PACUAN KUDA ELEKTABILITAS BAKAL CAPRES DAN PETA KEKUATAN ELEKTORAL PARTAI PASCA – DEKLARASI

Direktur Indikator Politik Indonesia Dr. Burhan Muhtadi  menggelar Zoom sekaliguis mengumumkan hasil survei.

Semakin mendekati pemilihan umum, mata publik akan semakin fokus pada peta kompetisi antar kandidat presiden dan partai politik.

“Layaknya nonton pacuan kuda (horse race), masyarakat akan terus mengamati pergerakan elektoral para kandidat dan partai yang bersaing, khususnya yang menjadi pilihan mereka. Kompetisi akan semakin mengerucut, sengit dan menarik perhatian publik seiring dengan kedatangan hari H pemilu,” ujar Burhan pada hari Kamis, 1 Desember 2020.

Mungkin karena jarak ke pemilu masih cukup lama, tokoh-tokoh yang mendapat
dukungan publik untuk maju sebagai calon presiden sepanjang setahun terakhir
belum berubah. Mereka yang selalu menduduki posisi atas adalah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Belum ada tokoh lain yang mampu menyusul posisi mereka. Namun lapisan di bawahnya juga tidak banyak berubah. Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono, Sandiaga S. Uno, Khofifah Indarparawansa, Puan Maharani, Erick Thohir adalah nama-nama yang sering mengisi lapisan ini.

“Dinamika persaingan antar kandidat presiden yang relative rendah ini mendorong partai-partai politik lebih memilih menunggu sambil tengok kanan-kiri (wait and see). PDI Perjuangan belum menentukan calon presiden yang diusung, meskipun bisa mengusung sendiri. Golkar, PAN dan PPP baru sebatas membentuk koalisi, tapi belum juga menyebut siapa calon presiden mereka. Gerindra secara internal mengajukan Prabowo Subianto, tetapi belum juga sampai pada kesepakatan resmi dengan partai yang digadang berkoalisi, PKB,”ungkapnya.

Dalam konteks ini deklarasi nama Anies Baswedan sebagai calon presiden oleh Partai NasDem telah mengakhiri sikap bungkam partai politik. Terbukti deklarasi ini memicu pro-kontra dari sejumlah partai politik, khususnya berkaitan dengan posisi Nasdem sebagai bagian dari pemerintah dan sikap Anies yang kerap berseberangan dengan pemerintah. “Ada yang memandang langkah Nasdem tidak konsisten, tidak loyal, tetapi ada juga yang menganggapnya sebagai manuver politik biasa,” jelasnya.

Dalam berbagai jajak pendapat, Anies Baswedan selalu menduduki posisi tiga besar calon presiden. Namun Anies bukanlah tokoh yang sangat menonjol karena tidak menduduki posisi puncak dengan selisih lebar. Untuk itu menarik untuk diamati apakah perolehan suaranya meningkat dengan deklarasi atau stagnan dan bahkan turun. Begitu juga dengan Partai NasDem, apakah deklarasi Anies memberi efek positif, netral atau negatif terhadap dukungan konstituennya, tambahnya.

Di satu sisi, deklarasi Anies Baswedan telah memunculkan dinamika politik baru.Elit partai mulai mengintensifkan kerja-kerja politik seperti lobby dan kampanye. Namun di sisi lain, l deklarasi ini belum mampu mendorong partai politik lain mengambil langkah tandingan. Semuanya masih bertahan pada posisi semula, wait and see. Bahkan Partai Demokrat dan PKS yang digadang berkoalisi dengan NasDem mengusung Anies juga belum kunjung memberikan dukungan resmi. Situasi ini bisa jadi berdampak atau tidak berdampak terhadap peta kekuatan elektoral partai-partai politik.

Selain persaingan kandidat presiden yang masih belum dinamis, sikap hati-hati partai politik juga didorong oleh dinamika koalisi. Meskipun bisa mengusung sendiri, PDI Perjuangan tampaknya tetap memerlukan mitra koalisi untuk memperbesar peluang menang. Namun bagi partai yang harus berkoalisi, persoalannya bukan sekadar peluang menang-kalah, tetapi juga tawar-menawar posisi kandidatnya dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Dinamika ini tampaknya yang sedang berlangsung dalam pentas politik nasional.

