Siti Fadilah Supari/ist

JAKARTASATU.COM — Pengamat Kesehatan, dr. Siti Fadilah Supari, MARS memberikan kritik kepada Menteri Kesehatan (Menkes) yang bukan dokter, Senin (20/3/2023).

Dalam menangani pandemi Covid-19, Menkes mengangkat Budi Gunadi Sadikin (BGS) yang merupakan Sarjana Fisika ITB. Mampukah mereformasi dalam sektor kesehatan?

Banyak kritik bermunculan dari organisasi profesi kedokteran dan para aktivis kesehatan menolak tegas reformasi yang dijalankan oleh Menkes, dengan alasan irasional.

Padahal, menurut dr. Siti Fadilah Supari, negara maju lainnya, justru Menkes bukan dokter. Karena jikalau dokter. Nantinya akan ada kekhawatiran bahwa terjadi konflik kepentingan, dan upaya untuk memperbaiki layanan kesehatan akan berhenti. Normalisasi “takut dengan dokter senior dan lainnya”.

Menkes Singapura, Ong Ye Kung (sejak Mei 2021) merupakan salah satu dari contoh menkes yang bukan dokter. Ong lulusan ekonomi dari London School of Economics and Politics.

“Di Kabinet Singapura justru ada 3 orang menteri yang berlatar belakang dokter, antara lain Menlu Vivian Balakrishnan dan Menteri Tenaga Kerja Tan See Leng. Tapi, Prime Minister Lee tak memilih mereka jadi Menkes, karena infonyabtakut terjadi konflik kepentingan,” tutur Pengamat Kesehatan dr. Siti Fadilah Supari, MARS.

Lalu, Menkes Inggris Will Quince (sejak September 2022), lulus jurusan Hukum di Universitas Aberystwyth di Inggris. Tak lain, Menskes Amerika Xavier Becerra (sejak Maret 2021), merupakan lulusan jurusan Ekonomi dari Stanford University.

Contoh menarik bisa diambil dari Menkes Jepang Katsunobu Kato (sejak Agustus 2022), sebelumnya Menkes di 2017-2018 dan 2020-2021. Kato juga lulus dari jurusan Ekonomi, University of Tokyo.

“BGS hanya ingin agar pasien miskin tidak antri berhari-hari untuk ketemu dokter, tidak mahal beli obat dan tidak diperlakukan diskriminatif oleh RS karena pakai BPJS. BGS juga ingin pasien kelas menengah atas tidak perlu berobat ke Luar Negeri dengan memperbaiki standar layanan RS, meningkatkan jumlah dan kualitas dokter agar tak salah diagnosa, dan juga menurunkan harga obat-obatan. Ia juga ingin dokter dan nakes tidak dibebani oleh pungutan-pungutan uang dan birokrasi izin dari berbagai organisasi profesi,” tutupnya.

(INJ/CR JAKSAT)