JAKARTSATU.COM — Membaca media mainstream saat ini prihatin. Ini circle seperti zaman Soekarno pers diatur dengan perjanjian-perjajian. Ada satu tulisan terbaik Mochtar Lubis tahun 78 di majalah Prisma. Dia membandingkan orde baru dengan orde lama tidak ada bedanya. Demikian ungkapan Jus Soema di Pradja, wartawan tiga Zaman ini membuat pembicaraan dengan Jurnalis kami, Ahad 28 Mei 2023.
“Begitu juga di jaman Soeharto ada keharusan mentaati peraturan. Harus mentaati ketentuan-ketentuan, diatur sama dengan jaman Soehato ada ketentuan-ketentuan yang diatur oleh pemerintah. Disinilah saya keluar dari Kompas,” ungkap Jus Soema Di Pradja mengungkapkan dirinya keluar dari media KOMPAS.
Satu-satu koran juga pamit. Abadi punya Masyumi menyatakan kami pamit kepada pembaca karena tidak mau mentaati peraturan-peraturan yang diakukan pemerintah. Jus Soema Di Pradja kemudian menuturkan pada masa Orde Lama koran Harian Indonesia Raya media nasional dibawah pimpinan Mochtar Lubis mengalami dua kali masa penerbitan, yakni pada masa pemerintahan orde lama dan masa orde Baru. “Pada kedua masa pemerintahan tersebut harian Indonesia Raya mengalami larangan terbit,” ungkap Jus yang juga sebagai mantan Wartawan Harian Indonesia Raya.
Ditambahkannya, bahwa selama masa penerbitan pertama tahun 1949-1968, ada lima wartawannya (Harian Indonesia Raya) pernah ditahan selama beberapa hari, bahkan ada yang sampai satu bulan. Bahkan pimpinannya yaitu Mochtar Lubis menjadi tahanan rumah dan dipenjarakan selama sembilan tahun tanpa proses peradilan.
“Di masa orde baru Indonesia Raya penerbitan kedua selama lima tahun 1968 samapi 1874 masa pemerintahan. Selama periode ini pun dua pimpinannya mengalami penahanan, Mochtar Lubis selama hampir 2,5 bulan, dan wakil pemimpin redaksi Enggak Bahau’ddin selama hampir satu tahun. Keduanya disangka terlibat Peristiwa Malari.
Ketika terjadi demonstrasi mahasiswa 15 Januari 2974 di Jakarta memprotes kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka yang kemudian disebut peristiwa Malari. Peristiwa aksi mahassiwa (Malari) ini yang berujung pencabutan izin Indonesia Raya, larangan terbit tanpa batas waktu terhadap sebelas surat kabar dan satu majalah berita. Pencabutan Surat Izin Cetak tanggal pada 21 Januari 1974. Selama periode ini pimpinan dan wakil Indonesia Raya ditahan.
“Ketika surat kabar Indoensia Raya, Pedoman, Nusantara dan 14 surat kabar itu tidak pernah ada keinginan dari pers untuk mengajukan surat perimntaan maaf kepada Soeharto,” tambah Jus.
Malah kita mencoba untuk meminta kepada pemerintah untuk membuktikan bahwa kami pers salah. Bawa lah ke pengadilan untuk dibuktikan. Kami ini minta bukti kepada pemerintahan pimpinan Presiden Soeharto di zaman Orba, tambahnya
“Yah namanya juga penguasa, siapa loe minta-minta seperti itu,” ketus Jus.
Beda dengan tahun 1978, ada 7 surat kabar mengajukan surat permintaan maaf kepada Presiden Soeharto setelah itu barulah bikin peraturan-peraturan lagi. Dan itu dilakukan oleh Majalah Tempo setelah peristiwa Lapangan Banteng. Dimana kasusnya Golkar pada saat itu diserbu olah massa PPP terjadi huru-hara di Jakarta, Tempo membuat laporan sesuai sebagai media yang tidak menyalahi aturan. Tapi itu tetap dianggap melanggar.
Kenapa? Karena ada perjanjian dalam aturan-aturan sebelumnya akan mentaati ketentuan-ketentuan. Dan akhirnya Tempo dibredel. Pada tahun 1994 Tempo dibredel kembali karena dianggap melanggar dari perjanjian yang sudah dibuat. Kenapa tahun 1994 dibredel lagi karena menulis mengenai pembelian kapal selam yang dilakukan BJ Habibie salah satu kapal selam salah satu yang dibawa dari Jerman Timur kapal selammnya tenggelam. “Tulisan tersebut dianggap melanggar,” jelas Jus.
Sejak 1994 maka terbentuklah AJI, (Aliasi Jurnalis Independen), tapi hanya Goenawan Mohamad yang boleh bicara,”ungkap Jus.
Ini sekarang terjadi di pers-pers mainstream. Aksi 212 tidak ada media mainstream yang mau meneritakan, hanya TV one saja.
Kembali ke Mochtar Lubis mengajari saya bahwa tulis turunkan Soeharto meski satu orang jalan kaki dari air mancur ke tugu selamat datang. Nah kalau jutaan orang seperti aksi 212 tidak diberitakan apa adanya. Bagaimana ini pers mainstream?
“Di rezim ini pers mainstream tidak ungkap kepada masyarakat apa yang sebenarnya terjadi. Semisal yang belum lama terjadi soal 349 T , bagaimana seharusnya, kenapa, harus dijelaskan kepada masyarakat,” pungkas Jus . | Yos-jaksat