Prof. Didik J. Rachbini

JAKARTASATU.COM — Keputusan politik untuk ekonomi sangat penting dan berpengaruh besar terhadap kelangsungan ekonomi nasional. Bisa dikatakan bahwa 90% dari ekonomi adalah politik, dan 90% dari politik adalah ekonomi. Kebijakan ekonomi penting untuk mengantisipasi dampak makro dari krisis global, yang paling utama adalah mengatasi dampak negatifnya berupa pengangguran yang meningkat pesat. Pengangguran yang berlebih adalah yang luarbiasa dan harus diperhatikan sebagai hal penting luar biasa.

Satu saja ada keluarga sederhana yang menganggur maka keluarga itu “kiamat”, dalam tanda kutip, apalagi jika tidak punya asuransi atau tabungan. Maka bayangkan jika tingkat pengangguran suatu negara mencapai 7% dan pasti akan menjadi masalah sosial politik. Pesan yang ingin disampaikan adalah hendaknya Badan Anggaran DPR sensitif anggaran dan pengaruhnya terhadap kesempatan kerja dan hasilnya terhadap penyelesaian pengangguran.

“Contoh yang tidak sensitif terhadap kesempatan kerja adalah isu TKA China yang masuk ke Indonesia, yang menjadi kerisauan rakyat banyak. Padahal banyak sekali warga negara Indonesia yang masih menganggur. Setiap anggaran yang diputuskan selayaknya diukur hasiln ya terhadap pengurangan pengangguran. Jangan dibiarkan anggaran lepas tanpa hasil untuk memperluas kesempatan kerja, “ungkap Prof Didik di depan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Kamis, 9 Februari 2023.

Ditambahkannya bahwa perlu diperhatikan lagi masalah pentingnya restrukturisasi ekonomi ke depan. Pada era 1988 industri kita bisa tumbuh 2 digit, 10-12%. Namun sekarang hanya tumbuh 4%. Persoalan kita adalah bagaimana bisa mengangkat pertumbuhan menjadi 6-7% dengan sektor utamanya, yakni sektor industri hanya tumbuh 4 persen. “Tidak mungkin janji kampanye ekonomi tumbuh 7 persen dengan sektor industri yang lemah,” ujarnya lagi.

Hilirisasi yang dikumandangkan Presiden Jokowi bagus dan itu yang diperlukan tetapi sepertinya sudah terlambat, karena seharusnya dilaksanakan pada awal periode pertama kabinetnya (2015-2016). Pada saat itu pertumbuhan industri nasional berkisar 4-5% saja. Oleh karenanya untuk mendorong agar industri bisa meningkat, maka badan anggaran DPR RI hendaknya juga memberi masukan ke pemerintah soal pentingnya inovasi di Industri kita, terutama teknologi agar industri dan inverstasi berkualitas dan bernilai tambah tinggi.

Investasi luar negeri memang masuk, tetapi tidak ada hubungannya dengan pertumbuhannya industri. Investasi masuk banyak, namun pertumbuhan industri tidak kunjung meningkat. Terlihat dari grafik yang ada tidak ada korelasi signifikan. Hal itu menandakan tidak adanya policy yang dibangun bagi perbaikan industri nasional.

Bagaimana kebijakan seharusnya? Kita best practice pada 1988, mulai dari Pakto 1988 dan serangkaian deregulasi dan debirokratisasi menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat menyentuh angka 7%. IJtu semua dilakukan dengan kebijakan reformasi stgruktural dengan dampak pada industri yang tumbuh tinggi, investasi masuk signifikan dan ekspor yang kuat. Setelah krisis krisis tahun 1998, rata-rata pertumbuhan ekonomi menurun tetapi masih masih bisa 6%. Sekarang pertumbuhan ekonomi semakin berat untuk bisa mencapai pertumb uhan 6-7 persen, sudah hampir satu dekade kita hanya tumbuh 5%.

“Yang perlu dicatat adalah kebijakan fiskal yang ekspansif dan kebijakan utang yang agresif pada satu dekade terakhir ini. Coba dibandingkan, pada periode 2004-2014 pertumbuhan ekonomi rata-rata 6%. Rasio utang kita terus turun dari 43% sampai 24%. Berarti pada masa itu utang benar-benar ditekan agar efisien, dan penggunaan utang dijaga untuk yang benar-benar diperlukan. Namun, pada periode sekarang, 2014-2023 rasio utang kita tumbuh dari 24% terus meningkat ke 41% dari PDB. Tapi anehnya pertumbuhan ekonomi saat ini hanya 5% ke bawah. Itu berarti utang yang ditarik digunakan secara tidak efisien. Saya berani katakan itu. Jadi yang diputuskan Banggar soal utang kita harus dicatat, itu tidak efisien,”paparnya.

MAsih kata Didik pertumbuhan ekonomi kita yang 5% an masih baik, tapi tentu saja masih kalah dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand. Pada 2020, semua indikator pertumbuhan ekonomi nasional masih merah, tetapi sekarang sudah hijau kembali. Artinya sudah kembali beranjak normal. Angka penjualan kendaraan bermotor juga sudah bergairah kembali. Hanya sektor konsumsi yang masih bergerak membaik.

“Dalam keadaan sebelum krisis covid-19 tempo hari, ada keputusan DPR RI soal penarikan utang diturunkan dari sebesar Rp921 triliun pada tahun 2019 menjadi hanyua 651 trilyun rupiah pada tahun 2020. Ini mirip semangat pada periode 2004-2014. Nettonya pada tahun 2020 Rp449 triliun karena ada yang jatuh tempo, tidak jauh berbeda dengan tahun 2019. Itu angka yang dipakai untuk penganggaran dengan semangat efisiensi yang baik. Ini rencana sebelum covid-19 menular ke Indonesia,”bebernya.

Setelah Covid-19 terjadi pada 2020, keputusan yang diambil dengan alasan krisis. Keputusan utang dilakukan dengan Perpu 01 meningkat sampai Rp1.250 triliun tetapi realisasinya menjadi Rp1500 triliun. Inilah keputusan utang terbesar yang diputuskan di ruangan banggar ini. Ini keputusan yang belebihan dan salah dimana dampaknya akan terus terjadi sampai beberapa dekade mendatang. Pada 2008 juga ada krisis besar, separuh pasar modal dunia hancur. Tetapi tidak kemudian serta merta membuat utang besar yang tidak masuk akal. Pemerintah mengambil anggaran sebesar Rp250 triliun di pusat dan daerah yang tidak dipakai untuk memperkuat anggaran ekonomi saat krisis.

Mengapa langkah seperti 2008 ini tidak terjadi? Jawabnya karena politisi adalah budget maximizer dan tidak kontrol chack and balance untuk memperbaikinya. Dan pada saat krisis kegiatan pemerintah berhenti, kunjungan kerja DPR tidak akan ada, dan banyak lagi anggaran yang b isa digeser ke kesehatan. Tapi anehnya saat krisis covid 19 kemarin yang dilakukan adalah mengambil utang yang besar.

“Itu terlalu besar menurut saya dan dicatat dalam sejarah kebijakan kita. Sehingga pada penarikan utang berikutnya diketahui tetap di atas Rp1000 triliun setiap tahun,”tutupnya. (RED.TIS).