WOW ada kabar heboh 100 pulau di Maluku dijual melalui lelang di New York. Lelang akan dilakukan melalui PT Leadership Islands Indonesia (LII).

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan, PT LII pada tahun 2015 yang lalu sudah menandatangani MoU atau perjanjian kerjasama dengan Bupati dan Gubernur setempat untuk melakukan pengembangan pulau tersebut.

“Pada intinya akan (PT LII) akan mengembangkan kawasan sebagai eco tourism, sebetulnya bagus menurut saya, daripada dia tidak digunakan kosong begitu saja,” kata Tito saat ditemui di Kantornya, Senin (5/12/2022) yang saya kutip dari laman Okezone.

Lebih lanjut Tito menjelaskan, pengembangan tersebut kekurangan dana yang menyebabkan proyek tersebut menjadi mangkrak, bahkan janji pembangunan Eco Tourism pun tidak dipenuhi hingga sejak saat ini.

“Eco Tourism itu kan bagus sebetulnya, pasti ada beberapa daerah yang akan dipakai untuk dijadikan resortnya, raja empat juta seperti itu,” sambungnya.

Menurut Tito, PT LII kembali mencari permodalan untuk melanjutkan proyek tersebut. Sebab sebelum sudah ada perjanjian dengan pemerintah untuk mengembangkan kawasan tersebut.

“Kemudian dia mencari pemodal asing, makanya dia Naikan ke lelang itu, tujuannya bukan melelang untuk dijual, tujuannya untuk menarik investor saja, itu boleh saja,” kata Tito.

Meski demikian, menurut Tito yang tidak boleh adalah balik nama pulau tersebut menjadi atas nama asing. Sehingga kepulauan Widi masih milik Indonesia namun dikelola asing.

Hal ini mengingatkan saya bahwa sempat juga kabar adanya penawaran sebuah pulau kecil untuk dijual melalui sistem daring, mendapat perhatian luas dari masyarakat Indonesia dan menjadi viral. Penjualan pulau Pendek yang ada di Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara itu dihargai Rp36.500 per meter persegi dengan luas total 220 hektare Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mengetahui kabar tersebut, menilai bahwa penjualan pulau bukan kegiatan terlarang selama dilakukan oleh pelaku usaha yang berstatus warga Negara Indonesia (WNI).

Di sisi lain, walau pernyataan KKP didasarkan pada Peraturan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016, namun itu bukanlah landasan yang tepat untuk membenarkan praktik jual beli pulau kecil. Salah satu sebab kenapa Peraturan Menteri tersebut dinilai cacat, adalah karena di dalamnya ada semangat kepemilikan yang tertutup (close ownership). Sementara, konstitusi Indonesia mengamanatkan bahwa kepemilikan harus dilakukan secara terbuka (open ownersip).

Laman Mongbay menuliskan bahwa praktik jual beli pulau yang dilakukan sejumlah pihak beberapa waktu terakhir menjadi sikap yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang selama ini menjadi tuntunan bangsa Indonesia. Sikap seperti itu harus bisa dicegah dan dihentikan oleh Pemerintah Indonesia, bukan malah mendukungnya.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyesalkan pengakuan yang diberikan Pemerintah Indonesia untuk praktik jual beli pulau Pendek di Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Seharusnya, Negara memandu mereka yang sudah melakukan praktik tidak terpuji tersebut dengan mengacu pada UUD 1945.

“Praktik jual-beli pulau-pulau kecil yang kerap terjadi di Indonesia merupakan bentuk pengingkaran terhadap konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945,” ungkap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati pekan lalu di Jakarta.

Menurut dia, di dalam UUD 1945 terdapat Pasal 33 Ayat 3 yang menyebutkan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam dikausai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Maksud dari pasal tersebut, tidak lain adalah tujuan pengelolaan untuk kemakmuran rakyat.

“Pengelolaan sumber daya alam, terutama di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, bukan (untuk) kemakmuran satu orang atau sekelompok orang,” tegasnya.

