Gaya Hidup Mewah & Pemadam Kebakaran
Oleh IW – Imam Wahyudi
Judul ulasan ini, kembali mewabah. Gaya hidup mewah. Apa yang salah? Bolehlah dinilai serakah. Bahkan salah langkah. Alih-alih dikualifikasi prilaku bedebah. Lantas mudah berkilah. Seolah lumrah.
Seputar itu, kerap terdengar dari para dewa di Jakarta. Lewat sederet pernyataan yang mengaburkan ekspektasi khalayak. Berita muncul dan tenggelam seolah biasa. Geger sesaat, tak lama kemudian setara busa. Mengalir di kali keruh, teronggok bak sampah. Publik, malah pengamat cuma bisa sumpah serapah.
Gaya hidup mewah kadung mewabah. Salahkah? Menduga hasil korupsi, tak mudah gebyah uyah. Dugaan tindak pidana korupsi, konon butuh (dua alat) bukti. Di sini soalnya. Sejak lama tuntutan publik, perlu “pembuktian terbalik”. Nyaris tiadanya aturan yang berkekuatan mengantisipasi. Tak heran, bila prilaku korupsi kadung mentradisi. Perkara bui, praktis urusan nanti.
***
Tiadanya aturan yang memaksa, berputar pada kebijakan. Cenderung asal bunyi. Mulai dari “menggunakan produk dalam negeri” hingga “jangan pamer kemewahan”. Pun sejumlah lainnya. Cuma ajakan atau imbauan. Sesaat pada saat. Seolah sambil ada “yang disembunyikan”. Lantas sederet peristiwa terjadi. Kasus di lingkaran markas polisi. Perkara Ferdy dan Teddy. Hingga yang mutahir, kebakaran depo BBM Plumpang. Meleset dari aspek penegakkan hukum. Semata tindakan pemadam kebakaran. Seolah selesai. Bersama giliran waktu, menguap diterpa angin.
Loncatan harta kekayaan tak terkira dianggap biasa. Bukan cuma polisi yang sudah berulang disoroti. Kali ini, kasus penganiayaan Mario Dandy membuka kunci. Sang ayah dicurigai korupsi. Harta segunung yang selama ini tak mudah ditelusuri. Dari Medan pun bunyi, menyeret nama Sri Mulyani. Sang menteri yang seolah tak mengerti, institusinya jadi sarang korupsi. Pernyataan soal “kapatutan”, mengindikasi tiadanya aturan yang ketat. Cuma “garis komando”, sekadar lewat kebijakan.
Balik lagi, gaya hidup mewah. Apa yang salah? Menyusul, prilaku hedonis dua petinggi Bea & Cukai. Diawali Yogyakarta, menyusul Makasar. Sebutlah, harta kekayaannya melebihi jabatan dan masa kerja. Lagi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendeteksi aliran dana sekira Rp 300 Trilyun. Jumlah fantastis. Melibatkan lebih 460 orang di lingkungan Kementerian Keuangan dan Ditjen Pajak. Sang menteri, Sri Mulyani dibuat meriang. Menko Polhukam, Mahfud MD pun bunyi. Keduanya resmi bicara di depan media publik. Apa dan bagaimana tindaklanjutnya? Khawatir, lagi-lagi cuma “numpang lewat”.
Deteksi PPATK soal aliran dana mencurigakan, bukan sekali ini. Saat bergulir Perkara Duren Tiga, mencuat aliran dana Rp 155 Triliun dalam transaksi judi online Kaisar Sambo. Tak ada tindaklanjut. Publik menanti hasil “pelaporan dan analisis” sesuai nama PPATK.
Ketika ada aturan yang nyatanya tak punya daya tekan, sejatinya tidak ada aturan. Pemberlakuan LHKPN cuma sebatas prasyarat. Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara itu sekadar siasat “pencegahan tindak pidana korupsi”. Mengecoh harapan publik yang pro antikorupsi. LHKPN dialamatkan ke KPK. Ironisnya, pihak KPK pun menyatakan — tak ada pemberlakuan sanksi. Koq bisa, aturan dibuat tanpa ancaman sanksi?!
Wajar, bila aturan LHKPN itu tak berjalan mulus. Tanpa membuat LHKPN, tak ada sanksi. Tanpa laporan tahunan pun, zero sanksi. Rasanya, telaah LHKPN pada akhir tahun anggaran hingga akhir masa jabatan pun — tidak dilakukan. Bablas angine.
KPK seolah tak maksimalkan posisi LHKPN. Cuma menunggu indikasi tindak pidana korupsi. Serupa OTT (operasi tangkap tangan) hingga laporan masyarakat. Sikap langkah yang tak mudah. Hanya memproduk berita, bukan kinerja.
Gonjang-ganjing gaya hidup mewah dan tradisi korupsi, ditengarai bukan cuma di lingkungan Kemenkeu dan Ditjen Pajak sebagai “sarang korupsi”. Menteri Sri Mulyani pun menggandeng Menko Polhukam, Mahfud MD. Duet konferensi pers di akhir pekan, Sabtu, 11 Maret 2023.
Kedua petinggi pemerintah itu baru memulai. Lewat pernyataan “akan dan akan”. Tentu, belum pada tindakan. Bersamaan itu jawaban tindakan dikabarkan dari Malaysia. Berita tak sebatas berita. Hal yang berbeda, dan beda negara. Mantan perdana menteri, Muhyiddin Yassin (75) ditangkap KPK-nya Malaysia.
Mantan PM ke-7 Malaysia (2020-2021) itu menyusul pendahulunya, Najib Razak (69) yang dihajar bui 12 tahun. Najib yang berkuasa 2009-2018 merupakan PM Malaysia pertama yang masuk penjara. Tercatat sejumlah mantan pemimpin negara dipaksa masuk penjara. Empat di antaranya berlaku di Korea Selatan (Korsel).
Mantan presiden Korsel, Lee Myung-bak (2008-2013) diganjar hukuman 17 tahun penjara. Sebelumnya, Choon Doo-hwan dan Roh Tae-woo (1988-1993) masing-masing divonis hukuman mati dan 22,5 tahun pada 1996. Lewat pengampunan, hukuman Choon jadi seumur hidup dan Roh 17 tahun. Selanjutnya, Park Geum-hye — presiden wanita pertama Korsel, kelahiran 1952. Dihukum 17 tahun penjara pada 2017.
Dua mantan lainnya juga bernasib sama. Mantan PM Rumania, Adrian Natase (2000-2004). Bahkan hingga dua kali masuk bui. Natase yang kelahiran 1950, masuk penjara pada 2012 dan 2014. Berikutnya, mantan diktator Peru (1990-2000) yang sohor itu. Alberto Fujimori (70), kelahiran 1938 harus mendekam di penjara selama 25 tahun.
Penyalahgunaan kekuasaan mengantarkan ke penjara. Di antaranya prilaku koruptif. Menerima suap yang berarti korupsi. Banyak pintu menuju bui. Juga, gaya hidup mewah..?!***
– jurnalis senior di bandung