JAKARTASATU.COM — Pada tanggal 16 Maret 2023 PPATK mengumumkan adanya Rp45 triliun dana kejahatan lingkungan jelang Pemilu 2024. Hal itu terjadi karena selama ini hanya delik material UUPLH yang seperti pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang dijadikan obyek hukum.
Sementara delik formal UUPLH yakni perbuatan melanggar hukum berupa aturan hukum administrasi yang secara tidak langsung menyebabkan kerusakan lingkungan hidup belum tersentuh.
“Hal inilah yang mendorong KONPHALINDO (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia) melakukan gugatan terhadap realisasi dana TFCA Kalimantan yakni dana penghapusan hutang AS untuk konservasi hutan tropis,” kata Rudy Gustaf selaku penggugat.
Gugatan yang digelar di Pengadilan Jakarta Selatan Senin 29 Mei 2023 dengan Nomor Perkara 1084/Pdt.G/2022/PN JKT.SEL tidak tanggung-tanggung dilakukan terhadap 5 (lima) pihak. Mereka adalah organisasi non pemerintah (NGO) KEHATI (Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia), Ditrektur Program TFCA (Tropical Forest Conservatian Act) Puspa Dewi Liman, Badan Pengawas TFCA, Perkumpulan Drive Innovation for Aternative Livellihood (DIAL), dan Yayasan Dorong Inovasi dan Lestari (DIAL).
Dari 14 (empat belas) negara penerima dana hibah TFCA, baru di Indonesia realisasi dana penghapusan hutang untuk konservasi hutan tropis (debt for nature swap) senilai US$ 28,495,384.65 digugat karena mal-administrasi.
“Penyaluran hibah yang diatur berdasar US Tropical Forest Conservation Act Tahun 1998 dan Public Law Nomor 105-214 yang diubah menjadi Omnibus Appropriations Act 2009, Public Law Nomor 111-8 mengandung aturan dan prosedur yang rumit sehingga realisasinya tidak bisa main-main,” kata Mailerizal selaku kuasa hukum KONPHALINDO.
Berangkat dari hal tersebut, Mailerizal lawyer kalem yang selama ini menangani kasus-kasus penting, mengatakan: “Bahwa yang dilakukan merupakan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) karena para tergugat mempunyai itikad tidak baik dengan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan sesama warga atau terhadap harta-benda orang lain”. KONPHALINDO intinya menuntut tanggungjawab para pengelola dana Penghapusan Hutang untuk konservasi hutan Kalimantan (TFCA), ujarnya.
Selaku pihak penggugat Rudy Gustaf menambahkan: “Yang terjadi dalam pelaksanaan TFCA Kalimantan adalah kekacauan manajemen atau manajemen kekacauan. Tiga organ tergugat dari TFCA membuat keputusan menyesatkan dalam menempatkan personal yang status dan penugasannya tidak sesuai perjanjian yang disepakati. Kedua, melakukan tindakan sewenang-wenang berupa pencabutan proposal, penghentian pembayaran gaji, dan penghentian dana secara sepihak dengan alasan mengada-ada”.
Secara defacto kekacauan-kekacauan tersebut telah menyebabkan porak-porandanya pelaksanaan program TFCA Kalimantan secara keseluruhan. Selanjutnya Rudy mengatakan: “Dalam kondisi tersebut KONPHALINDO diposisikan sebagai duri dalam daging yang merintangi praktik manipulatif para tergugat dalam program TFCA, sehingga perlu dihentikan langkahnya”.
Yoss/ Jaksat