JAKARTASATU.COM — Forum Jakarta (FORJAK) mengadakan diskusi, Kamis (16/3/2023) di Jakarta. Tajuk yang diangkat ini adalah SIAPA “MEMBAKAR” PLUMPANG, dengan pembicara Syahganda Nainggolan (Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle), Juharto Harianja (Penasehat RW 09 Tanah Merah), dan Irwandi (Mantan Wakil Wali Kota Jakarta Pusat). Dimoderatori oleh Ahmad Alfian (Jurnalis RMOL ID).
Sebagai warga setempat, Juharto memaparkan kronologis kejadian sebagai awalan diskusi.
“Kalau kami menyimpulkan sebenarnya ini adalah bagaimana pertamina diduga melakukan perencanaan pembunuhan massal. Karena selama ini mereka mungkin tidak bisa bernegosiasi untuk menggusur kami yang tinggal disana. Namanya ya pembunuhan massal. Rasanya sangat apa ya namanya. Mencekamnya sangat luar biasa. Itu sebenarnya setengah delapan, sebelum ledakan. Kalo saya bilang itu gas. Kalau yang lain bilang bensin, pertamax. Itu pada saat turun hujan keluar gas diarea depo. Keluar gas melewati dinding depo, yang kira-kira tingginya 3 meteran. Sudah menyebar ke perkampungan. Itu juga sebenarnya kata orang, jarak 1 km uap sudah tercium oleh warga. Sekitar jam 8 lebih. Itu api sudah menyebar menurut saksi-saksi mata. Itu keluar dari dalam depo. Menyambar. Jadi, kebakaran itu ya tergantung oleh angin. Angin bawa kemana, membawa kobaran api. Tergantung arah angin. Kalau diceritain udah kayak film-film. Warga yang tak bisa menghindar, ya, langsung terkena kobaran api tersebut,” tutur Juharto sebagai Penasehat RW 09 Tanah Merah, Plumpang.
Kemudian, dalam agenda tersebut, Syahganda Nainggolan juga memberikan pendapatnya mengenai peran pemerintah.
“Jadi banyak memang tanah PEMDA atau tanah pemerintah yang betul-betul bermasalah. Ini kenapa demikian? Dari awal pemerintah memang tidak tegas. Kalo membahayakan masyarakat. Mustinya itu dicegah. Tetapi, efeknya tadi. Disampaikan tadi, Bapak Juharto, efeknya korban jiwa. Membuat batas zona sangat penting. Agar tidak lagi terjadi kebakaran dengan ledakan dahsyat,” tegas Mantan Wakil Wali Kota Jakarta Pusat, Irwandi.
Irwandi mengingatkan kembali kepada UUD 1945 bahwa masyarakat adalah tanggungjawab negara yang harus diselamatkan dan diberi ruang atau tempat tinggal yang layak.
Syahganda juga menuturkan ada tiga hal isu yang memang menjadi penyebab permasalahan kebakaran di Plumpang. Karena permasalahan kebakaran kerap kali muncul ketika akan ada pemilu.
“Polemik itu saya coba angkat 3 isu ya. Pertama, isu keadilan dalam kepemilikan tanah. Kalau rakyat berbicara ruang-ruang kecil saja dibilang ilegal. Kalau cukong-cukong itu? Legal. Kalau kita pinter, kita cukup lihat Google Earth. Yang kedua, isu pembangunan. Dimana-mana isu pembangunan itu tata kota harus berpihak pada rakyat. Nah, yang ketiga isu hukum dan keamanan. Sebelum terjadinya kebakaran ada kunjungan Jendral Dudung Abdurrahman. H-1 melihat depo plumpang. Itu besoknya meledak,” ungkapnya.
Syahganda juga meninjau peristiwa sebelumnya, kejanggalan yang terjadi pada tahun 2009, BIN menduga kejadian tersebut terkena sabotase. Namun, pada akhirnya polisi merilis bahwa adanya elektrotik percikan kebakaran.

Syahganda juga mengatakan sabotase bisa dilakukan oleh siapa saja yang berkenan.
“Feeling saya sih di sabotase. Bener kebakaran atau dibakar. Rakyat jangan dijadikan korban,” tambahnya.
Lalu, pada pertemuan ini Juharto berharap pertamina bisa melaksanakan 4 poin tuntutan warga setempat yaitu:
1. Memikirkan korban yang meninggal dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ruang aman, karena terdapat banyak ancaman akibat menerima uang 10 juta
2. 70%-80% masyarakat luka-luka setelah keluar dari pengobatan RS tetap terus diperhatikan
3. Merenovasi rumah-rumah yang sudah hancur akibat kebakaran
4. Meminta keberadaan pertamina di tengah pemukiman penduduk ini segera dievaluasi. Apa mau pindah atau gimana agar lebih safety juga. Karena ini sudah banyak korban ini. Jika tidak. Secara paksa harus tutup depo.
Perencanaan kota, ganti gubenernur, ganti kepentingan, begitu terus siklusnya.
“Pemerintah Daerah DKI, harusnya PJ Gubernur, Pak Heru, harus menunjukkan yang kebakaran itu rakyat saya, lho. Pertamina gak punya rakyat. Harus memihak pada rakyat. Karena kebutuhan masyarakat diatas segala-galanya. Jangan ambil keputusan secara populis,” sejalan dengan ungkapan Irwandi.
Kesimpulan pada bahasan kali ini cukup menarik. Beberapa tragedi di Indonesia telah terjadi ada kaitannya dengan tata kelola pemerintahan.
Tindakan Jokowi pada saat menjadi Gubernur, memberikan KTP kepada warga di sekitar Depo Pertamina Plumpang merupakan perbuatan bertanggung jawab untuk mengabsahkan kependudukan.
Sekarang, sebagai presiden harus bisa memberikan sertifikat tanah sebagai hak kepemilikan.
Pak Jokowi yang memulai. Pak Jokowi juga harus mengakhiri pertikaian ini. Bisakah? Mampukah? Wahai Pak Jokowi?
(INJ/CR JAKSAT).