Survei berikut bertujuan memotret peta kekuatan elektoral kandidat presiden, wakil presiden dan partai politik yang berkembang saat ini. Informasinya akan dilengkapi dengan data tren yang berkembang dari waktu ke waktu dan perbandingan dengan kondisi serupa sebelum pemilu 2019.

“Survei ini juga akan menyajikan analisis tentang pola perubahan peta kekuatan elektoral kandidat presiden dan partai politik setelah deklarasi calon presiden Anies Baswedan oleh Partai NasDem,”katanya.

Penarikan sampel menggunakan metode multistage random sampling. Dalam
survei ini jumlah sampel sebanyak 1.220 orang. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional. Dengan asumsi metode simple random sampling, ukuran sampel 1.220 responden memiliki toleransi kesalahan
(margin of error–MoE) sekitar ±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%.

Simulasi pilihan daftar nama calon presiden semi terbuka. Pada simulasi ini responden lebih luas dengan menampilkan banyak nama, dan cara kedua untuk melihat perpindahan suara dari satu kandidat ke kandidat yang lain. Cara kedua ini juga dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan kandidat tertentu dalam menarik suara dari kandidat lain.

Pada simulasi 33 nama semi terbuka, Ganjar Pranowo paling banyak dipilih, 25.9%, kemudian Anies Baswedan 23.6%, dan Prabowo Subianto 16.1%. Selisih suara antara Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan masih berada dalam rentang margin of error. Posisi berikutnya adalah Ridwan Kamil 7.8% dan AHY 3.9%. Nama-nama lain lebih rendah dan yang belum menjawab 9.2%. Pada simulasi semi terbuka 19 nama tidak ditemukan
perubahan urutan perolehan, dan rata-rata mengalami kenaikan suara tetapi hanya sedikit.

Berdasarkan pertanyaan semi terbuka 33 nama, hanya Anies Baswedan yang sejak September 2022 mengalami peningkatan suara dibanding tiga kandidat utama lainnya. Perolehan Ganjar Panowo dan Prabowo Subianto cenderung sedikit menurun. Sedangkan di antara kandidat lapisan berikutnya hanya Ridwan Kamil yang mengalami peningkatansuara, lainnya mengalami penurunan atau stagnan.

Temuan simulasi 10 nama menunjukkan Ganjar Pranowo tetap paling banyak dipilih, 27.2%, kemudian Anies Baswedan 23.9%, Prabowo Subianto 17.8%, Ridwan Kamil 8.9%, dan AHY 4.5%. Urutan lima teratas tetap tidak berubah dan masing-masing meningkat secara tidak signifikan.

“Berdasarkan simulasi 10 nama, hanya Anies Baswedan yang mengalami peningkatan suara sejak September 2022 dibandingkan dua pesaing utamanya. Baik Ganjar Pranowo maupun Prabowo Subianto sama-sama mengalami penurunan. Sedangkan di antara kandidat pada lapisan di bawahnya, tercatat Ridwan Kamil dan AHY yang tampak mengalami peningkatan suara,” ungkapnya.

Pengerucutan 7 nama tetap menemukan posisi yang tidak berbeda. Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto menduduki posisi teratas. Kenaikan suara mereka juga tidak terlalu mencolok, dan selisih Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan tetap berada pada rentang margin of error.

TEMUAN

Hampir separuh pemilih (43.8%) tahu Partai NasDem telah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden yang akan diusung pada pemilu 2024 mendatang. Mayoritas publik cenderung mendukung langkah Partai NasDem ini, khususnya di kalangan yang mengetahui dan menyetujui deklarasi.

42% kalangan yang mengetahui deklarasi, dan 56.2% kalangan yang mendukung deklarasi
cenderung memilih Anies Baswedan. Angka ini lebih tinggi dari basisnya yang hanya 32.2% dalam simulasi tiga nama. Artinya, deklarasi yang dilakukan Partai NasDem telah memberikan dampak positif terhadap tingkat dukungan Anies Baswedan.

