Anthony Budiawan/ IST
Anthony Budiawan/ IST

Oleh : Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

BI kaget. Masyarakat prihatin. Bukan prihatin karena BI kaget. Tetapi prihatin karena BI terkesan amatir, dan tidak profesional.

BI terkesan tidak kompeten, mengeluarkan kebijakan terkait Devisa Hasil Ekspor yang nampaknya tidak ada dasar sama sekali. BI terkesan mau menghindar dari tanggung jawab atas kebijakan moneternya yang tidak efektif, dengan mencari alasan mengada-ada.

BI mempertanyakan, kenapa dolar AS seakan-akan langka sehingga membuat kurs rupiah tertekan, padahal hasil ekspor 2022 sangat tinggi, mencapai 291,9 miliar dolar AS, dengan surplus neraca perdagangan mencapai 54,6 miliar dolar AS?

Hal ini membuat Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, merasa banyak Devisa Hasil Ekspor (DHE) tidak masuk ke Indonesia, alias diparkir di luar negeri.

Lucu juga, dugaan Devisa Hasil Ekspor diparkir di luar negeri hanya berdasarkan “perasaan”, seperti dikutip dari CNBC _”Pada saat itu, *ada rasa* kenapa dana itu kok gak masuk di perbankan kita,” kata Destry lagi._

Terlebih lagi, “perasaan” BI tersebut dilontarkan pada acara resmi konperensi pers, sehingga terlihat amatir.

Karena, BI sebenarnya mempunyai data sangat lengkap untuk menjawab semua dugaan, pertanyaan atau keprihatinan terkait semua transaksi internasional antara Indonesia dengan luar negeri.

Data tersebut bernama *Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)*, disusun dan dipublikasi sendiri oleh BI, per triwulanan. di dalam NPI juga termasuk Neraca Perdagangan.

Maka itu, BI seharusnya dapat menjawab dengan cermat apakah memang ada Devisa Hasil Ekspor yang tidak masuk ke Indonesia: berdasarkan data, bukan berdasarkan perasaan.

Mari kita lihat data NPI 2022. Sejauh ini, data NPI yang sudah dipublikasi baru sampai Q3/2022. Sedangkan data NPI Q4/2022 baru akan dipublikasi bulan depan.

Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), ekspor hingga Q3/2022 mencapai 219,3 miliar dolar AS, dengan surplus perdagangan mencapai 39,8 miliar dolar AS.

Pertanyaannya, apakah ada Devisa Hasil Ekspor tersebut yang diparkir di luar negeri? Kalau ya, berapa besar?

Pada prinsipnya, semua transaksi lalu lintas devisa internasional akan tercatat di dalam sistem perbankan Indonesia, dicatat BI di dalam *Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)*.

Menurut data NPI, dana hasil ekspor yang masuk ke Indonesia hingga Q3/2022 tercatat 219,8 miliar dolar AS. Artinya, sesuai dengan data BPS. Karena hampir seluruh ekspor Indonesia menggunakan FOB, sehingga pencatatan BPS yang berdasarkan akrual sama dengan data NPI yang berdasarkan penerimaan kas. Artinya, praktis, semua Devisa Hasil Ekspor sudah diterima di Indonesia! Bukankah begitu? Data berbicara!

Tetapi, kenapa dolar seakan-akan langka?

Karena, ekspor dan surplus neraca perdagangan yang cukup tinggi tidak serta merta membuat cadangan devisa meningkat dan kurs rupiah menguat. Dan BI seharusnya sangat paham mengenai hal tersebut.

Alasannya sebagai berikut, tercermin dari data NPI.

Pertama, neraca perdagangan sektor Jasa untuk periode yang sama mengalami defisit cukup besar, yaitu 14,6 miliar dolar AS.

Kedua, Neraca Pendapatan (Primer dan Sekunder) juga mengalami defisit cukup besar, yaitu 22,1 miliar dolar AS. Pendapatan Primer dan Sekunder adalah transaksi terkait pendapatan dari hasil investasi (dividen, _capital gain,_ bunga) dan ketenagakerjaan (TKI/TKA).

Penjumlahan semua ini dinamakan *Neraca Transaksi Berjalan*, menghasilkan surplus hanya sekitar 9 miliar dolar AS.

Ketiga, yang sekaligus merupakan komponen NPI terakhir, adalah transaksi Modal dan Investasi (Finansial), yang dinamakan Neraca Transaksi Modal dan Finansial.

Untuk periode hingga Q3/2022, ternyata aliran investasi dari luar negeri defisit 9,2 miliar dolar AS. Artinya, investor asing menarik kembali investasinya yang ada di Indonesia, dan terjadi _capital outflow_ yang menekan kurs rupiah.

Pertanyaannya, kenapa investor asing melakukan divestasi di Indonesia?

Salah satu sebabnya karena selisih suku bunga acuan antara Bank Sentral AS (the Fed) dengan BI terus menyempit, hingga mencapai sekitar 1 persen, dan memicu _capital outflows._

Sepanjang tahun 2022, the Fed sudah menaikkan suku bunganya sebesar 4,25 persen. Sedangkan BI hanya menaikkan 2 persen.

Tentu saja, BI sadar dan tahu konsekuensi dari kebijakannya ini akan memicu _capital outflows_ dan menekan kurs rupiah.

Maka itu, sangat aneh kalau sekarang BI menanyakan kenapa dolar AS langka. Malah terkesan menyalahkan eksportir memarkir devisanya di luar negeri?

Kalau ada hasil ekspor yang diparkir di luar negeri, kemungkinan besar berasal dari manipulasi nilai ekspor, melalui _transfer pricing_, artinya nilai ekspor dibuat lebih rendah dari sebenarnya. Salah satu tujuannya untuk menghindari pembayaran pajak!