Konspirasi Misionaris Politik Hancurkan Masyumi, FPI, HTI dan Kini Bidik Al Zaytun

by Faizal Assegaf (kritikus)

Penghancuran kepada basis-basis organinasi umat Islam di republik ini sangat menyedihkan. Dari rezim ke rezim, penzaliman dilakukan secara brutal dengan aneka stigma jahat: Teroris, radikal dan intoleran.

Diktator ulung Soekarno melalui propoganda persatuan nasional, memposisikan sejumlah ulama dan organisasi Islam sebagai musuh. Para ulama besar seperti Buya Hamkah, Daud Beureuh, M. Natsir dll dipenjarakan.

Yang paling tragis dan tak terlupakan adalah kejahatan terbesar Soekarno membubarkan Partai Islam Masyumi. Sejarah hitam Kejahatan yang bersembunyi di balik topeng Pancasila atas tafsir tunggal yang kental dengan kepentingan sekularisme.

Di era orde baru pun tak kalah bengis. Di mana rezim Soeharto dimanfaatkan secara terselubung oleh misionaris politik menyudutkan Islam. Akibatnya Soeharto yang awalnya dekat dengan umat Islam dibenturkan oleh serangkaian propaganda politik yang melemahkan umat Islam dalam bernegara.

Tujuannya agar misionaris politik bebas menguasai sentra-sentra ekonomi strategis. Kelompok ini terkenal dengan julukan Mafia Berkeley (Radius Prawiro, Adrianus Moy dan JB Sumarlin, dll). Selain itu muncul gerakan separatisme Uskup Belo dan jaringannya memanfaatkan kejatuhan Soeharto untuk melepas Timor Leste dari Indonesia.

Berbagai rangkaian pertunjukan kejahatan misionaris politik mengobok-obok Indonesia juga meninggalkan luka terdalam bagi umat Islam dalam tragedi berdarah Tanjung Priok. Saat itu membuat Soeharto sadar bahwa negara telah ditunggangi misionaris politik yang super licik dan sangat membenci Islam.

Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani atau L.B. Moerdani yang saat itu menjadi Palima ABRI (kini TNI), menjadi sorotan umat Islam. Perannya dituding sebagai dalang penyerbuan masjid di Tanjung Priok 12 September 1984. Tragedi memilukan ini membuat umat Islam sangat marah dan bangkit melawan.

Di era reformasi, lebih khusus pada rezim Jokowi kejahatan misionaris politik makin brutal dan semena-mena. Organisasi FPI dan HTI dibubarkan melalui pendekatan kepentingan politik kekuasaan. Publik menyimpulkan pembubaran dilakukan lantaran kedua ormas itu yang sangat kritis terhadap rezim Jokowi.

Kini memasuki pertarungan Pilpres 2024, misionaris politik melalui jaringan Kompas atau yang sering disindir ‘Komando Pastor’ agresif memompa opini Al Zaytun sarang Negara Islam Indonesia. Ini bukan isu baru, tapi telah dimainkan sejak pesantren modern itu berdiri.

Sangat tendensius untuk menyudutkan umat Islam. Sebaliknya Uskup Belo dan jaringan aktivis gereja yang jelas-jelas berkhianat kepada Pancasila dan NKRI melalui gerakan separatis membebaskan Timor Leste, oleh kompas di puja-puji. Manis kepada Uskup Belo, Benci ke Al Zaytun.

Kesan norak itu terlihat dari diksi berita Kompas yang juga sama sikap mereka pada FPI dan HTI. Semua alur peristiwa politik tersebut mesti dilihat secara jeli oleh umat Islam. Bahwa sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, posisi umat Islam selalu menjadi korban, terzalimi dan termarginal.

Tentang polemik Al Zaytun tentu harus direspon dengan sangat hati-hati oleh umat Islam. Setidaknya sebelum membuat kesimpulan apapun, diperlukan tabayun agar fakta dan data menjadi terang. Tapi, tampaknya umat Islam telah digiring terkotak-kotak oleh permainan politik jahat misionaris politik.

Belajar dari pembubaran Masyumi di era rezim diktator Soekarno, kasus Tanjung Priok berdarah pada Orde Baru serta skandal pembubaran FPI dan HTI, maka tentu menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam. Jangan sampai isu Al Zaytun akan menjadi korban berikut dari permainan politik jahat untuk melemahkan umat Islam. Waspada!

**