Oleh Imam Wahyudi (iW)
“Kecurangan dalam pemilu hanya soal waktu.” Mirip dalam laga sepakbola. Gol itu hanya soal waktu. Antarkeduanya dalam jeda peristiwa.
Permainan tim lebih bagus dibanding lawan. Pun intensitas serangan ke zona pertahanan lawan. Berulang kali. Maka, gol itu hanya soal waktu. Lazim dalam sebuah reportase. Tim menang dan juara, semata alasan prestasi.
Dua hal ungkapan “hanya soal waktu”, tentu berbeda makna. Gol adalah prestasi sejalan menjunjung tinggi sportivitas. Jangan ragu dan pilu, bila tim berbekal kualitas bagus. Tempuh mekanisme demokrasi yang setara sportivitas. Sportif!
Kecurangan dalam pemilu, justru mendistorsi komitmen berdemokrasi sejati. Berbagai upaya menjegal calon lawan tanding. Melulu kejaran kekuasaan, seakan negara berjuluk kerajaan. Karuan, dalil “kedaulatan rakyat” dibiarkan tersesat. Mendadak lupa, bahwa demokratisasi adalah marwah bangsa dan negara. Harus senantiasa terjaga dan terpelihara. Ditumbuhkembangkan.
Narasi di atas tak cuma _intermezzo_. Hal “kecurangan pemilu hanya soal waktu”, kian terasa embusan angin. Marak di pentas maya. Terserak di ruang publik. Mengusik bunyi suara para pengamat. Mereka hendak memaklumkan, saatnya “nyanyian bersama” digelar. Memilih diam atau _wait and see_ mirip bak pecundang. Saatnya bersuara lantang.
Forum Dialog Kebangsaan bersama Rizal Ramli di Bandung, akhir pekan lalu — satu di antara suara berteriak. Sebelumnya, diskusi bulanan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Empat narsum, di antaranya tiga jurnalis senior mengurai analisis bab “hanya soal waktu” itu. Hendrajit, Jus Soemadipraja, Aendra Medita dan pengamat anggaran, Uchok Sky Kadafi. “Tak pernah akan ada Pemilu 2024?!” simpulnya.
Mirip paduan suara, tapi penulis (masih) tak percaya. Mana bisa?! Belakangan, rada tersadar dengan pernyataan bersahutan dari lingkaran _status quo_. Bahkan kian vulgar. Melanjutkan kekuasaan dengan cara sendiri. Sederet cara dilakukan. Bukan melalui tata-cara demokrasi nan hakiki.
Dialog Kebangsaan di Bandung, kembali pada kata kunci. Tak lagi berspekulasi. Bahwa tak cukup ada yang diharapkan lewat Pemilu 2024 nanti. Tak pernah akan lahir sebuah perubahan. Harapan rakyat kembali sirna.
Satu-satunya jalan adalah perubahan sistem. Tanpa itu, kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara — tak ubahnya _puzzle_ tanpa spasi. Periodisasi jabatan sejatinya sebuah tawaran perubahan itu. Tapi batasan aturan menyandera. Kekuasaan legislatif dikendalikan sesuai minat kehendak. Maka, perubahan sistem adalah pilihan dan kejaran.
Kecurangan “hanya soal waktu” memutar jarum jam. Mengingatkan peristiwa pascapilpres 2019. Putusan Mahkamah Agung tidak membatalkan hasil pilpres. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan. Bahkan dilakukan lewat tengah malam. Tak lazim, mirip mencuri hak publik atas keterbukaan informasi. Pun putusan Mahkamah Konstitusi soal hasil sengketa pilpres itu. Final dan mengikat.
“Hanya soal waktu” ditengarai dengan skenario ulang. Terencana, terstruktur dan masif. Ditandai penggiringan opini. Seolah hendak membelokkan persepsi publik yang kian melek politik. Upaya penundaan pemilu hingga penambahan periodisasi masa jabatan presiden. Langkah _try and error_ gagal sejak dijajakan. Publik menolak.
Belakangan soal _cawe-cawe_ yang kerap dibantah alias _ngeles_. Kali ini, malah makin gamblang. Argumen asal bunyi, “demi bangsa dan negara”. Sebuah pesan tak utuh. Memicu terjemahan bebas. Lebih pada pesan memaksakan kehendak. Seputar jaminan keberlanjutan program pembangunan yang dibuatnya dan estafet kepemimpinan atas pilihannya. Selebihnya “pengamanan” dalam arti luas.
Sepanjang sejarah elektoral kita, hanya dua pemilu yang dapat diklasifikasikan berlangsung _fair_. Pemilu pertama 1955 dan 1999. Yang disebut terakhir adalah pemilu pertama pascareformasi (1998). Saat demokratisasi pada era (transisi) presiden BJ Habibie. Di era Jokowi kini, rasanya “jauh panggang dari api”.
Pemilu yang berlangsung Luber dan Jurdil cuma setara mimpi. Langsung, Bebas dan Rahasia serta Jujur dan Adil berhenti di halte KPU. Karuan, “kedaulatan di tangan rakyat” jadi pihak pertama ketiban sial.***
– jurnalis senior di bandung