Gerakan Reformasi
Dikangkangi Jokowi

Hari ini, 25 tahun silam — ribuan mahasiswa menduduki gedung MPR RI. Menandai tumbangnya rezim Soeharto, 21 Mei 1998. Setelah 32 tahun berkuasa sarat otoriter.

Adalah puncak Gerakan Reformasi 1998. Amien Rais menjadi bagian penting dalam gerakan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bakal terjadi. Saat rezim begitu _power full_ . Membungkam suara rakyat selama tiga dekade. Amien Rais, tokoh Muhammadiyah tercatat dalam sejarah. Dia “penantang serius” rezim orde baru. Tokoh sentral dan dikenal sebagai lokomotif gerakan rakyat itu.

Gerakan menjatuhkan pemerintahan Soeharto, sudah bergulir sejak jauh sebelum 1998. Catatan pergerakan, tak kurang dari Perjuangan Mahasiswa 1977/78 di Bandung. Baru, 20 tahun kemudian — rezim orba Soeharto tumbang.

Gerakan Reformasi 1998 dipicu krisis politik dan ekonomi. Ditandai dengan kerusuhan di berbagai kota penjuru negeri. Tragedi Trisakti memicu aksi berikutnya. Memuncak. Empat mahasiswa gugur. Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie. Mereka Pahlawan Reformasi. Siapa pelaku penembakan? Hingga kini masih misteri dan tak terjawab.

Momen gerakan mahasiswa yang menandai kejatuhan Soeharto. Tujuh tuntutan Gerakan Reformasi 1998. Meliputi Adili Soeharto dan antek-anteknya, Hapus dwifungsi ABRI, Hapus KKN (korupsi, kolusi & nepotisme), Otonomi daerah (otda) seluas-luasnya, Amandemen UUD 1945, Kebebasan pers dan Perlindungan hak asasi manusia (HAM) serta Tegakkan supremasi hukum.

Secara substantif, tak ada yang berbeda — tuntutan Gerakan Reformasi dengan kondisi kekinian. Malah, banyak pihak (sudah) menilai lebih parah. Secara spesifik, kondisi krusial rezim Soeharto ditandai krisis politik dan ekonomi. Sejatinya, hal serupa tengah berlangsung pada rezim Jokowi. Berbagai pernyataan kritis bermunculan. Aktivis pergerakan mulai menggeliat. Seolah hendak menjemput momentum.

Semangat Gerakan Reformasi 1998, semakin surut di tangan Jokowi. Semangat demokratisasi nyaris terkubur. Kebebasan berserikat dan berpendapat di muka umum dibelenggu. Antara ada dan tiasa, sejatinya tak sepenuhnya ada. Hukum menjadi alat penguasa. Dengan berbagai alat pemukul. Bahkan cukup memanipulasi pasal karet Undang-undang Informasi & Transaksi Elektronik (ITE). Tak sesuai dengan judulnya. Lebih banyak dengan narasi ujaran kebencian. Bukan hal-ikhwal ITE itu sendiri. Setidaknya menabur kekhawatiran rakyat. Hingga memilih defensif atau self cencorship.

Kilas balik Gerakan Reformasi hendaknya menjadi refleksi Jokowi. Merenungkan kembali terhadap hal yang pernah terjadi di negeri pertiwi. Dia bagian dari yang beroleh manfaat dari aksi reformasi. Tak sepatutnya mendistorsi demokratisasi yang pernah tersumbat, nyaris buntu solusi. Mengakali demokrasi dengan berbagai cara, sama arti — mengikis klaim prestasi dan reputasi. Seharusnya pula Jokowi menjadikan semangat berdemokrasi bagian dari legacy. Cuma setahun lagi, pasti berhenti.***

– imam wahyudi (iW)
– jurnalis senior di bandung