Kebijakan Pembangunan Sjafruddin Prawiranegara: Refleksi untuk seminar Paramadina: “Pergulatan Tokoh-Tokoh Kemerdekaan dan Relevansinya untuk Indonesia Kini
Oleh Pipip A. Rifai Hasan Ph.D
Dari Redaksi: Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC), Universitas Paramadina dalam rangka perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2023, Kamis pekan ini, menyelenggarakan Webinar Nasional bertopik: “Pergulatan Tokoh-Tokoh Kemerdekaan Serta Relevansinya untuk Indonesia Kini (Dari Haji Agus Salim, Soekarno, Hatta, Sjahrir dll) ‘’. Para Pembicara dalam webinar yang dibuka Prof Didik J Rachbini PhD itu melibatkan para panelis antara lain :Pipip A. Rifai Hasan, Ph.D (Ketua PIEC Paramadina), Sigid Edi Sutomo (Tokoh Fokal UI), Ir. Agus Tanzil Sjahroezah MPA (teknolog/alumnus Harvard University), Dr. Herdi Sahrasad (dosen Universitas Paramadina), Gratia Wing Artha MA (sosiolog muda Unair Surabaya),dan Dr. Al Chaidar (Pakar studi Terorisme dan antropolog Unimal Aceh).Catatan reflekstif Pipip A. Rifai Hasan Ph.D ini merupakan risalah pokok- pokok pikirannya untuk webinar nasional tersebut. Selamat membaca.
JAKARTASATU.COM— Prof Herbert Feith dalam bukunya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, mengkategorikan dua tipe kepemimpinan di Indonesia di masa Demokrasi liberal. Pertama, pemimpin yang bertipe solidarity-makers (penggalang solidaritas) yang berpusat pada figur Soekarno (Bung Karno). Tipe kedua adalah pemimpin yang bertipe administrator dengan tokohnya adalah Mohamad Hatta (Bung Hatta).
Para pemimpin tipe pertama, lebih menekankan pada ide, visi, dan semangat revolusioner. Semangat untuk Merdeka dari berbagai bentuk penjajahan, mengangkat harga diri yang terhina akibat penjajahan, semangat untuk maju dan sejajar dengan bangsa lain yang telah maju, merupakan senjata utama untuk merdeka dan mengisi kemerdekaan. Ini tercermin dari slogan Bung Karno, revolusi belum selesai (On Going Revolution) dan penentangannya terhadap neo-kolonialisme dalam bentuk nasionalisasi perusahaan asing. Akibatnya, kepemimpinan tipe ini kurang peduli pada hal-hal yang bersifat detail dan konkret, yang justru menjadi ciri utama kepemimpinan administrator. Bung Karno menyindir kepemimpinan tipe administrator sebagai Textbook Thinking.
Sementara berpikir rasional berdasarkan realitas dan perhitungan terhadap kemampuan dan kondisi negara pada waktu itu, merupakan ciri utama kepemimpinan administrator. Ciri lain dari kepemimpinan yang bisa juga disebut teknokratis ini adalah bagaimana ide-ide besar itu bisa diterapkan secara praktis di berbagai bidang pembangunan bangsa. Menurut Bung Hatta, revolusi sudah selesai. Sebuah gerak singkat yang mengubah secara fundamental kondisi lama. Sekarang saatnya untuk mewujudkan cita-cita revolusi dalam bentuk yang konkret, yang nyata. Misalnya, bagaimana membangun negeri yang baru merdeka itu lewat kebijakan yang masuk akal (reasonable), bagaimana menanggulangi kelebihan personel dalam tubuh tentara (rasionalisasi), bagaimana menanggulangi inflasi, bagaimana mengatasi kekurangan modal untuk membiayai pembangunan di tengah keterbatasan keuangan negara, dst.
Dalam dua konteks di atas, Syafruddin termasuk dalam tipe pemimpin administrator-rasional. Sedangkan dalam dua pilihan antara demokrasi dengan kemakmuran ekonomi, Sjafruddin tidak melihatnya sebagai 2 hal yang bertentangan. Tapi keduanya harus berjalan bersama, keduanya saling mendukung dan memperkuat di atas dasar prinsip keadilan sosial. Model idealnya adalah negara negara Skandinavia dengan tambahan landasan moral & spiritual.
Rasionalitas ekonomi Sjafrudin adalah keadilan sosial sebagai guiding principle terhadap Pembangunan dan prioritas Pembangunan manusia ketimbang modal. Sedangkan tujuan Pembangunan itu sendiri adalah upaya mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial dan manusia yang berakhlak/bermoral. Prioritas ini akan menjamin Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan menumbuhkan masyarakat yang tidak hanya sejahtera secara materi namun juga berorientasi pada kehidupan ruhani/spiritual dan bermoral/etis. Orientasi hidup semacam ini akan mampu menghadapi praktik konsumtif dan gaya-hidup kapitalisme modern. Oleh karena itu pembangunan ekonomi harus dimulai dengan penyucian jiwa atau upaya pembebasan kondisi moral individu manusia dari mengutamakan materi di atas kebahagiaan ruhani dan kehidupan yang didasari moral dan etika. Pembangunan ditujukan untuk mencapai kemakmuran materi dan kebahagiaan ruhani sekaligus.
Sjafruddin juga menyuarakan tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan dan pencegahan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Pemanfaatan sumber daya alam harus dibatasi dan diatur agar tidak merusak lingkungan hidup. Singkatnya pembangunan yang dikehendaki adalah sustainable development yaitu memakmuran kehidupan manusia sekaligus merawat kelestarian dan keharmonisan lingkungan alam. Pemikiran pembangunan Sjafruddin Prawiranegara nampak masih relevan hingga kini.
(Pipip A. Rifai Hasan Ph. D., dosen senior Program Magister Studi Islam, Universitas Paramadina, Jakarta)