Pertamina | IST
Pertamina | IST

JAKARTASATU.COM – Rencana PT Pertamina (Persero) Holding yang akan menjual produk baru BBM bernama Bioetanol Ron 95, akan menambah seri gasoline yang dijual.

“Di dunia, hanya Indonesia paling banyak menjual seri BBM, mulai Pertalite Ron 90, Pertamax Ron 92, Bioetanol Ron 95 dan Pertamax Turbo Ron 98,” ungkap Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, Minggu (25/6/2023).

Dijelaskan Yusri, seri diesel keluaran Pertamina ada tiga jenis, mulai dari Biosolar, Dexlite hingga Pertamina Dex.

“Di luar negeri hanya menjual produk BBM satu untuk diesel dan dua untuk gasoline,” ungkap Yusri.

Menurut Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati pada media briefing capaian kinerja Pertamina tahun 2022 pada Selasa (6/6/2023) lalu, produk BBM bioetanol yang merupakan percampuran Pertamax Ron 92 sebanyak 95 persen dengan etanol hanya 5 persen.

“Jika hanya 5 persen kandungan etanol dalam Pertamax 92 sepertinya belum memenuhi syarat dinamakan produknya bernama bioetanol, kecuali kandungan etanol bisa mencapai 80 persen, barulah tepat, jadi sekarang lebih pas dinamakan bioPertamax 95,” kata Yusri.

Yusri mengatakan, branding produk tidak boleh terkesan untuk mengelabui publik, apalagi perusahaan sekelas Pertamina.

“Produk BBM tersebut merupakan percampuran antara Pertamax Ron 92 dengan etanol 5 persen untuk dijadikan Pertamax plus patut dipertanyakan tujuannya apa?,” kata Yusri.

Seperti yang kita ketahui, lanjut Yusri, bahwa Pertamina sudah pernah mengeluarkan produk Pertamax plus Ron 95, namun karena kurangnya peminat dan harga yang mahal, maka produk ini hilang dari pasar.

“Saat ini Pertamina bermaksud mengeluarkan lagi produk sejenis namun dengan embel-embel produk bioetanol dari percampuran Pertamax Ron 92 dengan volume 95 persen ditambah etanol (Ron 110) volume 5 persen agar oktan Pertamax 92 menjadi Ron 95 plus,” jelas Yusri.

Dikatakan Yusri, jika hanya untuk menurunkan kandungan sulfur pada BBM Pertamax Ron 95 tak banyak manfaatnya bagi lingkungan, sebab Pertamax Ron 95 itu berasal dari Pertamax 92 yang kandungan sulfurnya di atas 500 ppm atau standar Euro 2.

“Namun, jika untuk meningkatkan performance mesin kendaraan juga tidak terlalu berbeda jauh dengan Pertamax plus non alkohol,” kata Yusri.

Lagi pula, sambung Yusri, secara nasional konsumen Pertamax Ron 95 itu hanya sekitar 1 persen hingga 2 persen dari total konsumen BBM nasional.

“Apalagi jika pemasaran hanya wilayah Surabaya, sangat kecil sekali konsumsinya, hanya beberapa SPBU,” beber Yusri.

Pemilihan daerah Surabaya untuk tahap awal yang menurut rencana akan dimulai pada Juli 2023 itu menurut Yusri sangat dipahami mengingat sumber etanol adanya berasal daerah Mojokerto dan Malang sekitarnya.

“Sehingga, Pertamina Marketing Operation Region (MOR) V yang memiliki TBBM di Surabaya dan TBBM Tuban serta Depo BBM Malang akan bisa digunakan untuk mencampur antara Pertamax 92 dengan 5 persen etanol,” kata Yusri.

Lebih lanjut Yusri menyampaikan, ada masalah lain, jika sumber produksi bioetanol adalah Pertamax 92, maka Pertamina harus menyediakan Pertamax 92 dari kilang atau import HOMC (High Octan Mogas Component) 93 dari luar negeri.

“Di kilang untuk memproduksi Pertalite cukup memblending HOMC 92 dengan light naptha,” kata Yusri.

“Jika Pertamina harus bikin Bioetanol dengan bahan dasar Pertamax 92 (HOMC 92), bagaimana biaya pokok produksi (BPP) untuk produksi tersebut agar Pertamina tidak buntung,” sambung Yusri.

Jika memang ingin menjaga lingkungan, kata Yusri, sebaiknya etanol dicampurkan ke BBM Pertalite untuk menjadi Pertamax Ron 92 yang kandungan sulfurnya di atas 500 ppm, namun kandungan etanol harus 10 persen.

“Atau mengapa tidak dibuat dari light naptha yang Ron 60 sampai dengan Ron 70 ditambah ethanol atau isomerat yang ada di kilang yang mengandung Ron 84 atau Ron 85 untuk dijadikan Pertalite saja,” tanya Yusri.

Caranya, jelas Yusri, Isomerate 84 + HOMC 92 dijadikan Ron 88 / 89, kemudian baru ditambah etanol untuk menjadi bioPertalite Ron 90.

“Selain itu, akan timbul persoalan bahwa ketersedian etanol yang berasal dari proses fermentasi atau molase tebu yang jumlahnya tak banyak dan harganya juga terkadang cukup tinggi,” jelas Yusri.

Alhasil, kata Yusri, bisa terjadi ketika kondisi harga etanol lebih tinggi dari harga BBM Pertamax Ron 95, karena alasan ekonomi Pertamina terpaksa tidak menggunakan etanol sebagi campuran BBM.

“Untuk bulan Juni 2023, Kementerian ESDM telah merilis Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (HIP BBN) Biofuel sesuai Keputusan Menteri ESDM nomor 6023 K/12/MEN/2016, bahwa HIP BBN jenis Bioetanol adalah Rp 11.558 perliter, berlaku efektif terhitung 1 Juni 2023,” kata Yusri.

Lagi pula, kata Yusri, dalam kondisi tertentu adanya kandungan etanol dalam BBM berpotensi mudah larut dengan air, apalagi jika purity etanol rendah 92 sampai dengan 95, yang bisa menyebabkan korosi, maka dibutuhkan aditif baru corrosion inhibitor.

“Jika diendapkan lama ada potensi terpisah menjadi dua lapisan antara BBM dengan alkohol,” kata Yusri.

Oleh sebab itu, kata Yusri, Pertamina diharapkan terbuka ke publik, kenapa harus Ron 95 lagi dan berapa harga jual produk Pertamax Ron 95 plus etahnol 5 persen.

“Jangan sampai proyek bioetanol ini nasibnya sama dengan proyek green gasoline dari kilang Plaju dan green avtur dari kilang Cilacap tak tau kita ujungnya hanya heboh di media,” tutup Yusri. |WAW-JAKSAT