Radhar Tribaskoro/ist

Oleh: Radhar Tribaskoro

Pendahuluan

Banyak orang mengatakan Jokowi pemimpin boneka. Di balik ungkapan itu terdapat anggapan bahwa Jokowi secara pribadi tidak memiliki kekuatan yang signifikan, baik secara intelektual, organisasi maupun massa. Kekuatan Jokowi berasal dari aliansi para pendukungnya. Aliansi itu mempergunakan Jokowi sebagai simbol untuk menyatukan dan memajukan kepentingan mereka.

Oleh karena itu memahami kekuasaan Jokowi identik dengan memahami kekuatan aliansi pendukungnya. Siapa mereka, apa kepentingannya, dan bagaimana perilakunya? Untuk kebutuhan artikel singkat ini saya akan mengurai sketsa aliansi itu. Walau hanya sketsa namun saya harap cukup untuk mengungkap garis besar profil dan perilakunya.

Selepas uraian sketsa itu bagian kedua artikel ini akan menganalisis beberapa isu antara lain mengapa Jokowi menghendaki perpanjangan masa jabatan dan mendukung UU Hukum Pidana walau menuai protes publik sangat luas.

*Lingkar Kuasa Jokowi dan Keluarga*

Lingkar kuasa Jokowi berlapis-lapis. Lingkar kuasa pertama adalah Jokowi sendiri dan keluarganya. Latar belakang Jokowi tidak bisa dibilang transparan. Ada banyak kontroversi menyangkut siapa ayah dan ibunya, sekolahnya, dan masa kecilnya. Jokowi bukan kader partai politik, ia memulai karir politiknya sebagai walikota Solo. Tahun 2012 ia mengalahkan petahana Fauzi Bowo untuk menjadi Gubernur DKI Jaya. Jokowi melaju lebih jauh dengan memenangkan Pilpres 2014 atas Prabowo Subianto. Ia mempertahankan jabatannya di 2019, dengan sekali lagi mengalahkan Prabowo.

Kemenangan Jokowi selalu diwarnai kontroversi, terutama karena pemihakan aparat negara. Namun program pembangunan Jokowi lebih kontroversial lagi. Jokowi juga tidak sepi dari tuduhan korupsi. Rizal Ramli misalnya, menengarai kemungkinan korupsi dari cepatnya bisnis anak-anaknya berkembang. Hanya dalam 7 tahun bisnis kedua anak Jokowi, Kaesang dan Gibran, telah berkembang menjadi 60 perusahaan.

Jokowi telah berada jauh dari mimpinya, menjelang akhir periode kedua hanya tersisa tiga kepentingannya, yaitu (a) peran politik yang cukup signifikan pasca-presidan, (b) keselamatan anak-anaknya, dan (c) terwujudnya projek Ibu Kota Negara (IKN). Ia akan melakukan apapun agar 3 keinginannya di atas terwujud.

Lingkar Kuasa BMB (Benny Murdani Boys)

Lingkar kuasa Jokowi kedua saya sebut BMB atau Benny Murdani Boys, yaitu sekelompok orang yang dulu dibina khusus oleh (Alm.) Benny Murdani. Benny Murdani (BM) terkenal karena setelah “golongan ekstrim-kiri atau PKI dihancurkan”, ia juga ingin menghancurkan “golongan ekstrim-kanan”. Benny memiliki “visi Indonesia dengan Islam yang moderat”.

Kontroversi pada visi Benny Murdani terletak di sini: visi itu adalah sebuah kemauan politik bukan kenyataan politik. Kelompok ekstrim kanan, setelah perlawanan DI/TII dan Permesta, tidak kunjung muncul. Umat Islam di masa Orde Baru telah surut ke belakang dan bersyiar melalui dakwah. Tidak ada gerakan Islam yang mengandalkan kekerasan, bersifat masif dan terstruktur. Oleh karena itu, agar kemauan politik sesuai dengan kenyataan politik, “masalah kecil perlu dijadikan besar”. Maka muncul kasus seperti Kasus Lampung dan Kasus Tanjungpriuk.

Demikian pula kondisi saat ini. Ada beberapa aksi teror, tetapi menurut kacamata global aksi-aksi itu tidak bisa dikatakan besar. Menurut skala Global Terrorism Index, Indonesia berada di urutan ke-35. Jauh lebih rendah ketimbang tiga negara ASEAN lain, yaitu Pilipina, Thailand, dan Myanmar yang berada di urutan 9, 18 dan 26. Sementara India berada di urutan ke-7.

