Rizal Ramli : Rusak Demokrasi Karena Propaganda Masive Ala Nazi Hitler
JAKARTASATU.COM— Rizal Ramli tokoh nasional menyampaikan bahwa sekarang ini persepsi sedang diaggap ilmu baru, padahal persepsi bukan kebenaran. Ini menyesatkan, karena persepsi bisa direkayasa. Persepsi yang ada di Indonesia direkayasa oleh buzzer, influencer, polling berbayar. Jadi rusak demokrasi karena mereka secara sistematis terus membangun persepsi bahwa Jokowi ini hebat berprestasi disenangi rakyat bahwa yang berbeda pendapat dengan pemerintah itu kecil, salah, jelek semua.
Demikian disampaikan Rizal Ramli dalam acara diskusi bersama komunitas Koloni Seniman Ngopi Semejai pimpinan Jimmy S. Johansyah, bertajuk “Dari Inlander Menjadi Highlander,”. Jakarta (5/7/2023).
Keadaan kita sekarang sama seperti Jerman saat dikuasai Partai Nazi yang dipimpin Adolf Hitler (1933-1945), karena sama-sama menerapkan propaganda model Paul Joseph Goebbels
Goebbels (1897-1945) adalah pendukung utama Hitler sekaligus pendukung aktif gerakan anti-Semit. Goebbels secara resmi bergabung dengan Nazi pada tahun 1924, dan oleh Hitler diberi posisi kunci sebagai Menteri Propaganda Nazi.
“Saya ga habis pikir, di Jerman saat itu bangsa yang sangat rasional, bangsa yang sangat cerdas dan bangsa yang paling hebat ahli filsafat paling hebat, ahli matematika paling hebat. Serba hebat. Kok bisa kemakan oleh seorang kopral. Hitler itu cuma seorang kopral, tetapi dia dibesarkan, didukung, oleh Joseph Goebbels, ahli propaganda nomor satu di dunia,” ujar Rizal Ramli keheranan.
Kalau kebohongan dibuat setiap hari, terus diputar tiap hari, lama-lama kebohongan dianggap menjadi kebenaran. Itu dilakukan oleh propaganda Hitler.
“Itulah alat Hitler berkuasa, sehingga seluruh Jerman dia dominasi, karena kebenaran dia balikan, dan sebagainya. Dan akhirnya, Dia kuasailah Eropa sampai dikalahkan,” katanya.
Ia menegaskan, sejak 2014 hingga hari ini, para pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan teknik propaganda Goebbels, karena mereka terus menciptakan kebohongan dan hoaks bahwa Jokowi sangat berprestasi, sangat hebat, sangat merakyat, pro rakyat dan sebagainya.
Rizal sebutkan ada 136 janji-janji palsu dia yang tidak dilaksanakan atau dikerjakan tetapi mesin propaganda berbayar ini terus menyatakan sebaliknya
“Padahal, kenyataan sebaliknya; dia sama sekali tidak pro rakyat. Memang penampilannya merakyat, tapi kebijakan+kebijakannya sangat anti rakyat. Pidato bolak balik; ‘Kita enggak akan impor! Kita akan larang impor! Kita perlu petani’, (tapi) kebijakannya sebaliknya. Diangkatnya menteri-menteri yang doyan dapat duit rente dari impor, seperti mport beras, impor segala macam. Jadinya dia membantu petani-petani menjadi lebih makmur di Thailand, di Vietnam, di Myanmar, (tapi) petani Indonesia sendiri makin miskin,” bebernya
“Mereka percaya prestasi bohong dan palsu, dianggap sebagai prestasi,” imbuhnya.
Jokowi merupakan figur presiden Indonesia yang bukan dari seorang pimpinan partai. Eksistensinya melesat seperti dikarbit, dari walikota Solo, melalui pilkada 2012 jadi Gubernur DKI, kemudian menjadi Prsiden RI dua periode.
Karir kilat Jokowi tersebut tak lepas dari peran orang-orang yang bekerja di belakangnya, menyiapkan dan menyediakan semua infrastruktur yang dibutuhkan, termasuk media mainstream yang berperan membentuk citra dan opini positif untuk dirinya, dan para buzzer politik bayaran yang tak hanya berperan membentuk citra dan opini, tapi juga memprotek Jokowi dengan menyerang siapapun yang mengeritik atau menjelek-jelekkan Jokowi di media sosial.
Jokowi dicitrakan sebagai yang baik, sederhana dan merakyat oleh media mainstream dan para buzzer, influnecer. Selain itu citra Jokowi ditopang oleh survei bayaran.
Kebijakan Jokowi meski menyusahkan rakyat, akibat Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan Jokowi, hampir setiap hari berbagai elemen rakyat, terutama buruh, aksi mahasiswa, emak-emak dll aksi ke Jalan. Namun LSI memgkat cotra Jokwi demgan mengeluarkan rilis pada Mei 2023 tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi mencapai 82%.
Menurut Rizal Ramli, Jokowi bisa memiliki karir politik yang demikian melesat diduga merupakan kepanjangan tangan oligarki yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah China yang berideologi komunis.|Yoss-Jaksat
.