Popularitas Partai di Sosial Media, Apa Kata Big Data

JAKARTASATU.COM— Continuum Big Data  bekerjasama dengan LP3ES gelar diskusi publik mengambil tema “Popularitas Partai di Sosial Media, Apa Kata Big Data” menghadirkan narasumber Dr Wijayanto (Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES),  Maisie Sagita  (Data Analyst Continuum). Acara dipandu moderator  Felia Pratikasari (Business Development Continuum INDEF). Minggu,  (25/06/2023).

Maisie Sagita, analyst Continuum Big Data memaparkan hasil riset Continuum periode 01-31 Mei 2023 yang menemukan fakta-fakta menarik seputar kecenderungan netizen di media sosial twitter tentang popularitas Partai Politik saat ini.
Data yang diambil dari 485,743 perbincangan di media sosial dan terdiri dari 139,942 akun media sosial twitter. Data yang didapat oleh Continuum telah disaring terlebih dulu dari buzzer dan BOT, sehingga dapat diperoleh pendapat dari akun akun masyarakat pada umumnya.

Lanjutnya dari hasil pengumpulan data, dari 18 partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu 2024, saat ini terdapat 5 partai politik yang paling popular di media massa yakni Partai Nasdem, PDIP, PKS, PKB dan Gerindra.

Maisie Sagita mengatakan partai Nasdem menjadi partai paling popular dengan tingkat penerimaan paling tinggi dan proporsi perbincangan positif yakni 77% atau 140 ribu lebih perbincangan oleh 26.056 akun medsos. Popularitas tersebut dikarenakan Partai Nasdem dan PKS (39 ribu perbincangan) menjadi partai populer karena langkahnya yang berani menyalonkan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 dan dinilai menyelamatkan demokrasi.

“Partai Nasdem juga dianggap menyebabkan kader partai lain pindah ke Nasdem. Di sisi lain, publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader Partai Nasdem dan meminta untuk menyelidiki aliran dan korupsi ke partai. Publik juga curiga dengan biaya pembanunan Nasdem Tower, ungkap Maisie Sagita,

Selain itu urai Maisie Sagita, partai PKB dengan 38 ribu perbincangan juga populer karena ada narasi perbedaan dukungan di akar rumput antara mendukung Anies B dan Prabowo. Sementara PDIP (110 ribu perbincangan positif oleh 30,785 akun medsos) meraih 71,5% tingkat popularitas positif karena Bacapres Ganjar Pranowo. Gerindra dengan 35,400 perbincangan populer karena didorong percakapan bacapres Prabowo.

“Sementara 58,5% percakapan pendukung PDIP berisi dukungan kepada Ganjar Pranowo. Di sisi lain publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader PDIP. Padahal dulu PDIP memperjuangkan reformasi tetapi justru sekarang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup,” jelasnya

Kemudian Maisie Sagita,menyoroti posisi partsi PKS. PKS, partai Islam memperoleh 39,542 perbincangan oleh 14,137 akun medsos dan memperoleh positive rate 80,9%. Elektabilitas PKS menjadi semakin naik karena mengusung Anies Baswedan sebagai Capres 2024 dan menyelamatkan demokrasi. Namun, PKS juga dikritik karena tindakan kekerasan oleh kadernya, dan menyoroti kader PKS lain yang menolak UU tindak pidana kekerasan seksual. Isu majunya Kaesang sebagai calon Walikota Depok juga memunculkan keinginan publik untuk menyingkirkan PKS dari Depok.

“Partai Gerindra, mendapat 35,350 perbincangan oleh 16,132 akun medsos. 58,1 percakapan berisi dukungan publik untuk kepada Prabowo. Publik juga mengapresiasi tim Gerindra yang mampu membangun citra Prabowo dengan sangat baik. Tetapi di sisi lain tindakan Prabowo yang menggandeng keluarga Jokowi menyebabkan publik menilai Gerindra gagal dalam mengkader bibit bibit dalam partai,” tutup Maisie Sagita,

Dr Wijayanto

Dalam paparannya, Dr Wijayanto menyebut dari perspektif normatif tentang Pemilu maka itu artinya berbicara ihwal demokrasi. Pemilu adalah satu mekanisme demokrasi untuk memilih pemimpin. Pemilu muncul dari dua pemikiran yang penting dalam ilmu politik yang bertentangan tapi coba didamaikan.

