Setya Dharma Pelawi (Senator ProDem)/ist

Oleh Setya Dharma Pelawi (Aktifis ProDem, Alumni Statistik UNPAD)

Apakah setiap Pemilu dapat menghasilkan kepemimpinan yang berkualitas?

Prakteknya, penyelenggaraan Pemilu tidak menjamin bagi lahirnya pemimpin terbaik bagi rakyatnya. Sistem pemilu bisa diotak atik sedemikian rupa agar menghasilkan pemimpin yang sudah diplot oleh sekelompok orang. Kelompok ini biasanya merupakan para pemegang urat nadi perekonomian dinegara tersebut (Oligarki).

Dengan kekuasaan finansial yang mereka miliki: Pelaksanaan pemilu dapat dibuat sedemkian rupa agar dapat dimenangkan oleh “boneka”nya. Pemilu tak lebih dari sekedar pesta demokrasi tanpa subtansi demokrasi. Pemilu hanya menjadi stempel penobatan pemimpin boneka dalam kemasan demokrasi.

Praktek politik demokrasi di Indonesia saat ini menjadi salah satu contoh kita buka bersama. Pemilu dirancang untuk sekedar melanggengkan kepentingan sekelompok cukong yang menguasai sektor ekonomi strategis. Ambang batas pencalonan ini jelas menghambat kesempatan munculnya pemimpin yang tidak dikehendaki oleh para pemegang kuasa finansial.

Lebih praktis, peran lembaga survey untuk membangun opini tentang kelayakan calon presiden menjadi sangat penting. Secara intensif mereka mengeluarkan hasil survey yang berpihak kepada calon “boneka” yang telah dipersiapkan. Lembaga lembaga ini jelas tidak bisa bekerja sendirian. Mereka juga bekerjasama dengan media mainstream dalam menyebarluaskan hasil survey yang menyesatkan.

Hasil survey seolah-olah menjadi fakta yang harus dirujuk oleh partai partai politik yang berhak mencalonkan presiden. Mereka mensugesti publik dan partai politik mengenai calon presiden yang dianggap paling pantas untuk dicalonkan dan dipilih. Selama dua putaran pemilu (2014 dan 2019) bangsa ini telah merasakan bagaimana kualitas kepemimpinan yang dipromosikan oleh lembaga survey, media mainstream dan para buzzer.

Keadaan politik semacam ini jelas membuat kompetisi dalam Pilpres menjadi tidak “fair”. Jauh dari subtansi demokrasi apalagi demokrasi pancasila. *Rizal Ramli,* misalnya, politisi sekaligus ekonom yang sudah malang melintang dalam urusan penatakelolaan negara ini, bisa ditenggelamkan dari wacana pencalonan Presiden. Kalah oleh Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil dan Anies Baswedan yang masih sangat mentah dalam urusan mengelola negara. Mereka bisa muncul karena popularitasnya dilambungkan oleh lembaga survey, media mainstream, media sosial dan para buzzer.

Siapa yang menggerakkan lembaga survey, media dan para buzzer ini? Tak lain dan tak bukan, para oligarki yang merasa akan lebih mudah mengendalikan para selebriti politik kemaren sore ketimbang *Rizal Ramli* atau tokoh tokoh nasional yang sudah matang dan teruji jam terbangnya. Mereka yang berhasil menang sebagai presiden berkat dukungan finasial para cukong tentu akan menjadi “jongos” yang setia pada tuannya.

Apakah kita masih bisa berharap agar pemilu 2024 bebas dari tipu daya popularitas yang ditebar oleh lembaga survey? Tentu masih ada peluang untuk mewujudkannya. Syaratnya adalah para pimpinan partai politik peserta pemilu berani mengabaikan bujuk rayu dan tipu daya lembaga survey dan jejaringnya. Yang akan bertarung dalam pemilu adalah partai politik dan para calon yang dicalonkannya. Lembaga Survey, media bayaran dan para buzzer hanyalah kuli demokrasi yang berusaha menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya di tengah pusaran ekonomi pemilu yang omzetnya memang menggiurkan.
Belajar dari pengalaman Pemilu sebelumnya, nampaknya partai politik sudah lebih berpengalaman dalam menghindari “jebakan ngilmiah” lembaga survey bayaran dan para buzzernya.***