Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir/IST

TOLAK PEMBANGUNAN PLTU BARU

JAKARTASATU.COM — Pemegang saham Adaro menyampaikan kekhawatiran terhadap rencana pembangunan PLTU batubara baru di Kalimantan Utara untuk smelter aluminium Adaro, Kamis (11/05/2023).

Para investor menyampaikan pesan aksi dengan membuka banner bertuliskan “Menolak Pembangunan PLTU batubara baru” di dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Adora.

“Krisis iklim mengancam masa depan dan anak cucu kita. Adaro harus menunjukkan niat transisi yang serius dengan beralih dari bisnis batubara dan investasi yang lebih agresif ke sektor energi terbarukan,” ungkap Ganjar, salah satu pemegang saham Adaro.

Berdasarkan hasil laporan keuangan berjudul “Transforming into a bigger and greener Adaro,” Adaro memberikan statmen untuk melakukan transisi energi. Sayangnya, sampai saat ini, perusahaan itu masih mengandalkan batubara. Produksi batubara Adaro justru semakin meningkat dengan jumlah presentase 20% yaitu 62,8 juta ton menjadi 52,7 juta ton di tahun 2021 dan terus menargetkan kenaikan produksi batubara di tahun 2023.

Salah satu pemegang saham Adaro lainnya, yaitu Abdi mengungkapkan keresahannya, jika Adaro masih tidak menunjukkan upaya transisi keluar dari bisnis batubara yang serius, institusi keuangan yang Bertanggungjawab sebaiknya tidak mendukung bisnis Adaro.

Perlu diketahui PLTU batubara baru tersebut merupakan PLTU captive, penyebutan untuk pembangkit listrik yang dijadikan sebagai penyediaan listrik untuk suatu fasilitas industri yakni smelter aluminium dengan kebutuhan sekitar 1,1 gigawatt (GW).

Smelter Adaro ini nantinya akan memproduksi 500.000 ton aluminium setiap tahun. Dengan asumsi PLTU tersebut menggunakan teknologi yang terbaik saat ini yang disebut Ultra Super Critical. Maka, PLTU ini diperkirakan akan menghasilkan emisi 5,2 huta ton CO2 ekuivalen/tahun.

Hal ini menjadi tanggapan serius oleh Greenpeace Indonesia.

“Pembangunan PLTU batubara baru hanya akan memperburuk dampak krisis iklim, mencemari lingkungan, merugikan masyarakat, dan mencederai komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon dari sektor energi,” ucap Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu.

Berdasarkan rancangan Net Zero Emission 2050 yang digagas International Energy Agency (IEA), untuk menjaga kenaikan suhu bumi dibawah 1,5°C seharusnya sudah tidak ada lagi pembangunan untuk PLTU batubara baru setelah tahun 2021. Hal ini sangat bertolak belakang dengan rencana Adaro yang justru ingin membangun PLTU batubara baru untuk smelter aluminiumnya.

Tentunya Adaro sudah menandatangani PPA dengan PLN untuk pembangkit listrik tenaga angin di Kalimantan sebesar 70 megawatt (MW). Berdasarkan informasi laporan keuanga Adaro tahun 2022, Adaro mempunyai kas sebesar US$ 2,7 miliar. Transisi Adaro seharusnya dilakukan dengan menghentikan rencana PLTU batubara baru dan mengedepankan belanja modal untuk berinvestasi pada wnergi terbarukan.

(INJ/CR JAKSAT).