Tren serupa juga terjadi pada Partai NasDem. Perolehan suara dasar NasDem 4.8%, tetapi
di kalangan yang mengetahui deklarasi suara Nasdem meningkat menjadi 7.1%, dan di kalangan yang menyetujui deklarasi meningkat lagi menjadi 8.8%.

Dampak positif deklarasi juga dinikmati Partai Demokrat yang meningkat dari 9.8% (basis) menjadi 10.9% (tahu deklarasi) dan 14.1% (setuju deklarasi). Namun partai yang paling diuntungkan adalah PKS karena kenaikannya paling tinggi. Dari suara basis 5.1% menjadi
8.8% (tahu deklarasi) dan 12.2% (setuju deklrasi). Jika diasumsikan linear, peningkatan jumlah
mereka yang tahu dan setuju deklarasi akan lebih meningkatkan perolehan suara Anies Baswedan dan tiga partai tersebut.

Jika pemilihan presiden diadakan ketika survei dilakukan, Ganjar Pranowo selalu unggul dalam berbagai simulasi dukungan capres. Anies Baswedan di posisi ke dua dan Prabowo Subianto di posisi ke tiga, keduanya juga konsisten dalam berbagai simulasi pada urutan
yang sama dalam berbagai simulasi dukungan capres.

Namun demikian, tampak Anies Baswedan mengalami peningkatan dukungan dalam waktu kurang lebih dua bulan. Sementara Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto trennya
cenderung menurun. Terutama Prabowo Subianto, sebelumnya masih di posisi ke dua
selama kurang lebih enam bulan, dan Anies Baswedan di urutan ke tiga. Terakhir kondisinya berbalik, Anies Baswedan di posisi dua dan Prabowo Subianto di urutan tiga.

Sementara nama lain masih jauh lebih rendah. Hingga simulasi daftar 10 nama, Ridwan Kamil dukungannya lebih besar selain tiga besar di atas, tapi masih kurang dari 10%.

Pada simulasi tiga nama antara Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Ganjar Pranowo (33.9%) unggul tipis dari Anies Baswedan (32.2%), sementara Prabowo Subianto (23.9%) di urutan ke tiga berjarak cukup lebar dengan dua pesaingnya.

Dibanding dua bulan sebelumnya, Anies Baswedan mengalami peningkatan cukup besar,
sekitar 6%, Prabowo Subianto menurun cukup tajam sekitar 5%, dan Ganjar Pranowo sedikit melemah sekitar 2%.

Di tengah periode September – November, periode di mana tren dukungan Anies Baswedan menguat, tepatnya 3 Oktober 2022, NasDem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres yang akan diusung pada Pilpres 2024 mendatang.

Sebulan pasca deklarasi, awareness warga tampak cukup besar, sekitar 43-44% warga
nasional tahu Anies Baswedan dideklarasikan sebagai Capres Partai NasDem. Terlepas warga aware atau tidak, mayoritas merespon positif dengan langkah tersebut, 56.6%. Tapi terutama di antara warga yang aware, mayoritas setuju (atau sangat setuju) dengan langkah NasDem mencapreskan Anies Baswedan, 69.3%.

Pada kelompok yang tahu NasDem Capreskan Anies Baswedan, dukungan terhadap Anies
Baswedan semakin dominan, dukungan Ganjar Pranowo stabil, dan basis Prabowo Subianto
tertekan. Sementara pada kelompok yang tahu dan setuju, Anies Baswedan mayoritas, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto sangat tertekan.

Deklarasi NasDem capreskan Anies Baswedan, berdampak positif terhadap dukungan Anies
Baswedan.

Namun demikian, Ganjar Pranowo tampak masih memiliki faktor pengungkit basis elektoralnya, yaitu tingkat popularitas yang masih cukup jauh di bawah Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Tidak mungkin memilih calon yang tidak dikenal, tapi meski dikenal belum tentu dipilih jika ada calon lain yang lebih disukai.

Ganjar Pranowo baru dikenal oleh sekitar 76.3% warga, sementara Prabowo Subianto (95.7%) dan Anies Baswedan (89%), hampir semua warga sudah mengenal atau tahu namanya. Selama lebih dari setahun ke belakang, tingkat popularitas Ganjar Pranowo selalu lebih rendah ketimbang dua pesaingnya. Tapi tingkat kedisukaan terhadap Ganjar selalu lebih tinggi, sementara kedisukaan terhadap Prabowo Subianto dan Anies Baswedan sangat berhimpit.

