BLUSUKKAN TEATER KELILING
DALAM ERA MILENIAL.
By Rudolf Puspa
Di sampaikan di acara Koloni Seniman Ngobrol Ngopi Semeja bertajuk “Blusukan Teater Keliling dalam Era Milenial”, acara siselenggarkan di bawah Fly Over Arief Rahman Hakim, Depok
dalam Era Milenial dengan menghadirkan rasumber Rudolf Puspa. Acara selengfsrakan oleh Koloni Seniman Ngobrol Ngopi Semeja di bawah Fly Over Arief Rahman Hakim, Depok
Jika sejak awal teater keliling berdiri sudah melakukan apa yang kemudian hari dikenal dengan istilah blusukan sejak pak Jokowi melakukannya ketika menjabat gubernur di DKI. Istilah ini jika dilihat dari kacamata budaya wong Solo terasa sangat akrab. Namun waktu itu istilah lamanya disebut “kluyuran”. Ngluyur itu sepertinya sudah jadi budaya anak muda bahkan remaja Solo. Apalagi malam hari kalau mau cari temen ya jangan ker umahnya. Cari di angkringan-angkringan tempat-tempat penjual makanan minuman yang bisa buka sampai pagi.
Selanjutnya “penyakit” yang sukar disembuhkan ini merasuk ke dalam kehidupanku. Jadilah ngluyur sampai jauh ke ibukota seusai menamatkan sekolah SMAN 2 tahun 1966 akhir. Membawa niat besar kuliah teater. Namun apa daya keadaan politik yang baru saja berubah kurang bersahabat sehingga tak tercapai niat tersebut. Maka mencari orang-orang teater yang dapat jadi “angkringan”. Kenal Kasim achmad lalu dikenalkan ke Steve Liem atau dikenal Teguh Karya. Diberi kesempatan mengisi pentas di Bali Room HI Waduh bangganya mendapat angkringan yang mewah untuk ukuranku tahun 1967 itu.
Lalu diberi ruang lagi oleh mas Kasim agar daftar audisi menjadi pemain drama Lautan Bernyanyi karya Putu Wijaya untuk acara peresmian Taman Ismail Marzuki 10 Nopember 1968. Diterima dan mendapat peran kedua mendampingi peran utama Sukarno M Noor yang aku banggakan. Gemetaran tentunya sebagai new comer. Lalu oleh pak Djajakusuma disuruh kerja terus di TIM. Jadi crew panggung seluruh TIM. Waktu itu bersama Sentot dan Sardono W Kusumo dan Jose Maruta Efendi almarhum.
Singkat kata kemudian Arifin C Noer datang dari Yogya dan mendirikan “teater ketjil” dan akupun masuk kesana tahun 1968. Aku sudah sering belajar dengannya ketika masih di Yogya yang tiap Sabtu aku datang dari Solo dan Minggu malam pulang. Digodog habis2an oleh beliau. Jiwa ngluyur terus mengganggu sehingga sejak 1972 kesana kemari menawarkan gagasanku. Baru 1974 berhasil terkumpul 10 orang mendukung.
Gagasan ngluyur ini terdukung oleh ucapan Arifin yang menyerukan jangan hanya mendekam di empat tembok TIM. Keluar lihat diluar TIM banyak ruang2 terbuka yang bisa menjadi ruang pertunjukkan sandiwara. Maka beliau sangat mendukung ketika aku pamit untuk mulai keliling. Maka akupun keluar kerja dari TIM dan memberanikan diri memilih kluyuran. Jiwa kluyuran ini tentu saja belum hilang dari jiwaku maka aku tidak takut untuk kluyuran yang kemudian dapat istilah mentereng yakni keliling.
Ada kekuatan yang mendukung pilihanku yakni adanya sebuah grup sandiwara Dardanela zaman perang kemerdekaan yang mampu keliling2 bahkan hingga mancanegara. Lalu kupikir apa di zaman merdeka kita nggak bisa? Logikanya harus bisa kan? Sudah merdeka kok. Punya kebebasan kok. Dan berbagai kok kok kok lagi. Cuma celakanya terbentur bentur aturan berkesenian yang dibuat penguasa orde waktu itu yang kadang terjemahan kebawahnya bisa tidak mengenakkan kegiatan kluyuran kami. Namun tekad bulat terus berusaha menembus segala macam benteng sekeras bajapun. Sekian tahun kemudian baru ketemu padanannya yakni mengalir seperti air pasti akan ketemu celah2nya agar terus mengalir.
Karena banyaknya aturan dan tentu bukan hal mudah maka kami menimba ilmu dari perang kemerdekaan yakni “gerilya”. Bangsa ini bangsa yang tangguh atau bangsa pejuang dan memiliki ilmu gerilya sehingga dengan bambu runcing mampu melawan penjajah. Terdengar absurd tentunya. Daya juang ini harus dimiliki pemimpinnya tentu saja. Namun keadaan politik kekuasaan membuat sang pemimpin seperti bekerja sendiri. Ia ambil sikap tidak terbuka dalam berjuang mengalir bagai air tersebut. Hal ini diambil dengan tujuan anggota tak perlu ikut merasakan susah payahnya menjebol dan membangun. Siap saja berlatih sebaik-baiknya sehingga apa yang katakanlah “dijual” bisa benar-benar terbukti di panggung.
Maka banyak sekali taktik pelatih acting akan melakukan latihan sambil melihat aba2 dari ketua apa sudah ada pengisi perut atau belum. Maka latihan harus dijalankan hingga ada tanda2 positif. Ini sering terjadi dan sangat lucu kalau diceritakan. Lucu yang sangat dramatis sekali tentunya.
