Mirah Sumirat, Presiden ASPEK INDONESIA/ist

JAKARTASATU— Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) menegaskan kembali sikapnya, terkait dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Jika sebelumnya (31/12) kami menyatakan sikap sebelum didapatnya dokumen resmi Perppu, maka hari ini (02/01) setelah beredarnya salinan Perppu, kami kembali menegaskan sikap bahwa yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia saat ini adalah Perppu Pembatalan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja. Demikian disampaikan oleh Mirah Sumirat, SE, Presiden ASPEK Indonesia dalam keterangan pers tertulis ASPEK Indonesia kepada media (02/01/2023).

Mirah Sumirat menegaskan, demi menjamin hak kesejahteraan rakyat Indonesia dan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum, ASPEK Indonesia menuntut kepada Pemerintah untuk membatalkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan menggantinya dengan menerbitkan Perppu Pembatalan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja, serta memberlakukan kembali Undang Undang yang ada sebelum adanya Undang Undang Cipta Kerja.

Mirah Sumirat menduga, terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini karena Pemerintah dan DPR gagal memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan perbaikan dalam dua tahun, kemudian justru memaksakan pemberlakuan Undang Undang Cipta Kerja melalui Perppu. Ini akal-akalan untuk memaksakan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, tegas Mirah Sumirat.

ASPEK Indonesia telah mempelajari isi salinan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang beredar di masyarakat sejak semalam. Ternyata isinya hanya copy paste dari isi Undang Undang Cipta Kerja, yang ditolak oleh masyarakat termasuk serikat pekerja. Kalaupun ada perbedaan redaksi, ternyata isi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 justru semakin tidak jelas dan tidak ada perbaikan sebagaimana yang dituntut oleh serikat pekerja. Berbagai hal yang dituntut oleh serikat pekerja, ternyata dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2022 akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah lagi. Sehingga Pemerintah bisa seenak-enaknya sendiri menerbitkan Peraturan Pemerintah yang tentunya hanya akan menguntungkan kelompok pemodal atau investor. Modus seperti ini sudah menjadi rahasia umum, karena sejak awal Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja memang didesain oleh dan untuk kepentingan pemodal, bukan oleh dan untuk kepentingan rakyat.

Mirah Sumirat kembali menegaskan, ada dua alasan prinsip perlunya Perppu Pembatalan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja. Pertama, alasan formil, karena Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 telah memutuskan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dengan kewajiban kepada Pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun, menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta larangan menerbitkan peraturan pelaksana baru sebagai turunan dari Undang Undang Cipta Kerja. Sehingga demi memenuhi rasa keadilan masyarakat dan memberikan kepastian hukum sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi, maka Pemerintah seharusnya menerbitkan Perppu untuk membatalkan Undang Undang Cipta Kerja, dan mengembalikan berlakunya seluruh Undang Undang yang terdampak Omnibus Law. Termasuk kembali memberlakukan Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta seluruh peraturan turunannya.

Alasan kedua perlunya Perppu Pembatalan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja, menurut Mirah Sumirat adalah terkait aspek materiil. Mirah Sumirat mengungkapkan, dampak buruk Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja khususnya kluster Ketenagakerjaan, telah membuat pekerja Indonesia semakin miskin. Hal ini karena Undang Undang Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah dan juga jaminan sosial bagi pekerja Indonesia.

ASPEK Indonesia menilai isi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tidak mengakomodir tuntutan serikat pekerja, karena:

– Sistem kerja outsourcing tetap dimungkinkan diperluas tanpa pembatasan jenis pekerjaan yang jelas.
– Sistem kerja kontrak tetap dimungkinkan dapat dilakukan seumur hidup, tanpa kepastian status menjadi pekerja tetap.
– Sistem upah yang tetap murah, karena tidak secara tegas menetapkan upah minimum harus berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan hidup layak.
– Masih hilangnya ketentuan upah minimum sektoral provinsi dan kota/kabupaten.
– Tetap dimudahkannya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan. Termasuk hilangnya ketentuan PHK harus melalui Penetapan Pengadilan.
– Berkurangnya kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) pesangon dan penghargaan masa kerja.
– Kemudahan masuknya tenaga kerja asing (TKA), bahkan untuk semua jenis pekerjaan yang sesungguhnya bisa dikerjakan oleh pekerja Indonesia.

Terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 hanya semakin menegaskan bahwa rakyat Indonesia selama ini hanya dijadikan obyek untuk keuntungan pemilik modal, yang memanfaatkan DPR selaku legislatif dan Pemerintah selaku eksekutif, pungkas Mirah Sumirat.(Yos/jaksat)