JAKARTASATU.COM — Pengadilan Surakarta dalam kasus Mubahalah yang ahirnya menyerempet ke ijazah palsu yang melibatkan Gus Nur dan Bambang Tri menghadirkan saksi ahli, Rocky Gerung seorang pemikir Filsafat ini, Kamis (9/3/2023)
Sidang ini dipimpin Majelis Hakim Moch. Yuli Hadi dengan anggota Hadi Sunoto, dan Bambang Aryanto. Sementara JPU ada Apriyanto Kurniawan, Endang Sapto Pawuri, Dwi Ernawati, Endang Pujiastuti, dan Ardhias Adhi.
“Semua sebenarnya hal yang bisa dibicarakan secara demokratis tidak perlu KUHAP, KUHP seharusnya final atau solusi terakhirlah, kalau bisa bercakap-cakap, untuk apa (menggunakan KUHP). Dimana percakapan lebih penting ketimbang penghukuman. Kan future logical, semakin banyak ada KUHP semakin kurang demokrasi. Apa lagi ini masalah publik, harusnya bisa dibicarakan. Jokowi buat seminar saja, saya usulkan itu,”
Dalam persidangan ini Rocky dihadirkan untuk menerangkan mengenai pentingnya sebuah ijazah sebagai administrasi.
“Saya tidak punya ijazah tapi saya mengajar dari S1-S3 karena ada kepercayaan bahwa ui meminta saya untuk mengajar. Sewaktu-waktu tanya, pak rocky mana ijazah anda? Anda yng mengundang saya, kenapa anda menanyakan ijazah saya? Kecuali saya mendaftar, oke saya tunjukkan. Anda yang perlu lho,” tegas Rocky Gerung.
Dalam konteks ini, Jokowi sebagai presiden pastinya mendaftar. Dan “Ijazah tanda sebagai beliau pernah sekolah tau beliau pernah berfikir, yang mana?” tambahnya.
Sontak dalam isi ruangan semakin riuh. Kemudian Rocky juga mengusulkan adanya test forensik. “Simplenya, buktikan kimia kertas, lakukan pemutihan forensik,” usulan Rocky dalam persidangan ini.
Pejabat tinggi negara harus mempertanggungjawabkan moral.
Kemudian, Rocky juga memberikan pendapatnya bahwa semakin mulia (jabatan) seharusnya punya kewajiban moral untuk dipertanggungjawabkan, bahkan hal-hal yang tidak pernah dipersoalkan.
Kejelasan Jokowi dituntut dalam kasus ini, jika tidak akan menimbulkan banyak stigma yang berbahaya.
Terdakwa dalam Pasal 14 ayat 1 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana tentang penyebaran pemberitaan bohong sehingga menimbulkan keonaran di masyarakat.
“Nggak ada pidana dalam berpolitik, hak semua orang berpendapat, dimaksimalkan diruang publik. Konsekuensi orang publik, Jokowi kan orang publik. Tidak boleh menolak kalo tidak mau di kritik. Jangan salah tangkap juga, kritik sebagai kebencian,” tutupnya.
(INJ/CR JAKSAT)