Namun begitu, War on Terrorism di Indonesia telah jauh melampaui batas-batas kemungkinan yang dilakukan negara-negara lain di dunia. Kebijakan War on Terrorism tidak hanya mengancam gerakan yang membawa kekerasan tetapi juga mengintimidasi kegiatan dakwah atau syiar Islam dengan mengerangkainya sebagai politik identitas atau gerakan radikal. Pernyataan Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf akan “melawan semua yang gunakan politik identitas,” dalam kacamata historiografi, tidak berbeda dengan politik Islam kolonialis seperti Van der Plas: Islam harus keluar dari panggung politik. Islam cukup menjadi identitas kultural saja.

Dengan kata lain, visi BMB sekarang ini telah berkembang menjadi “Indonesia tanpa peran politik Islam yang signifikan”. Terdapat sejumlah konglomerat yang berbagi visi itu juga. Dengan visi itu mereka ingin melihat anak-keturunan mereka bisa berkecimpung di bidang politik sama leluasanya dengan bidang ekonomi. Mereka tidak nyaman berada di lingkungan dimana banyak politikus relijius dengan moral yang ketat. Sekarang kebanyakan diantara mereka telah berusia tinggi.Mereka bergegas menciptakan lingkungan politik strategis yang nyaman untuk anak-keturunan mereka.

Lingkar Kuasa Aparat Negara

Power circle level 2 adalah aparat negara, yaitu birokrasi, TNI dan Polri. LBP dan HP sangat handal dalam mengendalikan aparat negara ini. Secara diam-diam visi aparat negara telah dipelintir sedemikian rupa. Sekarang ini visi utama aparat negara bukan lagi untuk “melindungi Pancasila dan UUD 1945”. Visi itu telah dipecah menjadi “perang melawan radikalisme (Islam)” dan “mewujudkan visi presiden”. Perang melawan radikalisme merupakan respon atas sejumlah serangan terorisme dengan menganggap bahwa sebab utama (root-causes) terorisme adalah radikalisme. Sementara “mewujudkan visi presiden” dimaknai sebagai dukungan tanpa syarat atas semua kebijakan presiden. Dukungan semacam itu menimbulkan perubahan yang sangat mendasar: dari semula adalah aparat negara berubah menjadi aparat kekuasaan.

Lingkar Kuasa Partai Politik

Lingkar kuasa ketiga adalah partai politik. Perilaku partai politik Indonesia dapat dipahami melalui strukturnya. Adapun struktur partai politik yang paling konsisten sejak reformasi adalah Struktur Sembilan Partai, maksudnya sejak Pemilu 2004 DPR-RI selalu diisi oleh 9 partai politik. Struktur ini menjelaskan 4 karakteristik yang kuat mewarnai partai politik saat ini. Karakteristik tersebut antara lain:

1. Constituency maintenance menjadi target utama partai politik. Dalam pemeliharaan konstituensi ini partai menghujani konstituennya dengan barang-barang partikularis, seperti uang, hadiah, bea-siswa, dan self-interest lainnya.
2. Ideologi partai sudah tidak menjadi pengikat partai dengan konstituennya. Ideologi telah menjadi gagasan yang usang, sudah tergantikan oleh manfaat-manfaat partikularistik yang bersifat langsung dan kongkrit.
3. Akibatnya, konstituensi semakin tersegmentasi. Bersamaan dengan itu swing voters mengecil.
4. Partai politik memiliki kepentingan sangat kuat untuk menjadi anggota koalisi pemerintah agar bisa memanfaatkan sumberdaya negara untuk memenuhi kebutuhan mereka yang sangat tinggi akan barang-barang partikularistik.

Karakteristik partai politik seperti disebutkan di atas membawa implikasi behavioristik terkait dengan strategi dalam pilpres. Partai-partai politik itu sangat membutuhkan barang partikularis yang notabene dikuasai oleh pemeritah. Oleh karena itu menjadi bagian dari pemerintah berkuasa menjadi prioritas tertinggi setiap partai politik. Berkaitan dengan itu ada dua strategi yang dapat dibangun sesuai dengan batas-batas peraturan yang ada.

Strategi pertama adalah membangun koalisi besar di putaran pertama, sehingga menyisakan dua paslon saja untuk pilpres. Strategi koalisi besar ini memberi peluang menang yang besar bagi koalisi besar. Persoalannya, koalisi besar seperti itu mereduksi fungsi partai politik untuk menjadi jembatan promosi bagi kader-kadernya menuju posisi politik tertinggi. Pengalaman dari dua pilpres sebelumnya, penentu capres adalah kekuatan konglomerat. Kader-kader partai politik terpaksa minggir untuk memberi jalan bagi kader non-partai Jokowi dan Ma’ruf Amin.

