“Telah 39 Tahun Ratifikasi CEDAW, Perempuan Masih Sulit Memperoleh Keadilan di Muka Hukum ”

JAKARTASATU.COM– Pada Hari Senin 24 Juli yang lalu, Putusan atas kasus SK, seorang Pekerja Rumah Tangga yang mengalami penganiayaan, penyiksaan, eksploitasi, dan kekerasan seksual disampaikan
majelis hakim PN Jakarta Selatan dengan pidana yang dijatuhkan di antara para terpidana paling tinggi 4 tahun, dengan total restitusi sebesar 275.042.000 rupiah. Dari sekian penderitaan yang telah dialami oleh Korban dan dampaknya jangka panjang ke depan, Putusan tersebut sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan sama sekali. Putusan tersebut telah menunjukkan perspektif dan sikap aparat penegak hukum yang masih belum tuntas memperhatikan pengalaman, diskriminasi dan ketimpangan relasi sosial yang dialami oleh perempuan yang telah dimandatkan PERMA No. 3 tahun 2017 tentang Penanganan
Perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum. Termasuk dalam kasus ini adalah perempuan pekerja rumah tangga yang menghadapi relasi kuasa timpang sehingga pemberi kerja bersikap sewenang-wenang serta tidak menghormati harkat dan martabat pekerja rumah tangga.

Perspektif dan sikap aparat penegak hukum tersebut juga mencerminkan bahwa setelah 39
tahun CEDAW diratifikasi melalui Undang-undang No. 7 tahun 1984, masih terdapat berbagai
diskriminasi terhadap perempuan yang belum dihapuskan, yang dalam hal ini adalah
diskriminasi dalam proses peradilan. Pasal 2 CEDAW secara jelas memandatkan bahwa
negara harus melakukan upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam segala
bentuknya, diantaranya pada huruf (c) untuk menegakkan perlindungan hukum terhadap hak￾hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan
kaum perempuan yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminasi, dan huruf (d) yaitu tidak
melakukan suatu tindakan atau praktik diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai
dengan kewajiban tersebut.

Dalam kasus yang dihadapi SK dan juga yang dialami pekerja rumah tangga lainnya, aparat
penegak hukum juga belum memperhatikan mandat CEDAW Pasal 14, yaitu negara wajib
memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi oleh perempuan di daerah pedesaan
dan peranan yang dimainkan perempuan pedesaan demi kelangsungan hidup keluarga
mereka di bidang ekonomi, termasuk pekerjaan mereka pada sektor ekonomi bukan penghasil uang, dan wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menjaminpenerapan ketentuan-ketentuan. Para pekerja rumah tangga mayoritas perempuan yang berasal dari pedesaan atau kelompok miskin kota telah mengalami diskriminasi ganda sepanjang hidupnya, tidak hanya pada aspek akses sumberdaya ekonomi yang timpang
namun juga diskriminasi gender.

Berbagai kasus lain yang kami cermati menunjukkan bahwa masih banyak perspektif dan sikap aparat penegak hukum yang belum mencerminkan dilaksanakannya mandat CEDAW
untuk menjadikan pengalaman ketidakadilan struktural baik berbasis gender maupun berbagai bentuk relasi sosial lainnya yang dialami oleh perempuan berhadapan dengan hukum yang berpengaruh pada situasi dan posisinya dalam suatu perkara. Dalam kasus anak AG, misalnya, hakim masih mengabaikan posisi AG sebagai perempuan anak dalam mempertimbangkan Putusan sehingga menempatkannya pada Lapas anak sehingga sama sekali tidak mencerminkan pemahaman terhadap kepentingan terbaik bagi anak juga tidak memperhatikan situasi perempuan anak yang rentan mengalami kekerasan dalam Lapas anak. Begitu pula mengabaikan kekerasan seksual yang dialami AG dari aspek adanya faktor relasi kuasa antara orang dewasa dengan perempuan anak yang jelas-jelas sesuai dengan hukum di Indonesia merupakan tindak pidana kekerasan seksual dan melanggar Undang￾undang Perlindungan Anak, dimana adanya kerentanan anak menjadi korban eksploitasi orang dewasa sehingga tindakan hubungan seksual orang dewasa terhadap anak adalah pidana yang tidak perlu dibuktikan adanya persetujuan atau tidak (statutory rape). Kasus￾kasus di atas adalah kasus yang telah menjadi perhatian publik, belum termasuk berbagai kasus yang tidak terpublikasi di media massa yang tidak dikawal oleh masyarakat yang minim dukungan untuk memperoleh proses hukum yang adil dan non diskriminatif.