Yang Pertama, bahwa dalam demokrasi setiap warga negara berhak dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun di sisi lain kata Wijayanto dalam negara demokrasi seperti di masa Yunani atau Athena di mana warga negaranya hanya 5.000 itu tidak mungkin setiap warga negara terlibat dalam setiap pengambilan keputusan politik. Maka kemudian dibentuklah sistem Pemilu.

“Oleh karenanya kemudian pemilu digunakan sebagai cara bagi warga negara untuk menunjukkan kedaulatannya dan mengambil keputusan politik memilih dan memandatkan kepada wakil rakyat atau pada  pemimpin,” ujarnya

“Sayangnya, saat ini pemilu di Indonesia ditempatkan dalam konteks kemunduran demokrasi sebagaimana telah muncul banyak catatan tentang pemilu yang berlangsung dalam suasana yang hampir ditunda, dan hampir jadi 3 periode petahana presiden,” tambahnya

Wijayanto menyinggung pemilu dengan adanya cawe-cawe

Namun sekarang, Pemilu diiringi dengan cawe-cawe presiden yang aktif memberikan dukungannya kepada dua capres. Hal itu menimbulkan pertanyaan dan protes publik.

“Padahal salah satu ciri dari pemilu yang demokratis adalah, kita tidak bisa tahu di awal siapa pemenangnya. Menjadi menurun kualitas demokrasi bila siapa pemenang telah diketahui lebih dulu,” jelasnya

Selanjutnya Dr Wijayanto juga memberikan opini terkait riset popularitas partai, tetapi ada satu hal penting, bahwa pemilu seharusnya membicarakan masalah-masalah yang dialami warga negara. Lalu dibicarakan juga apa solusinya.

Menurut Wijayanto dari perbicangan riset Continuum yang ada nampaknya kita terjebak pada perbincangan tentang “pacuan kuda”. Kemudian tentang koalisi antar partai, jadi isunya elitis sekali.

Kemudian ia membeberkan yang harusnya menjadi pembahasan.

“Kita belum melihat misalnya PDIP menjadi populer karena menawarkan program pajak progresif (progressive tax) di mana para orang kaya dikenakan pajak tinggi dan orang miskin akan mendapat subsidi negara, sebagaimana di Eropa. Atau PDIP menjadi terkenal misalnya karena punya konsep terobosan untuk atasi climate change atau kerusakan lingkungan. Atau Nasdem menjadi terkenal karena punya konsep jitu bagaimana mengatasi lapangan kerja. Atau misalnya generasi Z dan milenial yang kini akan semakin sulit mendapatkan rumah tinggal yang layak,”

Wiyanto menandaskan saat ini kita tidak mendengar itu semua dari partai-partai yang bersaing. Yang muncul hanya PKS Nasdem PDIP terkenal karena mendukung bacapres-bacapres Anies atau Ganjar Pranowo. Dengan demikian perbincangannya berkisar pada elit yang ada. Atau populer nya karena ada kasus korupsi pada menteri-menteri yang berasal dari partai.

Seharusnya tambah Wijayanto, mendekati pemilu 2204 yang sisa 7 bulan lagi, ada solusi atau konsep apa yang dapat didengar publik untuk berbagai macam masalah bangsa mulai dari HAM, Kemiskinan, lapangan pekerjaan, isu lingkungan dan isu isu pro publik lainnya.

Kemudian dari sisi Empirik, partai-partai yang mendapat “cocktail effect” karena mendukung Anies Baswedan seperti Nasdem dan PKS, menjadi menarik karena rupanya partai Demokrat tidak banyak mendapat imbas dari cocktail effect. Faktornya tentu kira-kira karena Demokrat atau AHY tidak segera dideklarasikan sebagai cawapres, yang akhirnya terjadilah pertemuan AHY dan Puan Maharani.

Menghiri diskusinya, Wijayanto mengungkspkan dari analisa Google trend, memang antara PKS dan PDIP Gerindra Nasdem dan Demokrat, terlihat PIDP yang paling populer lalu disusul oleh Nasdem. Jadi data Continuum INDEF tidak terlalu berbeda. Sementara PKS menyodok di tempat ketiga baru Gerindra dan Demokrat memang yang paling rendah.

“Maka dari itu dari sisi riil politik kita bisa mengerti kegalauan partai Demokrat,” pungkasnya. |Yoss