Strategi kedua adalah membentuk koalisi besar di putaran kedua. Strategi ini membuka peluang bagi tokoh-tokoh partai untuk mencalonkan diri pada putaran pertama pilpres. Hal itu tidak merugikan partai karena peluang menjadi bagian pemerintah yang berkuasa tetap terbuka lebar di putaran kedua. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) misalnya, adalah solusi cerdas atas dilema pilpres yang dikonstruksikan oleh perundang-undangan yang ada. KIB tetap membuka peluang bagi kader-kadernya untuk menjadi capres/cawapres di putaran pertama. Kalaupun kalah, KIB akan menjadi faktor penentu karena kemana telur mereka letakkan, disitulah pilpres dimenangkan.

Ormas dan Orwan

Lingkar kuasa terluar Jokowi adalah organisasi massa (ormas) dan organisasi relawan (Orwan). Tidak ada yang luar biasa dari partisipasi ormas dan orwan dalam pemilu. Mereka adalah fenomena yang umum dalam pemilu. Namun sejak Pilgub DKI 2012 Suaedi (2014), seorang peneliti dari Wahid Institute, meletakkan sudut pandang baru terhadap relawan. Ia melihat relawan politik sebagai gerakan sosial partisan. Gerakan sosial itu bisa dibedakan dari relpawan pemilu biasa karena membangun agenda untuk pemerintahan yang terbuka, bebas dari korupsi, dan mampu memberikan layanan publik yang maksimal. Agenda tersebut bersifat pro-demokratis.

Sayangnya, pandangan Suaedi itu tidak bersesuaian dengan kenyataan. Immanuel Ebenezer (2022), pimpinan orwan Jokowi Mania, melihat relawan sebagai sekedar event organizer bahkan pengejar jabatan. Sementara Benny Rhomdony, salah satu pimpinan orwan Jokowi, melukiskan relawan sebagai semacam organisasi paramiliter yang akan menghadapi pengkritik Jokowi di dalam dan di luar jalanan.

Di bawah payung Jokowi saat ini terdapat setidaknya 18 orwan. Dalam sepuluh tahun terakhir tidak jelas apa kontribusi orwan terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia. Gagasan populis yang disampaikan Jokowi dalam pilpres dan diresonansikan dengan kuat oleh Orwan, tidak ada yang terwujud. Menurut hemat saya, orwan tidak menyumbang nilai positif untuk politik kita, mereka tidak membawa pencerahan atau perubahan kebijakan yang mendorong perubahan struktural masyarakat.

Organisasi relawan tidak mengirim sinyal bermakna untuk kehidupan demokrasi. Organ buzzer mereka mengisi ruang politik dengan kebisingan, ad hominem dan kebencian. Sementara partai-partai politik juga terganggu oleh upaya mereka mendiktekan calon presiden. Padahal berapa besar sih kemampuan orwan menggalang dukungan, tidak pernah ada bukti yang meyakinkan.

Diluar orwan, Nahdlatul Ulama, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, menjadi salah satu pilar pendukung rejim Jokowi. Sebagai ormas Islam terbesar NU tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik nasional. Pada era Orde Lama NU menjadi bagian dari Nasakom Presiden Soekarno. Namun dalam proses peralihan menuju Orde Baru, NU adalah musuh paling sengit dari PKI, salah satu elemen Nasakom lainnya. Pasca-Nasakom NU praktis tersisih dari kekuasaan. Politikus NU di PPP pun banyak tersingkir oleh kekuatan J. Naro yang didukung oleh Ali Murtopo.

Ketika akhirnya Orba jatuh, peran politik NU menguat bersamaan dengan bangkitnya popularitas KH. Abdurrahman Wahid sebagai antitesis Soeharto. NU melahirkan partai politiknya sendiri, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa, dan berhasil meraih suara 12,6%.

Dilema NU sekarang ini berkaitan dengan sikap Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf yang sangat anti-politik identitas. Yahya sangat konsisten dalam hal ini, ia melawan penggunaan identitas NU bahkan oleh PKB, partai yang dilahirkan NU.

Apa kepentingan Yahya dengan sikap agresifnya atas Islam politik? Sikap Yahya itu bertentangan dengan sejarah Islam karena kalau dikaitkan dengan Islam, sejarah 350 tahun penjajahan Belanda sebenarnya dapat dilihat sebagai 350 tahun sejarah jihad Islam melawan Belanda. Demikian pula Resolusi Jihad yang diserukan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 adalah seruan untuk membela kemerdekaan kalau perlu dengan kekuatan senjata. Islam pada saat itu berfungsi membela integritas negara Republik Indonesia yang baru didirikan. Islam adalah kekuatan pemersatu.

Lantas, kondisi apa yang membuat Yahya berpikir bahwa politik sebagai bagian dari syiar Islam harus dipinggirkan? Kapan Islam dianggap sebagai kekuatan pemecah-belah?***

(Penulis adalah Anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia).