Bevitri Susanti : Negara Otoriter Mempersempit Ruang Civil Society  untuk Berbicara.

53

Bevitri Susanti : Negara Otoriter Mempersempit Ruang Civil Society  untuk Berbicara.

JAKARTASATU.COM— Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jantera Bivitri Susanti menyoroti maslaah hukum yang bisa membungkam masyarakat sipil. Logika sederhananya adalah masyarakat mengkritik, mengungkapkan sesuatu yang salah, buruk maka harus ditutupi. Itu dasarnya. Dalam konteks pemerintah, negara kritikan-kritikan masyarakat terhadap  kebijakan-kebijakan pemerintah juga demikian. Dari masyarakat kepada pemerintah pasti kecenderungannya untuk dibungkam. Agar supaya tidak ada yang biacara, diungkap. Alat yang paling enak digunakan oleh penguasa adalah hukum.

“Karena hukum yang dianggap legitimate. Bisa digunakan membangun, meruntuhkan, memaksa, menggusur misalanya masyarakat adat yang sudah menempati tempatnya ratusan tahun dimana masyarkat tidak memiliki sertifikat maka atas nama hukum masyarakat adat dikalahkan. Sementara koorporasi yang mendapatkan sertifikat entah dengan cara apa akhirnya masyarakat adat berhasil digusur,” salah satu contoh disampaikan Bivitri Susanti dalam diskusi publi bertajuk  “Kritik Dijawab Penjara” diselenggarakan oleh KAMI (Kolalisi Menyelamatkan Indonesia), Jakarta 11/8/2023.

Bivitri mengatakan Karakter negara yang otoriter pasti akan mempersempit ruang bagi civil society untuk berbicara. Mengapa? Karena untuk menutupi agar sesuatu tidak terbongkar. Cara-cara seperti ini di masa lalu dan masa sekarang sama, hanya metodenya yang berbeda. Pada dasarnya secara masif ditutupi, terus menenus sehingga tidak boleh sedikitpun ada kesempatan terbuka sekecil apapun.

Menyempitnya ruang berpendapat ini lanjut Bivitri adalah warga tidak ada kesempatan bebicara. Masyarakat harus faham apa itu negara dan apanitu masyarakat/warga. Negara itu sesungguhnya adalah adanya warga, negara tidak akan ada kalau tidak ada warga, takyat. Penguasa itu mendapat mandat dari rakyat. Jadi negara adalah rakyat yang berdaulat. Negara tidak hanya ada ya simbol-simbol tetapi adalah rakyat yang berdaulat. Pemerintah diberikan mandat oleh rakyat untuk menjadikan rakyat sejatera.

“Sangat sedih di Papua 7 orang meninggal karena kelaparan. Saya tersetak, sedih keadaan seperti ini,” ungkap Bevitri merasa getir.

“Padahal rakyat yang punya suara di pesta demokrasi. Demos cratos, seharusnya rakyat yang menentukan jalannya negara ini,” tegasnya.

Karena proses demokrasi memerlukan perwakilan, melahirkan adanya wakil-wakil rakyat . Ini saluran rakyat, tapi apabyang terjadi dengan saluran ini ? Salurannya tersambung antara rakyat dengan perwakilannya ?

“Ga nyambung, kemarin saja demo UU Cipta Kerja Omnimuslaw tanggal 10 Agustus 2023 hingga tengah malam, apakah didengar?. Tidak,” terang Bevitri.

Selain buruh kata Bevitri, para dokter demo UU Kesehatan Omnibuslaw di depan Gedung DPR-MPR, juga tidak didengar, buktinya yang  diketok palu disyahkan bukan dari aspirasi para dokter, tenaga kesehatan yang pro rakyat.

“Saluran lainnya dalam demokrasi adalah media berpendapat. Negara demokrasi semestinya memberikan ruang berpendapat di media, medianya jalanan, media sosial. Tapi karena penguasa tidak mau kebobrokannya terbongkar,  sura-suara yang tidak terhubung atau tidak nyambung ke gedung perwakilan rakyat maka suara rakyat ditutup dengan hukum,” beber dosen ilmu hukum ini

Peta kegelisahan rakyat  dalam lingkar negara, penguasa hukum.

Bivitri soroti soal pengenaan pasal. Pasal penyiaran berita bohong, membuat keonaran hukumannya 10 tahun. Kemudian pasal berikitnya barangsiapa yang menyiarkan kabar yang tidak pasti, berlebihan atau yang tidak lengkap sedangkan ia mengerti bahwa hal itu skan menerbitkan keonaran dihukum penjara setinggi-tingginya 2 tahun.

“Dan yang sering dipakai adalah UU ITE, sebagaimana dikenai terhadap Jumhur Hidayat, Syahganda, Anton Permana, Haris Azhar-Fatia. Dan mungkin dikenai terhadap Rocky Gerung,” ungkapnya

Terkait penafsiran hukum jelas Bivitri, pasal ini sangat karet. Letak karetnya adalah dikenakan penyiaran bohong. Baiknya diuji saja apakah frasa serti yang terjadi pada Rocky, dibuktikan saja dalam sidang, panggil presidennya apakah bisa menjawab bukti adanya kebohongan.

“Saya melihatnya yang lapor-lapor itu pansos,” tutupnya. (Yoss).