Pagi ini #ngopi pagi saya dengan latte yang enak. Dari visualnya jelas enak banget. Belum saya seruput saja sudah kabita. Rasa kopi itu memang tak pernah bohong, dan asli, makanya saya suka banget kopi, karena rasanya penuh kejujuran yang tulus iklas. Soal judul tentang:  Kenangan Jus Soema di Pradja Keluar dari KOMPAS dan Tak Menulis Lagi adalah judul yang saya buat saja, setelah saya bincang panjang beberapa waktu lalu dengan tokoh pers tiga zaman. Dibawah saya akan paparkan apa saja kisahnya.

Mochtar Lubis (kanan) saat berkunjung ke rumah Bang Jus Soema di Pradja/dok JSDP
Saya dan Bang Jus Soema di Pradja/ist

Tapi saya aja lagi yuk yang mau #ngopi bareng saya bisa merapat kalau ada waktu saja mampir ke Toko BIJIKOPIDUNIA#234 Kawasan Kebagusan Raya Jakarta Selatan yang merupakan toko kecil namun semua kopinya ada. Kalau ngopi dengan saya di Toko BIJIKOPIDUNIA#234 saya jamain free.  Saya biasa suka ajak kawan yang datang nyeruput kopi bareng tinggal pilih saja mau arabica. robusta, atau liberica. Mau Gayo Aceh sampai Wamena Papua saya jualan biji kopi.

Tapi kalau mau borong dan beli minimal 100 gram juga tak apa-apa. Di toko saya jika tak mau biji bisa juga kopi yang sudah digiling halus, agak kasar atau mau masih kelihatan agak biji-biji kecil seperti pasir bisa.  Soal yang beli alhamdulillah ada saja. Pembeli punya pilihan ada yang suka beli bijinya, ada juga ingin giling halus dan di rumah tinggal seduh sesuai seleranya: bisa V60, tubruk atau dibuat latte seperti gambar di atas.

Kembali soal Waratwan tiga zaman itu, Jus Soema di Pradja dia berkisah kenapa keluar dari KOMPAS, disini saya sampaikan kisahnya dalam bentuk surat yang disampaikan Jus Soema di Pradja  kepada Pemimpin Redaksi Harian Kompas Saudara Jacob Oetama yang ditulis pada 13 Fenruari 1978. Saya kutip tulisannya dibawah ini dan di sudah diketik kembali:

Jakarta, 13 Februari 1978

Kepada Yth,

Pemimpin Redaksi harian Kompas

Saudara Jacob Oetama

Di

Jakarta

Dengan hormat

                  Pertama kali saya ingin menyampaikan rasa prihatin saya pribadi dengan pembreidelan harian Kompas baru-baru ini. Untuk kedua kalinya saya mengalami pembreidelan surat kabar tempat saya bekerja sebagai wartawan.

Yang pertama sebagai saudara ketahui adalah harian “Indonesia Raya” yang oleh pemerintah telah dicabut SIT-nya Bersama sejumlah surat kabar lainnya, setelah peristiwa Malari di tahun 1974.                                                                             Setiap penutupan surat kabar oleh pemerintah tentu menimbulkan rasa prihatin dalam diri setiap wartawan yang mencintai profesinya dan yang mencoba mengembangkan dirinya sebagai wartawan professional yang sesungguhnya.

Akan tetapi keprihatinan yang lebih mendalam dengan ditutupnya surat kabar Kompas baru baru ini. Ditambah dengan rasa kecewa yang sangat, setelah saya mengetahui bahwa harian harian dibreidel di Jakarta tanpa kecuali termasuk harian Kompas, telah diizinkan terbit Kembali, setelah saudara saudara pemimpin redaksi, termasuk saudara Jacob Oetama, menandatangani dua pernyataan yang hakekatnya telah membuat harian harian tersebut kehilangan landasannya yang sebenarnya untuk dapat berfungsi sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab.

                  Sebagai wartawan muda yang berhasrat besar hendak mengembangkan diri menjadi seorang wartawan professional dalam arti sebaik-baiknya, saya dengan hati duka, kini tidak lagi melihat sesuatu ruang atau iklim, dimana kita dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kita sebagai wartawan yang bertanggung jawab harus berfungsi untuk keselamatan masyarakat dan bangsa kita.

