AMIR HAMZAH/ys

JAKARTASATU.COM Pengamat intelijen senior dan ahli strategi kebijakan publik Amir Hamzah menyoroti soal pemilu ada atau tidak pada 2024.

“Sebagai manusia yang mengakui kebesaran Tuhan, harus menyadari kemampuan manusia itu hanya punya rencana tetapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok,” jelasnya pada khusus kepada Jurnalis JAKARTASATU.COM,13/03/2023.

Baginya hal-hal seperti ini menjadi inspirasi bagi kita untuk melakukan analisa tentang kondisi kebangsaan negara kita terutama menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi bersama rezimnya yang nanti akan berakhir pada 20 Oktober 2024.

Ia  juga menambahkan bahwa berdasarkan pada praktek ketatanegaraan pada tanggal 20 Oktober 2024 itu masa jabatan Presiden Jokowi berakhir, MPR, DPR, DPD dan semua lembaga yang ada di dalam rezim Jokowi ini akan batal demi hukum karena masa baktinya sudah selesai.

“Sementara itu menyebutkan landasan pada UUD 45 pasal 22 E menyatakan bahwa pemilihan umum itu dilakukan 5 tahun sekali. Nah ini amanat konstitusi berarti bahwa untuk menjaga suksesi berlangsung secara baik untuk memenuhi ketentuan konstitusi juga melalui praktek ketatanegaraan yang bersumber konstitusi maka pemilu itu harus dilaksanakan,” urainya.

Itulah sebabnya maka kata banyak pakar tata negara dan mereka paham betul soal konstitusi seperti apapun walaupun secara tidak eksplisit amar putusannya ada kata menunda pemilu, “Menuda tahapan pemilu itu berarti keputusan PN Jakarta Pusat bertentangan dengan konstitusi,”ungkapnya tegas.

Amir menegaskan pemilu harus dilaksanakan dengan mengacu kepada konstitusi dan merujuk pada praktek ketatanegaraan yang bersumber pada konstitusi maka tentu kesimpulannya adalah pemilu itu harus dilaksanakan sesuai ketentuan konstitusi dengan kata lain berarti melaksanakan pemilu 2024 itu adalah merupakan sikap kita sebagai bangsa ingin menjalankan konstitusinya secara baik.

“Saya berharap Jokowi bisa merespon persoalan-persoal yang terjadi di pemerintahannya, Munculnya isu seperti ada isu perpanjangan masa jabatan, penundaan pemilu dll. Sebenarnya kalau Presiden Jokowi tegas terhadap isu-isu tadi. Juga saatnya Presiden Jokowi tegas terhadap muculnya kasus-kasus di Kementerian Keuangan yang diungkap oleh Mahfud MD atau mungkin di kementerian lain juga ada kasus yang sama. Di Kementerian Keuangan kasus pencucian uang itu bisa dicari, kemudian uangnya di kementerian keuangan itu bisa ditarik barang kali kita bisa bayar hutang,” paparnya.

Amir juga mengungkapkan seharusnya setiap Presiden terpilih itu mengemban tugasnya dengan disumpah saat pelantikan sebagai presiden. “Saya mengingatkan kepada Presiden Jokowi bahwa segala sesuatu yang diembankan yaitu konstitusi dan Undang-undang untuk dijalankan secara lurus,” jelasnya.

Kalau konstitusi menyatakan tidak ada penundaan pemilu, tidak ada masa perpanjangan masa jabatan presiden. Nah ketika wacana itu muncul, harus dianggap sebagai sesuatu yang bersifat makar, karena melawan konstitusi, tegasnya.

Hal itu Presiden harus mengumumkan bahwa isu tersebut tidak benar karena melawan konstitusi.

“Tapi anehnyajustru Presiden membuka peluang. Maka timbul tanda tanya dari masyarakat apakah keinginan penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden itu merupakan keinginan Jokowi un sich yang minta didukung berbagai pihak atau kepentingan berbagai pihak dimana Jokowi diposisikan sebagai untuk melaksakan kepentingan tersebut. Nah kalau kepentingan pihak lain, Jokowi terjebak dalam pelanggarakan yang serius. Oleh karena itulah apa yang katakan oleh Prof Edi Swasono sudah saatnya lembaga-lembaha yang berwewenang untuk dimakzulkan Presiden,” terangnya.

Tapi kalau kita lihat kata Amir Hamzah DPR, MPR itu sudah menjadi alat politik rezim. Mereka hanya ya sudah amankan saja. Akhirnya pelanggaran hukum, pelanggaran konstitusi.

Pekembangan terakhir lanjut Amir, sekarang ini tidak ada jalan lain kecuali pemilu itu harus dilaksanakan sesuai amanat konstitusi sehingga pergantian rezim suksesi nanti berlangsung secara konstitusional. Kalau penundaan pemilu dipaksakan maka pada 20 Oktober 2024 nanti ketika pulang dari Istana tidak ada jabatan apa-apa lagi karena jabatan terakhir, lembaga-lembaha lain berakhir karena lembaga-lembaga itu dibentuk hanya untuk tugas 5 tahunan. “Sehingga kita harus membentuk pemerintahan baru yang darurat,”jelasnya.

Kalau kita tidak berhasil membangun konsensus sebagaimana dilakukan oleh Soeharto, maaf terlepas dari segala kekurangannya sebagai manusia, tetapi dengan cara membangun konsensus secara nasional yang akhirnya menghasilkan SP 11 Maret , dan masa transisi itu kan tidak menimbulkan korban yang berkepanjangan. Yang lama itu proses konsolidasi sebagai ujung dari konsiliasi nasional konsensi nasional yang ditawarkan Soeharto, partai politik kampanye menjadi 10, lama-lama menjadi 5, kemudian menjadi 3 sampai runtuhnya orde baru.

“Yang menjadi persoalan adalah ada nggak pemimpin yang bisa memimpin sebuah konsensus nasional apa bila terjadi misalnya pemilu tidak dilaksanakan? Sementara 20 Oktober 2024 rezim selesai? Ini tidak bisa ditahan lagi. Nah kalau tidak bisa, kemungkinan kita bisa saling bunuh, disintegrasi bangsa bisa terjadi.

Maka saya kira kata Amir, Aceh, Maluku, Papua Sumatra Barat, mungkin Riau bisa mengatakan siap keluar dari Republik Indonesia. Kenapa bisa kemungkinan seperti ini ? Karena punya banyak masalah yang terjebak dengan keinginan orang/ fihak lain. Contoh saja, apa yang kurang alasan untuk tidak bisa bertindak, anak buah yang korupsi. Dan sekarang apa yang dibuka oleh Pak Mahfud MD.

“Ini kan sebenarnya Pak Mahfud menelanjangi kesalahan yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mukyani. Apa sebab Presiden Jokowi tidak berani mencopot Sri Mulyani ? Karena ketakutan kepada IMF, Bank Dunia dan lain sebagainya,” beber Amir.

Padahal kalau soal uang, lepas dari Bank Dunia, IMF, PBB, maka Indonesia bisa lebih besar dari itu.

“Kita ini kan memiliki warisan leluhur kita yang besar yang belum ada bandingannya. Kekayaan alam nusantara,” pungkasnya menutup pertemuan di bilangan Menteng Jakarta Pusat. |YOS/JAKSAT