Bahwa jaminan kesetaraan sebagai warga negara, termasuk di muka hukum, bebas dari
kekerasan dan ketidakadilan, telah dijamin dalam UUD 1945 serta berbagai peraturan perundang-undangan lain setelah ratifikasi CEDAW antara lain UU No. 39 tahun 1999 tentang
HAM, UU No. 12 tahun 2005 tentang ratifikasi hak sipil dan politik. Berbagai peraturan
perundang-undangan yang dapat memperkuat akses keadilan bagi perempuan berhadapan
dengan hukum memang telah diterbitkan yang tak lepas dari dorongan masyarakat sipil baik
dalam bentuk Undang-undang seperti UU PKDRT, UU TPPO, UU Perlindungan Anak, UU Penyandang Disabilitas, dan terakhir UU TPKS, selain itu peraturan perundangan diantaranya Perkapolri No. 10 tahun 2007 mengenai Unit PPA dan PERMA No. 3 tahun 2017 mengenai penanganan perkara perempuan berhadapan dengan hukum.

Meskipun begitu, masih terdapat peraturan perundang-undangan yang kontraproduktif,
seolah netral, namun melemahkan bahkan dapat digunakan untuk mengkriminalkan perempuan korban kekerasan yang sedang memperjuangkan keadilan, diantaranya Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) mengenai transmisi elektronik bermuatan kesusilaan dan mengenai pencemaran nama baik, Pasal 2 KUHP mengenai hukum yang hidup, Pasal 411 KUHP baru pada unsur perluasan perzinaan, juga perspektif diskriminatif yang seringkali timbul dari dampak pembakuan peran gender dalam Pasal 34 UU Perkawinan.

Dari kajian dari berbagai kasus dan juga pengalaman para pendamping perempuan
berhadapan dengan hukum yang telah kami cermati, proses penegakan hukum masih
seringkali mengabaikan pengalaman ketidakadilan gender perempuan beserta aspek
interseksionalitasnya, sehingga masih perlu upaya lebih massif oleh negara untuk melakukan
penguatan sebagai wujud dimandatkan oleh CEDAW.

Oleh karena itu, kami organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU
PPRT, Asosiasi LBH APIK Indonesia, CEDAW Working Group Indonesia, LBH Masyarakat
serta berbagai organisasi yang tergabung dalam penyataan ini, menyampaikan tuntutan
sebagai berikut :

1. Mendesak DPR segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (UU PPRT) sebagai bagian dari komitmen menghapus diskriminasi
terhadap posisi pekerja rumah tangga dan jaminan kesetaraan di muka hukum.

2. Pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh mengenai pelaksanaan CEDAW dalam bidang penegakan hukum serta menyusun peraturan dan strategi percepatan implementasi CEDAW dengan melibatkan unsur masyarakat sipil, terutama pendamping perempuan berhadapan dengan hukum, dalam rangka memastikan pengalaman
ketidakadilan gender yang dialami perempuan dengan berbagai ragam identitasnya
diakomodasi;

3. Pemerintah melakukan upaya revisi dan atau penghapusan terhadap peraturan perundang-undangan yang berpotensi melemahkan perempuan korban, diantaranya
Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE, termasuk potensi dari dampak peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, atau seolah netral namun berdampak dan atau berpotensi diskriminatif baik nasional maupun daerah, seperti Pasal 2 dan 411 KUHP.

4. Pemerintah mewajibkan semua penegak dan aparat hukum, memiliki kualifikasi pengetahuan dan keterampilan/ implementasi CEDAW, dan peraturan turunannya dan menerapkannya dalam proses penegakan hukum pada perempuan berhadapan dengan hukum baik sebagai saksi, korban, maupun pelaku. Negara menyiapkan instrumen pendidikan/pelatihan kepada semua aparat penegak hukum yang harus memastikan
memasukkan mandat-mandat CEDAW;

5. Dalam kaitan dengan kasus kekerasan seksual, Pemerintah harus memastikan mandat
CEDAW secara jelas dan eksplisit diatur dalam substansi PP dan Perpres UU TPKS, terlebih lagi dalam Peraturan turunan mengenai Penanganan, Restitusi, Layanan Terpadu dan Pendidikan dan Pelatihan bagi Aparat Penegak Hukum.
Jakarta, 28 Juli 2023

