JAKARTASATU.COM — Beredar khabar di berbagai media tentang adanya putusanPeninjauan Kembali (PK)Mahkamah Agung (MA) terkaitasset PT First Anugerah KaryaWisata ( “First Travel”) yang katanya asset First Travel yang disita dan dirampas untuk negaradiputuskan untuk dikembalikankepada jamaah. Yang mengajukanpermohonan PK adalah AndikaSurachman selaku terpidanadalam kasus penipuanpenyelenggaraan umroh. Akan tetapi bunyi putusan lengkapnya, di website MA belum ada sampaitulisan ini dibuat.
Di tingkat kasasi, dengan ketuamajelisnya Dr Andi SamsanNganro, SH, MH putusannyaadalah asset FT dirampas dandisita untuk negara. Atas putusanNomer 3096 K/Pid.Sus/2018 tertanggal 31 Januari 2019 ituasset FT dirampas dan disita untuknegara tersebut, muncul banyakkecaman sebab asset FT tersebutbukanlah dana korupsi melainkandana para jamaah yang jumlahnyasekitar 63.310 jamaah yang telahmenyetor ke First Travel. Dana-dana yang jumlahnya hampir Rp 1 Triliun itulah yang diselewengkanoleh Andika Cs untuk membelirestaurant di London, plesiran, mengadakan fashion show di New York dll. Putusan kasasi MA banyak dikecam, karena dalamPasal 117 UU No 8 Tahun 2019 tentang Haji dan Umrohdisebutkan bahwa uang jamaahtidak boleh diambil oleh siapapun, termasuk oleh negara. Terhadap putusan MA yang dikecamtersebut, Juru Bicara MA (waktuitu) Dr. Abdullah, SH, MH, mengatakan kepada media padatanggal 20 November 2019 bahwayang namanya upaya itu bukanhanya upaya hukum, tetapi juganon hukum termasuk politik.
“Para jamaah berbondong-bondongmendaftar sebagai calon jamaahumroh ke FT, karena FT merupakan perusahaanPenyelenggara PelaksanaanIbadah Umroh (PPIU) yang dijamin oleh negara sebagai PPIU yang sehat, sebab ada kewajibannegara (Kementeriaan Agama) untuk memastikan secara rutin danmengaudit keuangan, administrative dan perijinanbahwa sebuah PPIU adalah sehatdan layak untukmenyelenggarakan ibadah umrohsebagaimana diatur dalam UU No 8 Tahun 2019 tentang Haji danUmroh maupun peraturanpelaksana lainnya. Tapi karena FT gagal memberangkatkan ribuanjamaah, maka pemerintah haruspula bertanggungjawab terhadapkegagalan memberangkatkanjamaah tersebut. Akhirnya, melalui PK sebagai upaya hukumluar biasa, asset FT dikembalikankepada jamaah. Tetapi bagaimanamekanisme pengembaliannyakepada puluhan ribu jamaah, pastilah rumit dan ruwet,” ujar Dr. TM. Luthfi Yazid, SH, LL.M dalam rilisnya Jumat, 6 Januari 2023.
Penasehat Hukum pro bono (cuma-cuma) jamaah korban First Travel ini juga menambahkan terkait dengan kasus ini, banyakalasan mengapa negara harus hadirdan harus terlibat danbertanggungjawab.
Pertama, Setelah putusan PK yang menyebutkan asset FT dikembalikan ke jamaah, maka haltersebut merupakan kewenanganeksekutor, yakni Jaksa PenuntutUmum (JPU). Karena upaya PK tidak menangguhkan ataumenghentikan pelaksanaanputusan pengadilan (Pasal 66 ayat2 UU No 14/1985 tentang MA sebagaimana telah diubah denganUU No 5/2004), maka timbulpertanyaan apakah di level kasasiterdahulu eksekusi atas asset FT dirampas negara sudahdilaksanakan, baik asset dalambentuk uang ataupun barang? Jikadalam bentuk uang (bilaputusannya belum inkracht)mungkin uang tersebut ada dalam“rekening penampungan” atau“rekening penitipan” (rekeningyang tidak berbunga). Jikaternyata, misalnya, asset FT berupa uang yang dirampas untuknegara telah masuk ke kas negaraatau “rekening Kemenkeu”, makasecara berjenjang (setelah melaluiKajari Depok, Kajati Jabar danKejagung RI), Jaksa Agungmemberikan up-date dan koreksikepada Menteri Keuangan akanadanya putusan PK tersebut.Semua mekanisme itu, tentu saja,melalui pembuatan PetunjukPimpinan (Juk Pim). Namunsemuanya belum jelas, sebabbunyi putusan PK lengkapnyabelum ada karena belum di uploadMA sementara beritanya sudahbergulir, dan seolah-olah memberiharapan yang melegakan bagijamaah. Padahal tidak!
JPU hanya menjadi eksekutorsesuai dengan bunyi putusanPKnya karena hal ini terkaitdengan barang bukti. Umpamanya, apakah asset FT tersebutdiserahkan kepada AndikaSurachman, Anniesa Hasibuanatau kepada para jamaah? Semuaitu tercantum dalam bunyiputusan. Namun demikian karenamenyangkut puluhan ribu orang,dengan asset FT yang sangat tidakmemadai maka mekanismenyatidak mudah. Bahkan bisa timbulkonflik antara jamaah denganjamaah atau jamaah dengan agent umroh.
