Akrobat Politik “Desa Mengepung Kota”

Oleh Wawan Leak
(Pemerhati Demokratisasi dan Senator ProDEM)

Ditengah menghangatnya suhu politik menjelang pergantian tampuk kepemimpinan Nasional, dan berbarengan dengan siklus pergantian anggota Parlemen dan bbrp jabatan Eksekutif, kita terhenyak dengan demo Kepala Desa se Indonesia ke Gedung DPR/MPR.

Desa yang selama ini hanya menjadi sandaran basis ekonomi, mendadak mengkristal menjadi kekuatan baru di dunia perpolitikan tanah air.
Viral statement beberapa kepala desa, yang dengan terang2 melakukan pressure kepada pembuat kebijakan di tanah air,dalam hal ini DPR.

Penulis mencoba mengajak pembaca untuk tarik mundur bbrp akrobat politik yg dilakukan bbrp gelintir orang dengan kalimat “pengunduran masa jabatan”.

Pengunduran masa jabatan bergulir dan menjadi polemik, saat muncul dorongan pengunduran masa jabatan Presiden.
Akrobat politik tsb seiring dengan bergulirnya penundaan PEMILU.
Dan seiring bergulirnya waktu fenomena tentang ide penundaan masa jabatan presiden dan tunda Pemilu hilang bak ditelan bumi.
Ya karena tidak menjadi bola salju dan tidak laku isue tersebut.
Tapi penulis masih meyakini bahwa “invisible hands” tidak akan berhenti sampai disitu, sebelum apa yg menjadi goal target terjawab.

Ternyata fenomena pengunduran masa jabatan presiden, menular ke jabatan kepala desa.
Secara logika berdasar kesehatan saja sudah jelas dipaksakan, dengan penambahan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dan bisa maju lagi 3 periode.
Belum dari sisi analisa psychologi dan lain sebagainya.

Ketika pola tetesan dari atas kebawah (trickle down effeck) tidak mempan, maka pola dari bawah ke atas (bottom up) dimainkan, itu yang ada dalam pemikiran penulis.

Sebegitu.mengguritanya pemikiran un-demokratis dihembuskan.
Dan bagaimana demokratisasi bisa sehat dan beradab bila semua unsur kenegaraan dianggap sebatas ornamen demokratisasi.***