FERDY SAMBO SAAT AKAN SIDANG/IST

JAKARTASATU – Praktisi Hukum Augustinus Hutajulu menyatakan sangat mendukung sikap dan keyakinan para akademisi yang menjadi “Sahabat Pengadilan” (Amicus Curiae) yang mendukung tindakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merekomendir kedudukan Richard Eliezer sebagai justice collaborator (JC), sebagaimana diberitakan media, Senin (6/2/2023). Disebutkan di sana, para akademisi yakin bahwa untuk memastikan keadilan, hukuman yang diberikan kepada Eliezer sebagai justice collaborator, seharusnya tidak berat atau lebih ringan dari para pelaku lainnya.

Augustinus Hutajulu atas pertanyaan CERI, malah mengharapkan Eliezer dibebaskan dari segala dakwaan atau tidak dipidana dengan alasan sebagai berikut:

1. Dibebaskan dari segala dakwaan.

Eliezer diajukan ke pengadilan dengan dakwaan:
a. Primair: Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
b. Subsidair: Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Baik pasal 340 KUHP ialah pembunuhan dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu (moord atau voorbedachte rade) maupun pasal 338 KUHP ialah pembunuhan biasa (doodslag) secara terang dan jelas (expressive verbis) mencantumkan ‘sengaja’ sebagai unsur (bestandeel) perbuatan pidana atau deliknya oleh karenanya harus dibuktikan.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam Surat Tuntutan (Requisitoir)nya dengan mengacu pada Memorie van Toelichting (MvT) yang mengartikan sengaja itu adalah willens en wetens (dikehendaki dan diketahui) menyatakan bahwa terdakwa Eliezer telah memenuhi unsur dengan sengaja itu, dengan kata lain menurut JPU, Eliezer menghendaki dan mengetahui akibat dari perbuatannya menembak Brigadir Y (Alm.). Padahal, telah menjadi pengetahuan umum bahwa seseorang bisa saja mengetahui akibat dari sesuatu perbuatan tetapi tidak menghendaki perbuatan itu dilakukan. Jadi jika perbuatan itu dilakukan juga, pastilah itu bukan karena kehendaknya sendiri akan tetapi karena adanya paksaan atau hal-hal lain dari luar dirinya sehingga dia harus melakukan apa yang tidak dikehendakinya itu.

Sebagaimana telah pernah saya katakan atas pertanyaan CERI dalam artikel berjudul “Pantaskah Eliezer Dituntut 12 Tahun Penjara?”, baik sebagai saksi(di bawah sumpah) maupun sebagai terdakwa, Eliezer menerangkan bahwa dia menembak Brigadir Y (Alm.) karena takut bernasib sama seperti Almarhum jika tidak melaksanakan perintah atau skenario Irjen Sambo untuk menembak Brigadir Y. Eliezer takut mengingat pangkat dan kedudukan Sambo sebagai Irjen Pol dan Kadiv Propam yang menjadi atasannya, sedangkan ia hanya berpangkat Bharada (pangkat terendah) dengan jabatan supir atau ajudan Ferdy Sambo. Dalam persidangan, atas pertanyaan Ketua Majelis Hakim, Eliezer membenarkan bahwa dalam pendidikannya untuk menjadi Bharada Brimob di Watukosek, dia hanya diajar untuk siap melaksanakan perintah atasan. Atas keterangan Eliezer ini, tidak ada pihak termasuk JPU yang mengajukan sanggahan sehingga keterangan Eliezer tersebut haruslah diterima sebagai benar dan merupakan fakta persidangan.

Di persidangan, Eliezer kepada Ketua Majelis mengatakan dia sampai berdoa di toilet saat baru menerima perintah di rumah Saguling. “Saya berdoa, ‘Tuhan kalau bisa ubah pikirannya biar nggak jadi’, karena saya takut harus cerita kepada siapa lagi, saya beraninya hanya berdoa,” ujar Eliezer. Kepada Ketua Majelis, Eliezer juga menceritakan, bahwa setiba di rumah Duren Tiga, “Saya masih blank juga pada saat itu, Yang Mulia. Saya lihat ada kamar terbuka, saya masuk, saya berdoa lagi di situ Yang Mulia,” ungkap Eliezer. Ketua Majelis kemudian meminta Eliezer mengungkapkan isi doa yang dipanjatkan di dalam kamar tersebut. “Saya berdoa saya minta Tuhan gak jadi kejadian ini Yang Mulia. Biar Tuhan ubahkan pikiran Pak Sambo Yang Mulia, biar gak jadi rencananya Pak Sambo,” terang Eliezer.

Atas keterangan Eliezer dalam persidangan mengenai ketakutan dan doanya itu, baik selaku saksi di bawah sumpah maupun sebagai terdakwa, tidak ada juga pihak yang mengajukan sanggahan ataupun bantahan sehingga keterangan Eliezer itu haruslah dianggap sebagai fakta persidangan.

Dengan demikian, JPU telah gagal membuktikan adanya unsur ‘dengan sengaja’ dalam Pasal 340 KUHP pada diri Eliezer sebagai terdakwa, sebab bila Eliezer menghendaki menembak Brigadir Y (Alm) ataupun “menghendaki dengan sukarela” melaksanakan perintah dari Ferdy Sambo, pastilah doanya tidak demikian. Mungkin dia akan berdoa agar diberi keberanian untuk melaksanakan perintah itu.

Telah menjadi doktrin yang meraja, apabila satu unsur dari suatu perbuatan yang didakwakan tidak terbukti maka terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan tersebut.

Berhubung ‘kesengajaan’ adalah salah satu bentuk kesalahan yang merupakan suatu hubungan antara sikap batin dan perbuatan yang dilakukan, sangat sulitlah menentukan apakah seorang terdakwa mempunyai ‘kesengajaan’ atau tidak. Hanya hakimlah dengan pengetahuan, pengalaman dan kearifannya yang dapat menilai dari fakta yang terungkap di persidangan ada tidaknya kesengajaan itu pada diri seorang terdakwa.

2. Tidak dipidana

Bahwa sebagaimana telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang mengomentari perkara ini, saya juga tetap berpendapat seperti yang telah saya kemukakan dalam artikel CERI yang disebut di atas, bahwa terdapat dasar dasar yang meniadakan pidana (strafuitsluitingsgronden) yang dapat membuat Eliezer tidak dipidana ialah adanya daya paksa (overmacht) dalam Pasal 48 KUHP dalam kasus ini berupa paksaan psikis (vis compulsiva) dan atau adanya pelaksanaan perintah dengan itikad baik dalam Pasal 51 KUHP.(*JAK)