JAKARTASATU — Kita flashbback, ada romantika sejarah yang pernah kita lalui bersama-sama, romantika itu adalah bagian dari proses bagaimana kita mendorong bangsa negara ini menjadi lebih baik ke depan khususnya dalam konteks kepemiluan, demikian Standarkiaa Latif mengawali diskusi di acara Komunitas Aksara bertajuk Konsolidasi Demokrasi Aktivis 98 : Audit KPU RI Menuju Pemilu 2024 Yang Jujur, Adil dan Transparan, Jumat, 16/12/22

“Pada Maret 1996 kita mendeklarasikan sebagai pemantau pemilu KIPP dimana motto yang kita pakai itu adalah “Awas Pemilu Curang”, mau apapun yang dirancang undang-undang selalu berubah berganti karena yang merumuskan undang-undang tidak visioner. Di negara-negara maju yang sistem demokrasinya matang bagaimana merancang sebuah undang-undang dalam konteks pemilu, mereka mengekstraformulasikan untuk 15 tahunan hingga 20 tahun ke depan. Kita di Indonesia, 5 tahun belum selesai dalam satu periode, kemudian melakukan revisi undang-undang lagi. Betapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk merancang undang-undang,” ungkap aktivis Senior ProDem ini.

Ia juga mengatakan, celakanya undang-undang ini bukan berangkat dari aspirasi publik, rakyat tetapi botton up, beber Kiaa.

Standarkiaa setuju dengan pernyataan Ray Rangkuti dimana kita ini belajar terdepan tapi tak pernah naik kelas.

“Hari ini kita bicara oligarki, jangan harap pemilu tidak curang. Konsolidasikan demokrasi yang kaitannya peran penyelengara pemilu. Elit pokitik, politisi, paham ga apa yang dimaksud dengan konsolidasi demokrasi. Padahal sudah banyak baca dan belajar hingga kunjungan ke luar negeri soal konsolidasi demokrasi. Benar yang seperti Ray Rangkuti sebutkan bahwa kita ini, Indonesia paling terdepan urusan belajar, tapi tak pernah naik kelas, berputar saja di situ-situ aja tidak menyelesaikan masalah,”ungkapnya.

Konsolidasi demokrasi itu kan proses pelembagaan politik yang harus terjadi dalam infrastruktir dan supra struktur. Infrastruktir itu adalah lembaga-lembaga, kelembagaan. “Dalam supra struktur itu ada partai politik, ada KPU dll, inilah yang akan menjalani pengelolaan jalannya ketatanegaraan. Ini kalau kita bicara konteks konsolidasi demokrasi,” imbuh Kiaa.

Standarkiaa menyoal fungsi infrastruktir dan suprastruktur kepemiluan.

Dalam konteks konsolidasi demokrasi itu harus terjadi pelembagaan politik di tingkat supra sutruktur maupun infrastruktur dimana semua lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsionalnya secara ideal dan benar dengan rujukannya undang-undang yang dilahirkan, lanjut.

“Dalam proses panjang pemilu diselenggarakan, saya harus sampaikan fakta-fakta dimana masyarakat sudah membaca, mengetahui dengan adanya sosmed, kemajuan IT bahwa adanya ketidak beresan karena kuatnya pergerakan arus informasi,” ungkap Standarkiaa.

Artinya, kata Standarkiaa lagi, kepala daerah dimana pun, pejabat dimanapun akan tertangkap oleh masyarakat dengan kemajuan arus informasi melalui gadget, masyarakat sudah sering membaca, bergumul dengan informasi di mesia sosial, yang artinya sudah tidak bisa ditutupi ada ketidak beresan. Bahkan ada sangkutannya dengan korupsi terkait kepemiluan.

Masyarakat tahu soal-soal tersebut di atas, partai mana saja, parlemen mana saja baik itu di daerah atauoun di pusat yang tersangkut soal korupsi, ketidak beresan dalam kepemiluan. Ini artinya konsolidasi demokrasi, proses pemberdayaan tidak berjalan secara ideal dan benar.

“Konsolidasi demokrasi hanya sebatas retorika. Retorika politik yang manupulatif untuk opini publik saja. Tapi peran dan fungsi secara ideal dan benar tidak terjadi dalam kehidupan ketata negaraan hari ini amburadul. Antar instansi manapun bertabrakan, menegasi suatu aturan dengan permisif,” pungkasnya.(YOS/JAKSAT)