JAKARTASATU.COM– Ekologi Integral wajib dimengerti oleh para akademisi, pemerhati lingkungan, dan juga para calon pemimpin negeri ini. Bagan dari Laodato Si, bagan dari aktivis lingkungan dunia dan juga kelompok-kelompok pemerhati lingkungan dunia lainnya berpendapat bahwa satu perubahan harus digambarkan dengan satu cara berpikir atau cara bertindak melalui satu kesatuan antara 3 hal: See, judge, Act, di mana ketiganya harus berjalan sekaligus dan saling berkelindan, sehingga Tindakan sosial kita sudah meliputi segala hal secara komprehensif.
Demikian disampaikan DR Budhy Munawarrachman di acara diskusi publik PARAMADINA CENTER FOR RELIGION AND PHILOSOPHY (PCRP) bertajuk “Ekologi Integral untuk Kita dan Pemimpin yang Peduli Pada Lingkungan”, Jumat, 19 Mei 2023.
“See berarti melihat masalahnya, apa masalah paling krusial dari isu lingkungan yakni climate change. Judge, merenungkan dan kemudian Act mengambil Tindakan,” ujar Budhy
Untuk mengembangkan pemikiran agama dan ekologi saat ini, Budhy mengungkapkan Laodato Si merupakan satu dokumen yang betul-betul komprehensif. Jadi kita beruntung sekali bahwa dalam tradisi agama (katolik yang memulainya), dalam ensiklik, di mana mereka memberi inspirasi besar sekali pada agama dan ekologi.
Ia memaparkan bagan Laodato Si amat menolong menjelaskan untuk mengerti apa yang merupakan hal-hal penting yang menjadi tujuan dari Laodato Si. Dokumen tersebut tergambar respon dari jeritan bumi yang menangis, kerusakan lingkungan, ada juga jeritan kaum miskin yang terdampak perubahan iklim. Juga soal ekonomi ekologi dan gaya hidup, Pendidikan ekologi, spiritual ekologi, dan juga keterlibatan komunitas dalam Tindakan partisipatif untuk transformasi.
“Laodato Si konsep yang menggambarkan bagaimana arah dari perkembangan agama dan ekologi bisa dikembangkan. Agama agama juga bisa bahu membahu untuk mencapai satu kerja Bersama dimulai dengan See, judge, act, sehingga kita bisa punya satu kolaborasi,” tandasnya
Dosen STF Driyarkara ini menjelaskan hubungan konteks agama dan ekologi, Pertama, saat ini telah ada suatu perspektif spiritual yang menjadi bagian dari diskusi lingkungan. Selama puluh tahun lalu agama dan spiritual tidak dianggap dalam persepsi lingkungan karena agama sudah mulai ditinggalkan oleh orang di barat dengan sekularisme. Dokumen Laodato si menjadikan perspektif spiritual mendapatkan tempat amat penting dari komunitas-komunitas agama dunia
“Kedua, Orang miskin yang terdampak dari perubahan iklim mendapat satu tempat penting, dan berkelindan dengan agama. Karena agama satu cara pandang yang meletakkan kelompok miskin menjadi satu perhatian. Dalam agama Islam telah mencantumkan hal tersebut. Begitu pula di semua agama,” tambahnya
Pada bagian Ketiga ia menyoroti kondisi spiritual.
“Gaya hidup menjadi mulai popular di kalangan generasi muda yang lebih sedikit, tidak konsumtif, tapi menjadi lebih Bahagia. Hal itu menjadi refleksi dari gen baru dan pemikiran bagaimana supaya menjadi lebih Bahagia juga menjadi satu pemikiran yang lebih jelas. Jadi Bahagia itu tidak terkait dengan konsumsi, tidak terkait dengan kepemilikan dan apa saja yang menjagi gaya hidup. Hal itu berkaitan dengan kondisi spiritual kita,”
Keempat kata Budhy, dalam ajaran sosial, agama sekarang telah mencakup isu penting terkait lingkungan. Hal itu sebenarnya menjadi fenomena baru-baru ini saja. Pada 2020 an sudah mulai subur pemikiran-pemikiran mengaitkan agama dengan isu lingkungan. Terlebih didorong oleh kesadaran akan krisis lingkungan.
“Soal ketidakpedulian dan keegoisan memperburuk masalah lingkungan. Untuk menurunkan satu derajat saja dari kenaikan suhu bumi harus berdebat lama dan keras, karena negara-negara industry maju penyumbang terbesar efek rumah kaca tidak mau diajak Kerjasama soal menurunkan suhu bumi. Selama masih ada egoisme dan bukan altruisme akan menghambat masalah perbaikan kerusakan lingkungan,” terang Budhy
Ia menekankan pentingnya aspek spiritual, diperlukan satu perubahan hati. Atau Pertobatan Ekologis. Menyadari kesalahan kita semua terhadap lingkungan. Pertobatan Ekologis mengakui salah, dan akan melakukan perubahan.
“Kita memerlukan 3 hal besar dalam membangun satu kesadaran baru ekologi. Yakni, pemahaman spiritual ihwal ekologi disertai Kerjasama antar iman. Kedua, Perlu juga belajar pengetahuan tentang ekologi atau lingkungan. Dampak lingkungan, teologi lingkungan, eco feminisme. Dll. Ketiga, Praksis, di mana kita punya satu Tindakan-tindakan ekologis dari yang sederhana sampai yang besar dan memerlukan Kerjasama antar negara. Ketiga hal itu harus berjalin kelindan sehingga terjadi satu transformasi,” pungkasnya.
Yoss/Jaksat