Jika diasumsikan tingkat popularitas di antara tiga nama besar sudah berimbang, pada simulasi tiga nama capres, dukungan terhadap Ganjar Pranowo semakin dominan, basis Anies Baswedan tidak berubah, dan Prabowo Subianto sangat tertekan

Awareness warga terkait deklarasi Anies Baswedan sebagai capres, artinya semakin
memberi kepastian ia akan maju dalam Pilpres, berdampak positif terhadap dukungan Anies Baswedan. Jika awareness semakin luas (dan tiket partai semakin lengkap), maka efek elektoral akan semakin besar. Sementara efek ini tidak mempengaruhi dukungan terhadap Ganjar Pranowo, tapi menekan basis Prabowo Subianto.

Sementara efek popularitas dari Ganjar Pranowo, jika semakin populer maka dukungannya akan semakin tinggi. Efek ini tampak tidak berpengaruh terhadap basis Anies Baswedan, tapi menekan basis Prabowo Subianto.

Ke depan, Prabowo Subianto kemungkinan akan semakin tertekan sebagai dampak kerja sosialisasi dua pesaing utamanya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Dalam hampir dua tahun ini, secara umum fluktuasi dukungan partai tidak begitu besar. PDI
Perjuangan dan Gerindra menunjukkan tren penurunan. Demokrat, Golkar dan NasDem
kecenderungannya menguat. PKB dan PKS juga cenderung menguat tapi lebih landai, Sementara PPP dan PAN stagnan.

Sementara ini PDIP masih dominan ketimbang partai lain, 23.5%. Kemudian di grade ke dua ada Gerindra (11%), Golkar (10.5%), Demokrat (9.8%) dan PKB (8.2%), yang masing-masing terpaut tipis dengan jarak kurang dari 3%. Selanjutnya PKS 5.1%, NasDem 4.8%, Perindo 3.3%, PAN 2.3%, PPP 2.3%, dan partai lain kurang dari 1%. Sementara sekitar 16.1% belum memilih partai.

Menjelang pemilu 2019 yang lalu, masing-masing partai memiliki pola dukungan yang bervariasi. PDIP berfluktuasi landai dengan kecenderungan menurun hingga pemilu 2019. Pada periode hingga H-14 bulan, pola dukungan PDIP jelang pemilu 2024 sangat miripdengan pola pemilu 2019.

Golkar berfluktuasi cukup lebar dengan kecenderungan menguat landai. Pada periode
yang sama dengan jelang pemilu 2019 yang lalu, basis Golkar tampak agak rendah hingga periode H-26 bulan, secara rata-rata selisih pada periode yang sama sekitar -1.9%.

Gerindra, secara umum fluktuasinya landai dengan kecenderungan juga menguat landai.
Pada periode hingga H-26 bulan, Gerindra cenderung lebih tinggi ketimbang pola pada
2019. Rata-rata hingga periode H-14 bulan sekitar 1.8% lebih besar ketimbang periode yang sama jelang pemilu 2019.

PKB, fluktuasinya cukup lebar sejak H-6 bulan, kecenderungan hingga pemilu menguat cukup besar. Pada periode hingga H-14 bulan, pola saat ini selalu lebih tinggi ketimbang pemilu 2019. Rata-rata pada periode yang sama sekitar 2.4% lebih tinggi ketimbang 2019.

Demokrat, secara umum fluktuasinya landai dengan kecenderungan juga menguat landai.
Mulai periode H-26 bulan, pola dukungan selalu lebih tinggi ketimbang 2019. Rata-rata pada periode yang sama sekitar 1.5% lebih besar ketimbang 2019.

PKS berfluktuasi besar di antara periode H-9 hingga H-2 bulan. Kecenderungan secara umum menguat cukup tajam. PKS memiliki pola yang mirip dengan PKB, hingga periode H-14 bulan selalu lebih tinggi ketimbang pola jelang 2019 lalu. Rata-rata periode hingga H-14 bulan saat ini sekitar 2.2% lebih tinggi ketimbang 2019.