Kedua, Berdasarkan Pasal 86 ayat3, 4 dan 5 UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji danUmroh sebenarnya pemerintahdapat memberikan solusi untukmemberangkatkan jamaah umrohyang gagal dengan jumlah yang massif tersebut. Dalam “keadaandarurat atau keadaan yang luarbiasa” pemerintah melalui sebuahkeputusan Presiden dapat“mengambilalih” untukmemberikan solusi bagi jamaahyang gagal berangkat. Dalam halini Presiden dapat Presiden turuntangan menyelesaikan kasus ini, dengan memberikan perintah yang solutif kepada Menaq Yaqut CholilQoumas. Sebab perlindunganterhadap penyelenggaraan ibadahumroh—sebagai pelaksanaankebebasan melaksanaan ibadahagama dalam Pasal 28 dan 29 UUD 1945—adalah mandatkonstitusi yang harus dilaksanakanoleh negara.
Ketiga, yang mengeluarkan ijinPPIU adalah Pemerintah(Kementeriaan Agama/KemenagRI). Kemudian berdasarkanKeputusan Menteri Agama Nomer589 Tahun 2017 yang intinyamenyebutkan bahwa seluruh biayaumroh yang telah ditransfer kerekening FT harus dikembalikankepada jamaah atau merekadiberangkatkan untuk umroh. Keputusan Menteri Agama inidibuat pada masa Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. SampaiMenteri Agamanya berganti keFachrul Razi sampai Menag YaqutCholil Qoumas keputusan MenteriNomer 589/2017 ini hanya sebatasjanji kertas.
Keempat, dalam rapat kerja Menteri Agama Fachrul Razidengan Komisi 8 DPR RI padaakhir tahun 2019 yang dihadiri 21 anggota komisi VIII dari 9 fraksidi DPR RI, Menteri Agama berjanji akan memberangkatkansecara bertahap para jamaah yang gagal berangkat. Tapi nyatanyasampai Menteri Agamanyaberganti ke Yaqut Cholil Qoumasjanji tetap tinggal janji.
Kelima, yang terpenting lagiadalah, kasus FT menyangkutpuluhan ribu orang dan terkaitdengan hak fundamental (fundamental rights) warga negarayakni menjalankan ibadahkeagamaan (umroh), yangmanapelaksanaan umroh merupakankegiatan berkelanjutan. KerugianFT saja dengan 63.310 jamaahsudah mencapai sekitar Rp 1 Trilliun. Jadi sangat beralasanpemerintah untuk turun tangansebagaimana pemerintah turuntangan dalam kasus PT LapindoBrantas, PT Bank Century dan PT Jiwasraya dimana negaramenalangi para korban. Misalnya, dalam kasus PT Lapindo Brantas, Menteri Keuangan Sri Mulyaniberdasarkan Keppres No 13 Tahun2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Sembur Lumpur Lapindo memberikan ganti rugikepada korban lumpur sekitar Rp751 Milyar. Dalam kasus PT Bank Century pemerintah menalangi(bailed-out) para nasabah sekitarRp 6,76 Trilliun. Dalam kasus PT Jiwasraya pemerintah menalangikerugian sekitar Rp 22 Trilliun.
Keenam, keberadaan SatgasWaspada Investasi (SWI) yang terdiri dari 13 kementeriaan atausetingkat menteri yakniKementerian Agama, KepolisianRI, OJK, Kemenhukham, BPK,Menko Info, Kejagung, dll —yang dibentuk saat mencuatnya kasusFT— tidak maksimal dan tidak bisajuga mencarikan solusi, bahkankasus kegagalan berangkat jamaahumroh masih berulang sampai saatini.
Akirnya, para jamaah janganterlalu banyak berharap atas hasilputusan PK tersebut karena asset FT jumlahnya sangat kecil.Assetnya yang disita selama 4 tahun sudah pasti menyusut karenakasus ini terlalu lama terkatung-katung dan pasti tidak mungkinmemberangkatkan semua jamaahyang gagal berangkat, kecualipemerintah memberikan jalankeluar seperti dalam kasus PT Lapindo, PT Bank Century atau PT Jiwasraya, toh jumlahnya tidaksampai Rp 1 T dibandingkankerugian ketiga PT tersebut.
“Sebagai sebuah usulan, para jamaah diberangkatkan, umpamanya, kalau umrohbiasanya dilakukan 9 hari, inicukup 3 atau 4 hari saja dan cukupdi kota Mekkah saja. Soal biayavisa bisa dinegosiasikan antara pemerintah Indonesia danpemerintah Kerajaan Arab Saudi(KSA) agar mendapat keringananatau digratiskan. Soal tiket pesawat bisa juga dinegosiasikanantara pemerintah Indonesia danSaudi Arabia,” ujar Luthfi Yazid Wakil Presiden Kongres AdvokatIndonesia (KAI).
Begitupun dengan akomodasi selama ibadah maupunsoal konsumsi buat para jamaah selama di kota Mekkah. Soal konsumsi, biasanya jamaah kitasangat simple karena lebih memilih konsentrasi dalam beribadah. Mungkin juga jamaah diminta menambah biaya yang terjangkau atau tidak terlalu memberatkan. Banyak skemasolusi yang dapat dipikirkan oleh pemerintah untuk menekan biaya pelaksanaan umroh.
“Untuk menambah kekurangan, bisa saja asset FT atau Andika Cs ditelusuri lagi sampai tuntas, karena mungkin masih ada yang disembunyikan atau dialihkan kepihak lain namun dilakukan secara tidak legal sehingga mestidibatalkan. Masalahnya, pemerintah mau ataukah tidak? Itusaja…,” tutup Dr. TM. Luthfi Yazid, SH, LL.M yang juga Wakil Ketua Dewan PenasehatIndonesian Association of British Alumni (IABA). |YTO