Hendrajit Sebut Uang sebagai Nyawa Kolaborasi Global dengan Oligarki Lokal

JAKARTASATU.COM — Pengamat Geopolitik Hendrajit menjabarkan keterkaitan masa reformasi Soeharto dengan kasus besar yang akhirnya mengungkap ranah keuangan yang peka.

Hendrajit mendeskripsikan bagaimana reformasi tidak terjadi pasca Soeharto. Terdapat dua faktor, yaitu otokritik yang tidak dibarengi dengan skema yang jelas dan tidak dipahaminya keterkaitan antara konstalasi global yang terjadi dalam korporasi asing. Hal tersebut justru dikatakannya sebagai alat politik dari kolaborasi antara oligarki lokal dengan korporasi asing. Sementara itu, lima partai besar menjadi jembatan koneksi sistem multipartai.

“Kenapa reformasi nggak ini (terjadi), karena oligarki ini dengan segala senang hati kemudian menyediakan diri menjadi buffer zone dari kepentingan korporasi global yang tadi menjadi satu kekuatan,” ujar Hendrajit dalam diskusi singkat acara buka puasa bersama yang diselenggarakan Jakartasatu.com dan InfoPresiden.com di Kampoeng Kopi Kemang, Kamis (06/04/23).

Selain itu, menjelang masa lengsernya Soeharto juga didahului dengan kondisi-kondisi yang sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Kelemahan Pak Harto yang menciptakan Keppres Nomor 10 Tahun 1980 dikatakan Hendrajit tidak menimbulkan perubahan fundamental secara konteks penataan keadilan sosial antara korporasi pribumi dengan non pribumi.

Hendrajit kemudian mengaitkannya dengan terbongkarnya dua kasus besar, kasus Ferdy Sambo dan Rafael Alun, yang kemudian disampaikannya bahwa uang menjadi nyawa dari kolaborasi global dengan oligarki lokal.

“Nyawa dari kolaborasi neoliberal global dengan oligarki lokal ini adalah uang. Tapi bukan money politic dan bukan dalam konteks korupsi secara dangkal sebagai bribery atau suap atau gratifikasi. Tapi melekat dengan perekrutan kader-kader partai maupun perekrutan DPR maupun juga aparat eksekutif,” papar Hendrajit.

Ia menambahkan, perekrutan tersebut seharusnya tidak dilakukan kepada orang-orang yang menyadari politik sebagai ranah kreativitas dan inovasi. Hendrajit mengaitkan peristiwa Sambo dan Rafael sebagai momentum kebangkrutan yang membongkar bahwa sebenarnya suatu peristiwa dapat menjadi rangkaian dari kejadian-kejadian sebelumnya.

“Saya menekankan Sambo dan Rafael karena ini momentum bankruptcy, kebangkrutan dari tantangan ini. Karena ini uang, sekarang ini dengan aspek pertama aspek Rafael, seperti juga Sambo, bermula dari hal-hal yang nggak ada hubungan langsung dengan persoalan itu, tapi kan melebar ke situ,” ungkapnya.

Terungkapnya persoalan-persoalan lainnya di balik suatu kasus membuktikan adanya keterkaitan antarperistiwa. Kasus Sambo yang berujung pada terungkapnya persoalan mafia dan penganiayaan anak Rafael Alun yang membuka tabir di ranah perpajakan.

“Cebong kampret sama kadrun kampret itu memang sengaja supaya konfliknya itu horizontal. Tidak menyentuh, menjamah ranah keuangan. Karena itu memang nyawanya,” simpul Hendrajit.

Oleh karena itu, diperlukan peninjauan atau reorientasi terhadap tatanan sistem tersebut melalui transparansi media dengan menggali peristiwa melalui apa yang dilihat secara kasat mata. Media harus jeli dalam melihat segala persoalan. Sehingga saat ada momentum, terdapat antisipasi kontrak skema dan kejadian 98 tidak perlu terulang. (oct/CR-JAKSAT)