25 Tahun Reformasi, Todung: Masih Terdapat Mistranslasi UU dan Pelemahan Lembaga oleh Oligarki

JAKARTASATU.COM — Praktisi Hukum Todung Mulya Lubis menyoroti tentang keadaan politik di Indonesia dalam rangka Diskusi 25 Tahun Reformasi dan Relevansi Pemikiran Rahman Tolleng yang diselenggarakan secara hybrid di Perpustakaan Tempo, Jakarta Selatan, Selasa (16/5).

Lubis mengatakan, persoalan dalam memulai reformasi sebenarnya telah terdapat terobosan dalam UUD 1945, baik mengenai Hak Asasi Manusia, pembatasan masa jabatan, dan sebagainya. Namun, permasalahannya bahwa masyarakat tidak mengawal turunan UUD 1945 sehingga terjadi salah penafsiran.

“Tetapi persoalannya adalah kita tidak mengawal turunan dari amandemen Undang-undang Dasar 1945. Sehingga banyak sekali mistranslasi, terjemahan yang keliru dari apa yang sudah kita capai dari undang-undang,” ujar Lubis.

Pengamat hukum sekaligus aktivis tersebut mengungkapkan hal tersebut menciptakan kegagalan terbesar bangsa, berupa kekuasaan politik yang dominan di dalam partai politik yang kemudian membentuk sekumpulan oligarki.

“Saya terus terang melihat bahwa kegagalan kita yang paling besar adalah membiarkan partai politik mempunyai kekuasaan politik yang sangat dominan,” tegas Lubis.

Peta politik Indonesia pada saat ini dikendalikan oleh sekelompok oligarki sehingga menguasai aset dan kekayaan di Indonesia. Sedangkan dari sisi hukum, Lubis mengaitkannya dengan UU ITE yang juga membungkam kebebasan berpendapat.

“Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang begitu gampang memberangkus kebebasan berpendapat. Orang bisa dihukum dan mendapatkan kritis….Dan itu begitu sistematis dan begitu subtle, begitu sulit untuk diungkapkan,” jelas Lubis.

Lubis juga menyinggung tentang melemahnya gagasan Mahkamah Konstitusi yang semakin melemah dengan dipengaruhi oleh pemikiran dari DPR.

“Paham atau notion mengenai checks and balances itu semakin lama semakin lemah. Lihat apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi ketika seorang hakim MK bisa diganti begitu saja dengan pikiran-pikiran yang sangat konyol dari Komisi III DPR,” lanjutnya.

Berkenaan dengan itu, pelemahan KPK juga menjadi salah satu dari banyaknya implikasi yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dijabarkan satu persatu agar fungsi lembaga negara kembali pada wewenang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan sekelompok oligarki.

“Menurut saya, ini semua bisa dijabarkan, bisa dilihat satu demi satu. Ketika kita misalnya membuat Komisi Yudisial pasca amandemen undang-undang 1945, itu kan idenya adalah mencoba memberantas apa yang disebut Yudisial Corruption (Korupsi Yudisial) yang begitu banyak di kalangan hakim-hakim, jaksa-jaksa, termasuk advokat-advokat. Tapi kan Mahkamah Konstitusi justru mempreteli hak Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan,” jelasnya. (oct/CR-JAKSAT)