JAKARTASATU.COM – Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono memberikan klarifikasi soal Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia, Jakarta, Rabu (31/5/2023).

PP tersebut menuai pro kontra dari masyarakat dan pegiat lingkungan, khususnya pada persoalan ekspor pasir laut yang telah dilarang melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Eskpor Pasir Laut, dan kini dibuka kembali.

Dalam jumpa pers di kantor KKP, Menteri KKP Wahyu memberikan klarifikasi soal PP No. 26 tersebut yang dinilai sangat berkepentingan untuk pengusaha dan berpotensi merusak lingkungan.

Wahyu menjelaskan bahwa PP yang disusun selama 2 tahun tersebut dibuat untuk memenuhi kebutuhan reklamasi di dalam negeri dari hasil sedimentasi, bukan dari pengerukan pulau-pulau kecil sebagaimana rezim terdahulu hingga muncul larangan untuk ekspor pasir.

“Kebutuhan akan reklamasi di dalam negeri itu begitu besar. Kalau ini kita diamkan, kita tidak atur dengan baik, maka bisa jadi pulau-pulau itu akan diambil untuk digunakan untuk reklamasi atau penyedotan yang di dasar laut diambil dan lain sebagainya yang berakibat kepada kerusakan ekologi,” kata Wahyu.

Konon, lanjut Wahyu, menurut cerita sedimentasi pasir itu, setiap tahun terjadi tidak kurang dari 23 miliar kubik yang ada di Indonesia. Karena itu harus saya bilang kalau begitu, caranya harus dari sedimentasi yang namanya reklamasi itu.

Oleh sebab sedimentasi dan permintaan reklamasi yang besar, Wahyu menerangkan perlunya ada pengaturan agar tidak terjadi gangguan ekologi, serta dalam proses pengambilan sedimentasi pun tidak boleh merusak ekologi.

Lebih lanjut dia menerangkan PP tersebut tidak akan bisa berjalan tanpa adanya aturan turunan atau Peraturan Menteri (Perme), yang hingga kini Permen tersebut masih disusun.

Lalu, Menteri KKP pun menegaskan penentuan pengambilan hasil sedimentasi tersebut hanya bisa dilakukan berdasarkan hasil kajian dari tim kajian perencanaan yang tertuang dalam Pasal 5 ayat 6 PP 26 terdiri dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan, bidang perhubungan, bidang energi dan sumber daya mineral, bidang lingkungan hidup, instansi yang membidangi hidrografi dan oseanografi, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan kementerian/lembaga terkait lain.

Oleh sebab itu Wakyu menegaskan bahwa soal reklamasi dan pengerukan sedimentasi dilakukan berdasarkan hasil dari tim kajian bukan dari PP.

“Sedimentasi ini boleh digunakan tapi ada syaratnya di dalam UU itu disebutkan ada syaratnya, dibentuk dulu tim kajian yang terdiri dari ESDM, KLHK, KKP, perguruan tinggi, ahli pakar dan bahkan saya minta juga dari LSM atau Green Peace misalnya,” jelasnya.

Terkait masalah ekspor pasir laut, Wahyu menerangkan persoalan perizinan ekspor ada pada Kemendagri, sedangkan soal sedimentasi yang diperbolehkan diambil harus berdasarkan hasil tim kajian.

“(PP) Tujuannya adalah untuk memenuhi reklamasi di dalam negeri, bahwasanya kemudian ada sisa, ada yang pengen misalnya membawa keluar (ekspor), silahkan saja kalau dari kajian mengatakan bahwa sedimentasi boleh, ya silakan,” ucap Wahyu.

“Jadi penentunya bukan dari PP, penentunya adalah hasil dari tim kajian,” sambungnya.

Bahkan dirinya menjelaskan meski suatu perusahaan memiliki izin usaha pertambangan (IUP), maka dia tetap harus mendapatkan izin dari hasil tim kajian untuk pengelolaan sedimentasi karena Wahyu menegaskan PP tersebut untuk pengelolaan dan pemanfaatan, bukan sebagai rezim penambangan.

“Jadi saya katakan rezim ini berbeda dengan rezim terdahulu yang pada waktu 20 tahun yang lalu dilarang pengambilan pasir, penjualan pasir, dan lain sebagainya pada waktu itu karena yang diambil belum ada peraturan sedimentasi. Yang diambil adalah pulau-pulau. Dan itu terjadi juga sekarang ini. Sekarang ini terjadi (pengerukan pulau) kita tutup, kita setop,” tukasnya.

MAT/CR-Jaksat