                  Saya menyadari adanya dalil untuk membenarkan keadaan keadaan seperti ini, yakni untuk mengelakkan kehancuran perusahaan dan hilangnya sumber nafkah sekian ratus karyawan atau sekian ribu keluarga yang mendapat nafkah mereka dari penjualan suratkabar

                  Yang menjadi pertanyaan bagi saya sebagai wartawan muda yang masih ingin belajar dari wartawan wartawan senior di republic kita ini adalah bagaimana persepsi saudara Jacob Oetama mengenai nasib beberapa ratus karyawan dalam hubungan fungsi pers berjuang?

                  Sejauh mana kita letakkan pers berjuang, ddihubungkan dengan urutan prioritas kita? Mungkin saya lebih menempatkan pers berjuang ketimbang nasib beberapa ratus karyawan itu.

                  Katakan saja ada perbedaan kita dalam persepsi yang mungkin terjadi, karena lebih matang dan bijjaksananya serta lebih politisnya saudara Jacob Oetama sebagai pemimpn redaksi Kompas melihatnya, dibandingkan dengan saya yang mungkin terlalu lurus menilai fungsi pers berjuang.

                  Tidakkah suratkabar harus berfungsi untuk nilai nilai  yang lebih besar dan jika fungsi komunikasinya dipasung maka sebenarnya suratkabar tidak berfungsi lagi sebagai alat komunikasi yang baik?

                  Tidakkah perusahaan suratkabar bukan merupakan satu usaha untuk menjadi sumber nafkah saja?. Tidakkah lebih baik misalnya perusahaan perusahaan penerbitan merubah sifat usahanya, jika ingin tetap memberi nafkah pada karyawannya, dari pada harus melepaskan fungsi dan tanggung-jawabnya yang sebenarnya sebagai surat kabar?

                  Penanda-tanganan kedua pernyataan tersebut oleh para pemimpin redaksi surat kabar yang baru baru ini dibreidel, bagi saya mengandung komplikasi seakan para pemimpin surat kabar tersebut mengakui telah melanggar sendiri kode etik jurnalistik Indonesia, dan telah melakukan pula segala rupa penyimpangan dari tugas dan tanggung jawab pers Indonesia sendiri, dan dengan demikian telah menghukum diri sendiri.

                  Perbuatan serupa ini menurut hemat saya telah menghancurkan martabat pers Indonesia. Dimana kita letakkan kode etik jurnalistik Indonesia pada saat ini?

                  Pertanyaan-pertanyaan serupa inilah yang bertubi-tubi mengganggu hati Nurani saya, dan hal ini tidak dapat saya damaikan dengan bisikkan hati Nurani saya, hingga dengan sangat menyesal, dan rasa pilu hari yang dalam saya Bersama ini menyampaikan permohonan berhenti sebagai wartawan harian “Kompas”.

                  Tidak lupa saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya pada saudara sebagai pemimpin redaksi harian “Kompas” yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk bekerja di harian ini, setelah harian “Indonesia Raya” dimana saya bekerja dahulu, di cabut  surat isin terbitnya diawal tahun 1974

                  Saya mendoakan semoga diatas kuburan pers Indonesia yang bebas akan dapat tumbuh kembali pohon kebebasan pers yang sebenarnya, yang memungkinkan kita semua berfungsi Kembali dan memikul tanggung-jawab kita dengan kemuliaan profesionalisme sumbangan yang berarti  pada perkembangan bangsa dan negara kita secara positif dan konstruktif.

Wassalam

Jus Soema  di Pradja

Tembusan

Pemimpin Umum: P.K. Ojong

Membaca tulisan pengunduran diri Bang Jus saya sangat terharu. Jiwa Bang Jus yang tangguh punya sikap adalah jiwa patriot jurnalis. Tak mungkin ada pada zaman kini. Tulisan tahun 1978 adalah tulisan dengan mengunakan mesin ketik oleh Bang Jus saya terima membacanya penuh haru. Dan orang tokoh pers seperti Bang Jus ini adalah yang langka. Sikapnya yang kuat dan wibawa yang bermartabat.

Jadi saat saya ungkap di #ngopipagi ini hanya sebagai catatan sejarah patut kiranya dilihat jadi cermin untuk para jurnalis masa kini atau apapun pandangannya yang jelas inilah yang saya sampaikan sebagai ungkapan Bang Jus jadi kenangan Jus Soema di Pradja saat keluar dari KOMPAS dan Tak Menulis Lagi sampai sekarang.

Saya rasa #ngopipagi di akhir pekan awal Desember 2022 ini adalah satu kisah yang asyik dan bernilai. Tabik…!!

Aendra Medita Kartadipura

Bandung, 4 Desember 2022