oleh: Imam Wahyudi (iW)
PPDB sebaiknya bubarkan saja. Sebuah sistem yang tidak menjamin kepastian atas aturan itu sendiri. Mirip pertaruhan atau perjudian. Kadung semrawut yang tak henti berlanjut. Pada setiap tahun ajaran baru.
Biang keroknya pemberlakuan zonasi. Jarak rumah calon siswa dengan lokasi sekolah. Cuma membuat pusing orangtua dan kepala sekolah. Pihak sekolah kerap jadi tumpahan serapah. Celakanya tanpa solusi. Banyak orangtua siswa dipaksa menyerah. Terpaksa pula memilih sekolah yang tak dikehendaki.
Penulis pernah diminta bantuan seorang single parent yang mendadak dibuat pusing. Itu tadi, soal zonasi yang mulai diberlakukan tahun 2017. Pada saat, anaknya perempuan baru tamat SD. Ingin masuk SMP negeri. Jarak rumah dengan lokasi sekolah terbilang cukup dekat. Selisih hanya puluhan meter. Ternyata tak ada toleransi. Padahal di kawasan Bandung Barat itu tak cukup jumlah SMP negeri sebagai alternatif.
Mentok, tak ada solusi. Pihak sekolah pun “angkat tangan”. Tak mau timbul masalah yang berdampak resiko jabatan. Apa hendak dikata, akhirnya saya menghubungi staf Walikota Bandung. Lantas mengomunikasikan ke Dinas Pendidikan setempat. Hingga kami diminta datang langsung ke sekolah. Pendek kata, akhirnya diterima. Si anak dan ibunya mendadak sumringah.
Upaya yang tak seharusnya. Jalan pintas yang tak populer itu terpaksa ditempuh. Berulang terdengar keluhan seperti itu. Juga tahun ajaran baru kali ini. Heboh di ruang publik. Tanpa pernyataan sebagai “darurat PPDB”. Tanpa perubahan mendasar, peristiwa yang tak nyaman itu bakal berlanjut. Berulang dan berulang.
Soal istilah atau sebutan PPDB pun tak cukup familiar. Penerimaan Peserta Didik Baru yang lebih mengesankan program diklat (pendidikan dan latihan -pen). Padahal, ya penerimaan siswa baru. Sebutan yang sudah populer sebagai tradisi tahunan. Sebutan Penerimaan Siswa Baru (PSB) lebih pas dan membumi. Sejalan kearifan lokal. Tak mesti neko-neko dengan istilah baru yang nyatanya bertendensi “jebakan.” Saatnya nilai transparan dikandung dalam sistem. Apa pun namanya, yang senantiasa memberikan harapan.
Begitulah adanya. Ganti pejabat, ganti kebijakan. Ganti istilah atau sebutan atau nomenklatur program. Apalah artinya. Dalam praktiknya tak lepas dari frasa siswa baru. Bukan peserta didik baru.
PPDB berulang memabukkan para orangtua siswa. Ya, itu tadi pemberlakuan zonasi. SD maksimal 3 km, SMP 5-7 km kilometer dan SMA-SMK antara jarak 9-10 km. Aturan atau sistem zonasi PPDB diatur Permendikbud No 14/2018. Hal yang patut dipatuhi. Tapi aturan yang justru memicu “kalang kabut”, apa masih pantas diberlakukan?! Fakta menunjukan, miskin korelasi dalam implementasi. Bertolak belakang.
Belum lagi, jalur yang digunakan dalam PPDB. Meliputi jalur zonasi (50%), prestasi (30%), afirmasi (kurang mampu secara ekonomi, 15%) dan pindah sekolah tugas orangtua (5%). Aspek jalur saja dimungkinkan sengkarut. Ditengarai memicu transaksi.
Tak bersesuaian dengan tujuan dan capaian. PPDB bertujuan memberikan layanan bagi anak usia sekolah/lulusan untuk memasuki satuan pendidikan yang lebih tinggi secara tertib, terarah, dan berkualitas.
Mau sampai kapan sengkarut berlarut?! Mau sampai kapan, setiap kali tahun ajaran baru — dinyatakan akan dievaluasi?! Dengan kata lain, sebuah aturan yang tak standar dan konsisten.
Sengkarut dengan embel-embel (akan) dievaluasi. Tak ada kepastian yang bisa dijadikan pegangan. Antisipasi bagi orangtua mempersiapkan anaknya dalam melanjutkan jenjang pendidikan. Di sisi ini dipersiapkan. Di sisi lain, faktualnya lebih mirip perjudian semata. Bila itu adanya, pilihan terbaik: Hentikan dan Bubarkan PPDB!!*
*) jurnalis senior di Bandung.