JAKARTASATU.COM – Korupsi yang menjadi permasalahan krusial di Indonesia sudah dianggap sangat masif dan harus diberantas sampai ke akarnya. Oleh karena Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi, maka presiden yang harus bertanggung jawab, demikian yang dikatakan para pakar dalam diskusi “Indonesia Darurat Korupsi: Jokowi Bertanggung Jawab!”, Jakarta, Senin (29/5/2023).
Diskusi tersebut menghadirkan beberapa orang tokoh, seperti HM Mursalin sebagai Moderator, Anthony Budiawan Managing Director at Political Economy and Policy Studies (PEPS), Marwan Batubara Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS), Anton Permana Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), dan Letjen Marinir (Purn) Suharto mantan Irjen Dephankam.
Dalam diskusi tersebut, Suharto mengamini tema diskusi karena korupsi sudah terjadi secara menyeluruh di berbagai lini dan tingkatan, serta dia menganggapnya sebagai ujaran kebenaran. Menurutnya, korupsi bukan hanya soal keuangan saja, tetapi dimulai dari perencanaan hingga pembuatan aturan itu sendiri.
“Kita mulai yang dari ideologi, ideologi kita sudah mulai dilanggar, politik dilanggar, Undang-undang Dasar 45 dilanggar dengan amandemen. Dan inilah yang sekarang dipakai referensi Untuk segala macam merbuatan melalui Undang-undang Dasar tahun 2002,” ujarnya.
Dirinya pun memberikan sebuah contoh kasus korupsi yang terdapat banyak kepentingan di dalamnya, seperti Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) bukan lagi Organisasi Papua Merdeka (OPM).
“Kalau kita sudah bicara masalah organisasi papua merdeka. Itu adalah porsi dari pada TNI, bukan porsi Polisi. Kalau dijadikan KKB itu menjadi porsi Kepolisian. Saya haqul yaqin sampai negara ini kiamat tidak akan selesai karena ada maksud tertentu di balik itu. Kalau tidak terselesaikan KKB, anggaran itu kan mengalir terus dari tahun ke tahun. Ke mana mengalirnya? Ya ke polisi,” tandasnya.
Lebih lanjut, Suharto menerangkan bahwa banyak kepentingan dari luar negeri untuk mengeruk kekayaan sumber daya alam di Papua yang keuntungannya hanya untuk segelintir orang.
Sepakat dengan pendapat Suharto, Anton mengatakan bahwa dari mulai perencanaan korupsi juga bisa terjadi. “Korupsi ini sudah menjadi watak dan karakter, korupsi ini sudah sistemik,” kata Anton.
Anton mengungkapkan korupsi yang telah menjadi kultur karena kekuasaan yang terlalu besar dan peraturan yang dibuat dengan sekehendak. Serta dalam pemberantasan tidak adanya hukuman yang membuat efek jera, bahkan seseorang mantan narapidana korupsi masih bisa mencalonkan diri sebagai anggota dewan.Karena kewenangannya yang sangat luas, presiden memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberantas korupsi karena membawahi banyak lembaga negara.
“Menurut saya ini perbaikan harus dari pemimpin tertingginya itu presiden. Apapun sekarang terjadi korupsi Komitmennya dulu kan kita reformasi anti KKN,” ucap Anton.
Lebih lanjut, menurutnya dalam upaya memperbaiki negara dari korupsi, pejabat negara harus memiliki rasa malu bila terlalu materialistik dan hedonis, pemberantasan harus dilakukan oleh keteladanan pemimpin, dan terlaksananya UU perampasan aset dalam memiskiskan koruptor hingga memberikan efek jera.
Sedangkan Suharto berpendapat bahwa Indonesia harus dipimpin oleh negarawan, bukan petugas partai yang lebih mengedepankan kepentingan partai daripada negara.Dia juga berharap Indonesia kembali pada UUD 1945 dan kembalinya demokrasi serta kedaulatan di tangan rakyat, yang mana nantinya partai tidak menjadi faktor dominan dalam pemilihan pemimpin.
“Itu kita korupsi sendiri, jadi jangan nuduh orang lain, yang korupsi pejabat kita,” pungkasnya.
MAT/CR-Jaksat