JAKARTASATU.COM – Aktivis ’98 yang tergabung dalam Perkumpulan Indonesia Muda (PIM) menggelar “Dialog Lintas Generasi: Meluruskan Jalan Reformasi 1998” di salah satu hotel di Bandung, Sabtu (27/5/2023).

Bersama para aktivis generasi 80an hingga milenial, dialog tersebut berupaya melakukan autokritik lintas generasi dalam membangun pemahaman bahwa Indonesia butuh perubahan.

Dengan peristiwa mundurnya Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998 buah dari jalinan panjang interaksi para aktivis sosial lintas sektor serta lintas generasi yang menjadi pemicu utamanya diperankan oleh para mahasiswa.

Hingga saat ini, aspirasi perjuangan mahasiswa ’98 masih relevan untuk digaungkan dan diingatkan kepada penguasa negeri.

Dalam dialog tersebut, disebutkan sejumlah tuntutan reformasi hingga kini gagal direalisasikan oleh pemerintahan pasca 1998, antara lain:

1. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kenyataan yang didapatkan adalah harapan pemberantasan korupsi tersebut dikubur oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Undang-undang (UU) No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

2. Dilaksanakannya proses yudisial dalam peristiwa penghilangan secara paksa para aktivis.

Rezim Presiden Jokowi justru menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu.

 

3. Berjalannya kebijakan penguasaan tanah yang berkeadilan melalui reforma agraria.

Namun yang terjadi menurut data KPA, 68% lahan daratan Indonesia dikuasai oleh 1% badan usaha pemodal besar, sedangkan 99% penduduk lainnya memperebutkan penguasaan atas 32% sisa lahan yang ada.

 

4. Mandat konstitusi yang mengamanatkan meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat.

Namun yang terjadi alokasi anggaran Pendidikan nasional (dan juga di daerah) sebesar 20% dari APBN/ APBD ternyata tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat, termasuk kesejahteraan sebagian besar para pendidik yang hingga kini masih hidup dalam kondisi sangat memprihatinkan.

 

5. Terjadinya gejala Autocratic Legalism berwujud terbitnya Omnibus Law, UU IKN dan Perpu Ciptaker yang menegasikan partisipasi publik.

Korupsi merajalela baik oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, kebebasan berpolitik pun semakin terancam dengan UU ITE, peretasan akun medsos kelompok kritis, hingga kriminalisasi aktivis. Penegakan HAM semakin samar dengan tidak adanya proses peradilan atas peristiwa tersebut.

 

Oleh karenanya, dalam Dialog Lintas Generasi tersebut yang melihat kondisi saat ini yang semakin menajamnya disparitas antara yang seharusnya dengan yang senyatanya dalam berbangsa dan bernegara, aktivis PIM pun menyatakan sikap, antara lain:

1. PIM akan terus mendorong penguatan civil society sebagai prasyarat demokrasi substansial, yang saat ini dilemahkan oleh negara;

2. PIM memandang bahwa pemerintahaan saat ini gagal memenuhi amanat reformasi, sehingga kita menuntut penguasa negara untuk meluruskan reformasi dengan memenuhi tuntutan-tuntutan reformasi secara sungguh-sungguh dan berkeadilan;

3. Mengajak kepada seluruh aktivis dan segenap masyarakat yang memiliki hak pilih pada 2024 untuk tidak memilih siapa pun calon pemimpin ekskutif dan legislatif yang hanya akan melanjutkan/meneruskan kegagalan dalam memenuhi amanat reformasi 1998.

 

MAT/CR-Jaksat