Jungkir balik dari perjuangan 10 tahun pertama teater keliling begitu dramatiknya dan banyak unsur tragedinya sehingga sangat mengasah ketabahan bagi anggota laskar pejuang2 tak dikenal ini. Maka kami mendidik kepada mereka untuk jauhkan diri dari cita2 menjadi terkenal, mendapat piala jagoan, uang berlimpah atau apapun istilahnya. Bekerja saja dalam kluyuran ala wong Solo ini. Kan sudah gagah punya nama Teater keliling, nama yang didapat dari perjalanan keliling pertama. Sebuah grup keliling pertama di zaman merdeka dan sangat mendambakan ada seniman yang tertular dan terus juga keliling2 minimal di kotanya atau daerahya. Seperti contohnya teater Gidag Gidig Hanindawan dari Solo. Karena saya tau dan merasakan langsung betapa banyak perngorbanan untuk keliling berbulan2. Sampai akhirnya punya persyaratan berat yakni jangan tanya kapan pulang.
Karena zaman orde baru prosedur perjalanan pentas masih harus mengikuti aturan yang top down maka punya sikap kumpulin saja rekomendasi keabsahan grup kluyuran ini sehingga pemerintah daerah menerima dan memberikan ruang berkiprah. Bukan hanya pentas namun juga membuka workshop2 dan system kolaborasi pementasan kemudian tahun dilakukan. Kadang sekian puluh tahun kemudian ketemu penonton yang menyalami dan cerita dulu waktu di daerah saya kan ikut main? Duh mengingatnya tentu ya maaf sekali sulit karena telah berlalu puluhan tahun. Namun bagi mereka sangat membekas bahkan mengatakan latihan teknik olah tubuh dan rasa sangat bermanfaat bagi mereka kuliah hingga bekerja. Waduh. Luar biasa.
Banyak catatan bagaimana tanggapan penonton umum yang kadang sangat menyentuh hati bahkan menikam sakit sekali. Sungguh catatan kemanusiaan yang waktu itu sangat sulit untuk diceritakan terbuka. Umumnya di daerah2 terpencil yang sepertinya menjadi daerah yang jika disebut anak bagai anak tiri.
Tahun terus bertambah umur teater keliling dan mau tidak mau harus mengikuti aliran darah baru yang terus diperbarukan agar terus segar jauh dari berbagai penyakit karakter manusia. Berusaha menjadi jembatan antara rakyat dengan pemimpinannya serta sebaliknya. Bagaimana membuat dialog2 dipanggung terselip hal tersebut namun tidak membuat saling tersinggung. Benar2 bahasa satrawi yang perlu dikuasai sehingga tercapai win win solution.Kami memang tidak ambil jalan kritik terbuka karena untuk apa jika muncul sekali lalu dibenamkan selamanya? Itu pilihan sikap kami dalam berkeliling. Lebih baik menyenangkan walau tetap ada sisi2 kritik kemanusiaan.
Selanjutnya ketika tiba-riba ada regenerasi mendadak maka cerita kluyuran pun menjadi berbeda tentunya. Saya katakan mendadak karena memang saya tidak pernah menyiapkan untuk itu. Mengingat setiap grup teater ketika pemimpinnya mangkat maka grupnya mengikutinya. Namun teater kluyuran ini sangat berbeda. Putri sulungku ketika sudah menamatkan kesarjanaannya di UNPAD Fisip jurusan hubungan internasional mengatakan bahwa menyesal ketika SMA tidak suka pelajaran sejarah. Ngantuk, tidur saja di bangku sekolah saat itu. Lalu ia ingin bikin pementasan yang mengeduk cerita2 sejarah bangsa yang sangat diperlukan mengingat bangsa ini sepertinya rusak karena tak kenal sejarah negerinya. Saya sangat terkejut anak ini dari kecil tak tampak perhatiannya pada teater. Bahkan nontonpun waktu kecil ya tidur saja dibelakang panggung walau waktu perkenalan ia bangun dan muncul. Ia senang hadir juga rupanya.
Maka peta kluyuran teater keliling ada perubahan dalam menulis cerita hingga bentuk2 pementasannya yang kemudian mengambil musikal teater. Maka selain audisi keaktoran juga untuk koreografer, music director dan sebagainya. Dengan demikian bukan saja menerima penari, penyanyi, pemusik juga tetap aktor. Saya yang tidak pernah memimpin panggung dengan 300 pemain dan team produksi serta artistik waduh benar2 kerja keras yang banyak perdebatan muncul. Bentuk2 musikal di dunia ini banyak yang tentunya bisa dilihat di Youtube. Namun bagaimana sampai hasil seperti itu harus meraba sendiri. Ini yang bikin sering harus berkelahi habis2an. Namun karena ada pelatihan untuk selalu ingat bahwa karya seni teater adalah hasil karya koletif maka jiwa bersama dalam kebersamaan telah sejak awal ditanamkan. Maka win win solution terjadi. Yang sulit beregenerasi justru para yang merasa senior atau yang tua sangat sulit untuk mendengar ke yuniornya. Barangkali hampir disegala bidang terjadi seperti itu. Maka menjadi lazim kita lihat capres, cagub, cabub, anggota dpr kok dari itu ke itu saja? 200 juta lebih penduduk dan berapa juta yang sarjana hingga prof doktor muda sudah dihasilkan. Absurd ya? Barangkali.
Demikianlah sebagai awal pembuka bincang-bincang kita tentang kluyuran kami bisa bertahan hingga 49 tahun. Mohon doanya agar tahun depan dengan umur memasuki 50 tahun atau setengah abad bisa tercapai dengan sangat indahnya dimana para milenial hingga generasi Z yang ada di teater keliling mampu menyiapkannya.
Terima kasih.
Rudolf Puspa
Denpasar 19 Juli 2023.