Salah satu yang membuat Susan geram, adalah karena Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) justru memberikan justifikasi yang bersifat permisif terhadap praktik penjualan pulau kecil yang sudah terjadi di Indonesia kepada pihak swasta.

Praktik jual beli pulau kepada pihak swasta, baik perorangan atau pun entitas bisnis, adalah justifikasi yang tidak tepat, meski menggunakan landasan regulasi dari Peraturan Menteri Agraraia dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Permen tersebut, kata Susan seharusnya tidak dijadikan dasar oleh KKP untuk menilai praktik jual beli pulau, karena itu jelas bertentangan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia. Sehingga, tidak akan muncul penilaian yang tidak adil kepada masyarakat pesisir untuk memperoleh hak atas tanah.

Menurut Susan, Permen tersebut menjadi tidak tepat karena hanya memberikan akses hak atas tanah penggunaan ruang bagi pertahanan keamanan, pembangunan ekonomi melalui pembangunan fisik dan pariwisata. Meskipun, masyarakat pesisir, terutama masyarakat adat juga mendapatkan akses untuk kepemilikan hak atas tanah.

“Namun masih diskriminatif terhadap masyarakat pesisir yang menggunakan ruang tanah dan air pesisir sebagai sumber penghidupan,” tambahnya.

Tak hanya itu, Permen ATR/BPN 17/2016 juga sudah mengancam kedaulatan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dengan karena sudah diberikan jalan untuk terwujudnya ruang privatisasi pulau-pulau kecil melalui izin penguasaan lahan hingga 70 persen di atas pulau kecil.

Susan menyebutkan, berdasarkan Permen itu, pihak swasta atau perorangan berhak menguasai atau memiliki sekitar 70 persen tanah di pulau kecil. Sisanya, sebanyak 30 persen dikuasai langsung oleh Negara dan bisa dimanfaatkan untuk kawasan lindung dan ruang publik.

Contoh nyata untuk kasus tersebut bisa dilihat di Pulau Pari, Kepulauan Seribu (DKI Jakarta) dan Pulau Sangiang (Banten). Di kedua pulau tersebut, masyarakat harus terlibat konflik dengan perusahaan, karena ada penguasaan lahan yang berlebihan untuk kepentingan pariwisata.

Jika dua kasus diatas dijadikan cermin baik yang kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jenderal Pol (Purn.) Tito Karnavian menyebut lelang Kepulauan Widi, Maluku Utara di situs Sotheby’s Concierge Auctions untuk menarik investor. Atau yang dilakukan secara dijual melalui sistem daring, mendapat perhatian luas dari masyarakat Indonesia dan sempat menjadi viral di Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara itu dihargai Rp36.500 per meter persegi dengan luas total 220 hektare yang dilakukan oleh pelaku usaha yang berstatus warga Negara Indonesia (WNI). Inilah yang tidak elok. Apapun alasannya apa itu untuk kerja sama investasi atau lainnya tetap absurd.

Mungkin ada lebih baiknya di #NGOPIPAGI ini harusnya berpikir cerdas, kok bisa main jual aja. Apa kita sudah tak sanggup kelola? Atau bagimana?

Saya sih sarankan lebih baik minum kopi dulu dari “Blue Batak”, Kopi Eksotis yang kini mendunia . Blue batak adalah jenis kopi single origin yang masih satu wilayah dengan kopi lintong. Blue batak di olah oleh para suku batak di wilayah itu dan “Blue Batak” juga kini dikelan sebagai Kopi Eksotis Indoensia yang makin mendunia. Nah kenapa sih kita tak berpikir akar kita tak asal jual sungguh lebih baiknya kita tingkatkan cara terbaik dengan kekuatan lokal genius agar bisa mendunia. Bukan menjual ke dunia.

Nah yang minat Kopi Blue Batak (Exclusive single origin) yuk datang ke toko bijikopidunia punya saya di kawasan Jalan Kebagusan Jakarta Selatan, nanti saya sajikan. Sekali lagi gratis loh kalau mau ngopi di toko saya. Tabik…!! 

Aendra Medita Kartadipura