JAKARTASATU.COM– Gerakan kebudayaan harus tetap ada, hal itu lahir terjadi dari seniman itu sendiri. Bagaimana antisipasi dari senimannya sendiri karena seniman baik itu pelukis, penyair punya hati sendiri. Seniman itu berbeda dengan manusia biasa.

Demikan kata Jus Soema Di Pradja wartawan senior Indonesia Raya dan Kompas era tahun 1974 dalam acara diskusi publik NGOBROL NGOPI SEMEJA dengan mengangkat tema “Gerakan kebudayaan Dalam Sejarah Pergerakan sosial” di Depok, 19 Mei 2023.

Ketika saya dulu di Indonesia Raya, bersama Pak Mochtar Lubis punya hati tersendiri sebagai wartawan yang seniman pelukis. Punya kepekaan khusus sebagaimana seniman penyair lainnya seperti WS Rendra, Sutardji C. Bachri, Taufiq Ismail. Mereka sampai hari ini tatap punya kepekaan khusus meski usianya kini sudah lanjut.

“WS Rendra pun akan demikian jika saja ia masih hidup. Sekarang kan beliau sudah tidak ada,” ujar Jus tampak sedih.

“Jadi kalau kita bicara gerakan kebudayaan adalah harus dari hati senimannya sendiri, lahir dari senimannya itu sendiri. Bagaimana melihat keadaan sosial rakyat Indonesia,” tegas Jus.

Menurut Jus Soema, dari sejak kemerdekaan Indonesia hingga kini belum merasakan adanya arti kemerdekaan. Ia mengibaratkan keadaan penari di Amerika yang loncat-loncat menari. Nah kita ini seperti itu. Hanya jadi penari saja. Dukung sana dukung sini, rakyat hanya dipakai seperti itu.

“Rakyat dibutuhkan oleh kekuasaan hanya lima tahun sekali. Setelah itu rakyat ditinggalkan, hanya jadi penonton,” ujarnya

“Padahal para elit bikin partai itu untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan ketua partai,” imbuhnya

“Ini yang terjadi salah kaprah di Indonesia,” tegasnya.

Ia menilai dalam konteks sekarang para seniman, setelah masa orde baru ke masa reformasi saya tidak menemukan karya seni dari salah satunya penyair sekeras WS Renda, Taufiq Ismail juga wartawan seperti Mochtar Lubis. Sekarang tidak nampak ada yang seperti mereka kritis terhadap keadaan bangsa Ini. Mereka asyik sendiri, bikin syair tapi tidak ada kepekaan,ungkapnya.

Ia menekankan perlu adanya kepekaan dalam berkarya pada seniman. Bisa saja para seniman berkarya misalnya pelukis melukis bunga atau apa saja tetapi harus tetap memiliki kepekaan khusus terhadap keadaan bangsa ini.

“Saya temukan penyair seperti Adhie Massardi bagus puisinya memiliki kepekaan atas keadaan sekarang dari puisi-puisinya, keras puisi-puisinya. Di luar ini, tidak bermuculan penyair-penyair yang memiliki kepekaan terhadap keadaan rakyat Indonesia,” ungkapnya lagi

Ia mempertanyakan seniman-seniman sekarang.

“Yang menjadi pertanyaan saya, seniman-senimaan sekarang ini hilang kepekaan atau bagaimana? Harusnya penyair-penyair sekarang lebih galak dari WS Renda, yang karyanya otokritik terhadap keadaan masyarakat,” beber Jus

Kekhawatiran Jus seniman sudah tidak bersuara lagi. Tidak tampak lagi seniman menyuarakan keadaan hidup masyarakat. Yang saya khawatirkan kalau seniman sudah diam, tak bersuara lagi.

Jus mengenang figur penyair Chairil Anwar yang puisi-puisinya gerakan pemberontakan sosial atas keadaan rakyat. Ini yang disebut gerakan kebudayaan.

“Faktor yang menyebabkan ketidak munculan gerakan sosial kebudayaan karena ada kekhawatiran, menjadi penyair galak seperti WS Rendra Kekhawatiran mereka itu terkena UU ITE, dipenjarakan,” pungkasnya.

Yoss/ Jaksat

 

 

 

,