Gedung Pertamina/istimewa

Kalau Rencana Pertamina Ini Gagal Masalah Akan Semakin Besar

Oleh : Salamuddin Daeng

Semua rencana ke depan ditujukan sebagai usaha untuk mencari liquiditas agar mudah bagi Pertamina dalam menyelesaikan utang, terutama utang jangka pendek. Utang yang salama ini digunakan untuk membangun infrastruktur, menjalankan penugasan distribusi BBM satu harga, dan menanggung subsidi sebelum diganti oleh Menteri Keuangan dan melaksanakan tugas dari pemerintah lainnya. *Utang Pertamina yang mencapai Rp. 750 triliun dan global bond senilai Rp. 260 triliun, tentu hanya bisa diatasi jika Pertamina bisa mengumpulkan uang banyak dalam dua tahun ke depan*. Jika semua rencana cari uang ini gagal, maka berbahaya bagi stabilitas pasokan BBM nasional. *Terutama kelangsungan pasoka. solar subsidi yang kata Dirut Pertamina dan Menteri ESDM banyak digunakan pengusaha tambang dan sawit.*

Perlu diketahui bahwa likuiditas Pertamina sekarang dengan saldo kas sebesar USD11,7 miliar per Juni 2022. Ini akan digunakan pembayaran utang jangka pendek sebesar USD7,6 miliar, termasuk USD3,7 miliar pinjaman jangka pendek. Pertamina tampaknya akan tetap melanjutkan penerbitang utang baru ke pasar, bank dan obligasi, dengan mempertimbangkan keterkaitannya dengan negara, dan Pertamina diharapkan akan memperoleh pendanaan untuk ekspansi.

Lalu seperti apa anak anak perusahaan? Ini juga mesti mendapat perhatian. Perusahaan Gas Negara (PGN) misalnya dengan uang tunai sekitar USD1,4 miliar pada akhir tahun 2022. PGN memiliki total utang konsolidasi sebesar USD1,7 miliar, termasuk USD1,3 miliar dalam senior unsecured notes yang diterbitkan oleh PGN da Saka jatuh tempo tahun 2024.

Demikian juga dengan Saka energy anak perusahaan PGN akan membutuhkan dukungan dari PGN untuk melunasi obligasi sebesar USD376 juta yang akan jatuh tempo Mei 2024 dan juga memperpanjang pinjaman pemegang saham sebesar USD142 juta yang akan jatuh tempo pada Desember 2024. Saka memiliki pinjaman pemegang saham lainnya sebesar USD142 juta yang akan jatuh tempo pada Desember 2025.

Lalu Pertamina Geotermal Energi (PGE) yang baru baru ini telah dikerahkan untuk mendapatkan pendanaan melalui IPO dan akan dilanjutkan dengan penerbitan obligasi. Sekarang kas PGE sekitar USD220 juta pada akhir tahun 2022, dibandingkan USD615 juta dari utang yang jatuh tempo dalam setahun. Jatuh tempo utang terutama terdiri dari USD600 juta saldo pinjaman lanjutan yang jatuh tempo pada Juni 2023. Likuiditas PGE akan meningkat secara substansial jika berhasil menerbitkan obligasi hijau.

Dengan ditambah obligasi, perusahaan akan dapat membayar sebagian pinjaman menggunakan dana IPO dan juga dengan menggunakan kas internal, dan membiayai kembali saldo melalui pinjaman bank, jika diperlukan PGE memiliki fleksibilitas keuangan karena didukung oleh akses yang kuat ke pinjaman pemegang saham dan pembiayaan eksternal, dan dibantu oleh dukungan induk yakni pertamina.

Selanjutnya Pertamina Hulu Energy (PHE) yang kemudian akan digadang gadang juga akan melakukan IPO dengan nilai yang tidak kecil. Hanya satu pertimbangan sangat ini yang sangat menentukan adalah proyeksi Lembaga keuangan internasional terkait harga minyak yang akan menurun di tahun 2023-24-25 yang diproyeksikan menuju 65 dolar per barel. Masa depan PGE sangat ditentukan oleh posisi harga minyak sehingga harus mengambil momentum yang tepat dalam melakukan IPO.

Sementara Kilang Pertamina Internasional (KPI) kabarnya lebih memilih mencari mitra mitra internasional untuk melakukan investasi di kilang kilang pertamina. KPI jelas menghindari menggunakan equity dalam membiuayai investasi kilang dengan resiko yang dihadirkan oleh issue transisi energi. Keberlanjutan perang Russia Ukraina telah begitu banyak menekan KPI yang telah mengambil mitra Russia dalam pengembangan kilang. Sementara migas memiliki kaitan erat dengan dominasi AS dan Eropa dalam industry ini. Inilah tantangan yang harus diatasi di masa mendatang.***