apa kira-kira hikmah di balik upaya Firli itu? Banyak hikmahnya. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sini.
Hikmah yang pertama ialah bahwa deklarasi pencapresn Anies menjadi lebih awal setelah Firli, menurut laporan Koran Tempo, punya misi politik untuk menjadikan Anies sebagai tersangka korupsi Formula E. Langkah Partai NasDem mempercepat deklarasi membuat posisi Anies lebih pasti. Puluhan juta relawan pendukung pun menjadi lega.
Itu yang pertama. Hikmah yang kedua, rakyat menjadi paham sempurna tentang Firli Bahuri dan tentang mengapa dia, dulu, didukung oleh Jenderal Pol Tito Karnavian menjadi Ketua KPK. Pemilihan Firli sebagai ketua KPK berlangsung pada 13/9/2019, tanpa pemungutan suara di Komisi III DPR. Waktu itu, Kapolri dijabat oleh Tito. Namun, suara bulat Komisi III memilih Firli diwarnai oleh dugaan “operasi senyap”.
Hikmah yang ketiga, kita pun menjadi paham tentang konstelasi politik elit Polri di tubuh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tito sebagai Mendagri dan Firli sebagai KPK, bukanlah penempatan yang berlangsung random. Bukan suatu kebetulan.
Tito mengendalikan kementerian yang sangat strategis. Lebih strategis lagi karena pileg dan pilpres 2024 akan menjadi penentu Indonesia terus berada di bawah kedaulatan Oligarki bisnis yang berkomplot dengan Oligarki politik, atau Indonesia akan kembali berada di bawah kedaulatan rakyat.
Di pilpers 2019, Kapolri Tito Karnavian dan jajaran Polri sampai ke tingkat polsek dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan petahana. Polisi diperalat untuk memenangkan Jokowi. Polisi di bawah kendali Tito waktu itu berubah menjadi timses Jokowi. Bahkan lebih dari sekadar timses. Polisi juga menyalahgunakan kekuasaannya untuk tujuan ini.
Analisis ini terasa melebar. Sesungguhnya tidak. Semata-mata untuk meletakkan upaya penjegalan Anies oleh Firli dalam konteks keterlibatan Polri di panggung politik praktis. Dalam arti, upaya Firli untuk menjegal Anies bukan manuver yang berdiri sendiri, konon pula mau disebut langkah hukum murni.
Jelas omong kosong kalau mau disebut langkah penegakan hukum semata. Firli sendiri pun, sesuai laporan Tempo, mengakui bahwa menjadikan Anies sebagai tersangka sesudah dia dideklarasikan sebagai capres akan menimbulkan gejolak politik. Itu sebabnya dia mendesak tim penyelidik Formula E di KPK agar meningkatkan status kasusnya menjadi penyidikan. Dan Anies dijadikan tersangka mumpung belum dideklarasikan.
Firli masih tetap bisa menjadikan Anies tersangka dan kemudian menahan Gubernur DKI yang sekarang paling kuat dalam berbagai survey atau jajak pendapat itu. Cuma, risikonya sangat tinggi. Anies sudah terlanjur memiliki basis kekuatan massa pendukung yang terbentuk tanpa inisiatif dia sendiri.
Jadi, begitulah Kekuatan Alam bekerja. Firli diutus menjadi Ketua KPK agar Anies segera dideklarasikan sebagai capres. Sekaligus, Firli juga diutus untuk menambah beban berat Polri yang bertahun-tahun ini tertanam di memori banyak orang sebagai institusi yang melakukan kesewenangan terhadap rakyat.
Hari ini, semuanya terbuka secara otomatis. Kesewenangan (mantan Irjen Pol) Ferdy Sambo dan jaringan mafianya di Polri bertemu dan menyatu dengan upaya Komjen Pol Firli Bahuri untuk menjegal Anies Baswedan. Secara kebetulan, kedua polisi senior ini termasuk binaan Jenderal Pol Tito Karnavian sewaktu dia menjadi Kapolri hingga 2019.
Itulah hikmah dari upaya politik Firli untuk menghalangi Anies. Terkuaklah benang merah, atau lebih tepatnya “bold line” (garis tebal), yang menghubungkan Firli-Tito-Ferdy.
Jadi, untunglah ada Firli yang mau menjegal Anies. Semuanya menjadi terang-benderang.[]
 Oktober 2022
*)Jurnalis Senior