Narahubung:
Khotimun : 081212210141 (Asosiasi LBH APIK Indonesia)
Organisasi/Lembaga yang menyatakan:
1. JALA Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT)
2. Asosiasi LBH APIK Indonesia
3. CEDAW Working Group Indonesia
4. Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA)
5. LBH Masyarakat (LBHM)
6. Rumpun Gema Perempuan (RGP)
7. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia(YAPESDI)
8. Institute Sarinah
9. Kalyanamitra
10. LBH APIK Semarang
11. LBH APIK Jakarta
12. LBH APIK Sulsel
13. LBH APIK NTT
14. LBH APIK NTB
15. LBH APIK Medan
16. LBH APIK Jawa Barat
17. LBH APIK Kalimantan Timur
18. LBH APIK Yogyakarta
19. LBH APIK Banten
20. LBH APIK Kota Batu Malang
21. LBH APIK Bali
22. LBH APIK Aceh
23. Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2)
24. Indonesia women centre (IWC)
25. Yayasan Hari Ibu (YHI)
26. Yayasan JOUDI
27. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
28. Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC￾KJHAM)
29. Kidung
30. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI)
31. Lembaga Bantuan Hukum ( LBH )APIK Semarang
32. Operata DIY (Warungboto)
33. Suluh Perempuan
34. Rumpun Gema perempuan
35. Bale Nine Lombok Timur
36. Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)
37. PAWG Indonesia

38. ASPPUK
39. Perempuan Mahardhika
40. YAYASAN SUKMA
41. Sikola Mombine-Sulteng
42. Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER -Jakarta
43. Jaringan Akademisi GERAK Perempuan
44. Institute for Women’s Empowerment (IWE)
45. Bhakti Hati Persada (BHATIDA) Indonesia.
46. KAPAL Perempuan
47. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia ( KABAR BUMI)
48. Mitra ImaDei
49. WCC Dian Mutiara Malang
50. Lingkar Studi Advokat
51. Forum Tamansari Bersatu
52. Safety
53. Jaringan Buruh Migran (JBM)
54. Jalastoria
55. Gerakan Penggiat Sulawesi Tenggara (GPS )
56. MALEO Sulteng
57. Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan ( KPKP ) Sulawesi Tengah
58. Komunitas Hanaf-NTT
59. Alpen Sultra
60. Komunitas Perempuan Muda Kendari
61. Metamorfosis Menuju Inklusi
62. Aliansi Perempuan Merangin(APM)
63. HUMANUM
64. FAMM Indonesia
65. Kelas Muda
66. Sekolah Gender
67. Sapuan Blitar
68. Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI)
69. Koalisi Perempuan Indonesia ( KPI )
70. Kalyanamitra
71. Rahima
72. Perkumpulan INA TUNI,Maluku
73. Leaders Institute Gorontalo
74. Cita Madani Institute (CMI)
75. Yayasan Karampuang Mamuju, Sulawesi Barat
76. Grup Aksi Amnesty Amawa Wikreti
77. Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia )
78. Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI)
79. Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia(GERGATIN)
80. Perkumpulan Jiwa Sehat(PJS)
81. Komunitas Peduli Perempuan dan Anak ( KPPA Sulteng
82. Yayasan Cahaya Perempuan WCC – Bengkulu
83. Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
84. Yayasan Yogasmara
85. PESADA – SUMUT
86. Perkumpulan OHANA
87. IDP Purworejo
88. PPD Klaten

89. Pemberdayaan Tuli Buta (PERMATA)
90. Sikola Mombine – SM Sulawesi Tengah
91. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari- YBLL Bali
92. Commitment for Change consulting ( KoUP ) – Jakarta
93. SP Kinasih
94. Partnership for Governance Reform ( Kemitraan)
95. Lembaga Bantuan Hukum Semarang ( LBH Semarang)
96. Jaringan Advokasi Tambang – JATAM Sulteng
97. Yayasan Pendidikan Rakyat ( YPR )Sulteng
98. Yayasan Tanah Merdeka ( YTM) Sulteng
99. Yayasan SHEEP Indonesia, D.I Yogyakarta
100. Yayasan Yekti Angudi Piadeging Hukum Indonesia ( YAPHI) Jawa Tengah
101. KOPRI PMII Komisariat Tarbiyah Cabang Surabaya Selatan