NasDem, bergerak landai hingga H-4 bulan, selanjutnya meningkat hampir dua kali lipat.
Periode hingga H-14 bulan jelang pemilu 2024 mendatang, selalu lebih tinggi sejak H-31 bulan. Rata-rata periode hingga H-14 bulan sekitar 1.3% lebih tinggi ketimbang 2019

PPP, berfluktuasi landai dengan kecenderungan menguat hingga H-1 bulan, tapi pada pemilu menurun lebih lebar ketimbang range fluktuasi sebelumnya. Dibanding dengan pola pada 2019 yang lalu, PPP memiliki kecenderungan yang semakin rendah hingga H-14 bulan jelang 2024. Rata-rata hingga periode H-14 bulan sekitar 1% lebih rendah dibanding pada 2019.

PAN, berfluktuasi dengan kecenderungan sangat landai hingga H-1 bulan, pada pemilu mengalami peningkatan dua kali lipat dibanding pola fluktuasi sebelumnya. Pada periode hingga H-14 jelang pemilu, tampak tidak banyak berbeda antara dua pemilu, tapi saat ini sedikit lebih rendah sekitar 0.5%.

Dan partai-partai non parlemen, tampak berfluktuasi besar di sekitar H-9 dan H-1 bulan. Tapi kecenderungan secara umum meningkat lebih dari enam kali lipat dari posisi awal. Secara
umum polanya berhimpit pada periode hingga H-14 bulan. Selisih rata-rata pada periode
tersebut pada dua pemilu hanya sekitar 0.1%

Oleh karena itu, jika selanjutnya setiap partai mengikuti tren dukungan partai seperti pola
menjelang pemilu 2019 yang lalu, maka PKB, PKS, Demokrat dan NasDem dengan basis saat
ini yang lebih besar ketimbang 2019, potensial meraih suara lebih besar ketimbang pemilu
terakhir.

Gerindra juga memiliki nilai selisih yang positif ketimbang rata-rata periode yang sama pada
2019, tapi pola yang terjadi saat ini cenderung menunjukkan tren yang menurun, sehingga
kemungkinan tidak begitu konsisten mengikuti pola pada 2019. Jika tren saat ini berlanjut,
maka Gerindra akan merosot perolehannya.

PDIP saat ini tampak tidak lebih kuat ketimbang 2019. Perlu kerja keras untuk bertahan, terutama mengamankan dari progres yang dialami oleh NasDem dan Demokrat (partai dengan karakteristik yang lebih mirip dengan PDIP).

Golkar dan PAN, basisnya saat ini cenderung lebih rendah ketimbang pada 2019, jika selanjutnya hanya mengikuti pola lima tahun lalu, kemungkinan perolehan Golkar dan PAN akan menurun, bahkan PAN terancam tidak lolos PT.

Sementara PPP menunjukkan pola yang paling negatif ketimbang partai-partai lain. Jika hanya mampu mengikuti pola lama, maka PPP terancam tidak lolos PT.

EFEK DEKLARASI ANIES BASWEDAN

Tampak ada efek positif terhadap suara NasDem pada kelompok yang tahu NasDem
mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres. Tapi pola dukungan terhadap NasDem
tampak cukup konsisten dan relatif stabil sejak periode sebelumnya, bukan hanya pada periode pasca deklarasi. Maka kemungkinan penjelasannya tidak bisa sederhana, namun
lebih kompleks.

Namun demikian, paling tidak terdapat indikasi yang lebih jelas terkait efek deklarasi pencapresan Anies Baswedan dengan dinamika elektoralnya. Pemilih mendapat kepastian yang lebih tinggi bahwa seorang calon akan maju sehingga meningkatkan ekspektasi.

Sebaliknya, meski ekspektasi cukup besar tapi tingkat kepastian rendah, maka ekspektasi
tidak akan semakin tinggi atau sangat mungkin menurun dan hilang sama sekali.

Sederhananya, seberapapun besar dukungan pemilih terhadap seorang calon, jika nama dan gambar calon tersebut tidak tertera di kertas suara, maka pemilih harus memilih calon lain yang ada di kertas suara, atau tidak memilih sama sekali.(YOS/JAKSAT)