JAKARTASATU.COM — Jaringan Aktivis Lintas Angkatan (JALA), Lembaga Studi Pendidikan dan Kebangsaan (LESPK Yogyakarta), dan Forum Ayo Selamatkan Indonesia (FASI) mengadakan Forum Grup Diskusi (FGD) di Kedai Sinau, Jakarta Selatan, Rabu (15/3/23).
FGD kali ini bertema “Indonesia: Darurat Mafia dan Potensi Lahirnya Pemerintah Transisi” dengan pembicara Eros Djarot, Anthony Budiawan, Sugeng Teguh Santosa, dan Indro Tjahyono. Dimoderatori oleh In’am el Mustofa.
Penegakan hukum yang tidak benar akan dikuasai oleh mafia. Sudah terasa saat ini. Adanya peristiwa korupsi yang melalui tata negara. Presiden Jokowi harus bertindak. Memperkuat kejaksaan agung. Pergantian staf atau transisi sebenarnya tidak berguna. Karena yang berkuasa masih menanamkan budaya korupsi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Anthony Budiawan, “Ternyata yang berkuasa adalah mafia itu sendiri. Mentrinya berbau mafia. Terutama yang berurusan dengan sumber daya. Mafia dalam pertanian, perpajakan, impor ekspor, dan lain sebagainya yang disebabkan oleh lemahnya lembaga hukum. Solusinya presiden mesti bertindak dengan memperkuat Kejaksaan Agung. Karena tanpa tegaknya hukum, negara hanya dikuasai oleh MAFIA,” Rabu (15/3/2023).
Kemudian Indro menyampaikan definisi mafia seperti apa dahsyatnya.
“Mafia adalah organisasi yang bekerja secara terstruktur. Sebuah Institusi kejahatan yang hanya saja bekerja dalam kenegaraan kita. Pemerintah transisi? Keputusan yang menghasilkan keputusasaan. Kalau semua sektor pelayanan vital publik dikendalikan oleh tangan gelap mafia, cepat atau lambat negara kan bubar dengan sendirinya. Kecuali rakyat masih memiliki kemampuan untuk terus konsolidasi terutama kaum terdidik,” ungkap Indro Tjahyono di Kedai Sinau.
Tak hanya itu, Indro berharap bahwa solusi dari permasalahan negeri ini bukan lagi diskusi. Karena ada pemilu atau tidak adanya pemilu tetap krisis. Indonesia negara yang dikendalikan oleh uang dan dikendalikan oleh yang punya uang.
Selanjutnya, Sugeng Teguh Santoso mengagas mengenai fakta-fakta yang terjadi pada politik negeri.
“Fakta politik kondisi kita memang sedang carut marut, infrastruktur kelembagaan/institusi negara mudah dimasuki oleh beberapa gelintir orang yang serakah. Sisi lain mental rakyat kita adalah BLT, dapat bantuan sedikit saja sudah diam dan bahkan memuji. Saya tidak pesimis dengan rakyat untuk sebuah perubahan. Tapi, syaratnya para pelaku pro demokrasi dan civil society ini harus independen. Artinya, merdeka secara pikiran dan tindakan,” tegas Sugeng.
Lukas Luwarso juga memberikan pendapatnya mengenai solusi yang menjadi permasalahan negara.
“Saya mungkin termasuk bagian yang ingin mengakhiri untuk sementara waktu. Perlawanan dalam bentuk teriak‐teriak. Mafia ini rapi dan bekerja dibawah meja serta di ruang gelap. Susah untuk mendeteksinya. Hal yang mungkin kita bisa adalah menyoroti tindakan atau selalu memperbincangkan, mendiskusikan, dan mengkaji untuk edukasi dan upaya pemberantasan mafia secara pelan-pelan. Minimal ruangbgerak mafia makin berkurang,” ungkap Lukas.
Sementara Mantan Aktivis ITB yang juga menjadi Ketua Umum KSPSI yang hadir dalam kesempatan tersebut, ikut mengkritisi mental para pejabat dan penyelenggara negara.
“Sistem memang penting, tapi mental pejabat yang tidak mau disogok jauh lebih penting,” ujar Jumhur.
Semua permasalahan mengenai negara sejatinya adalah permasalahan rakyat. Momentum satu tuju “negara” adanya kesinambungan yang utuh dari atas (pemerintahan) dan bawah (masyarakat).
In’AM el Mustofa berharap temu aktivis dan FGD yang digelar pada hari Rabu (15/3/2023) sebagai ikhtiar untuk konsolidasi demokrasi dan tukar gagasan Civil Society.
“Insya allah akan terus dilaksanakan secara berkelanjutan. Sebagai bagian dari perjalanan penguatan berbangsa dan bernegara. Kedepannya mungkin bentuk ke arah lokakarya dengan harapan ada gagasan yang konseptual sekaligus rambu-rambu operasionalnya,” In’AM eL Mustofa sebagai moderator.
(INJ/CR JAKSAT)