Kok Cemen sih.
Oleh: Syafril Sjofyan *)
“Ah… cemen lu” kadang konteksnya ga selalu ejekan serius, karena itu bisa dalam konteks candaan. Jika ada yang curhat tentang masalah pribadinya. Cemen (istilah Sunda) cemen artinya lembek, lemah, ga keren, dsb. Kata cemen sering dipakai kalangan milineal. Juga populer dikalangan netijen di dunia medsos .
Apa fatsal, komentar yang muncul dalam mengikuti pidato kenegaraan Presiden Jokowi di sidang tahunan dan resmi MPR-RI dalam rangka hari Proklamasi (16/8). Setelah sembilan tahun Presiden Jokowi berkuasa. Pada kesempatan tersebut dalam pidato tanpa teks Jokowi berkeluh kesah tentang dirinya yang di bully/ perundungan, serta “menyesalkan” kenapa perkembangan masyarakat Indonesia kok begitu.
Jika dianggap bully dalam arti perlakuan kekerasan dan sebaran hoaks oleh rakyat kepada pejabat. Bukankah penguasa, karena kekuasaannya juga sangat ahli menciptakan bully an, perundungan/ kekerasan dan hoax/ kebohongan karena penguasa punya infrastruktur sangat lengkap untuk melakukan ataupun tidak melakukannya.
Semua tergantung kebijakan sang penguasa. Ketidak adilan hukum itu perundungan. Apalagi menembak mati rakyat 6 syuhada di KM 50 dan menangkap peserta unras serta perlakuan kekerasan dalam aksi unjuk rasa oleh aparat itu perundungan.
Tentang hoaks atau kebohongan. Bukan kah fakta tentang Mobil Esemka. Tentang 11.000 triliun di Kantong. Adalah Hoax. Jika dirinci tentu banyak hoax yang diciptakan. Bisa jadi ini menjadi teladan negatif buat rakyat, sehingga menjadi salah satu penyebab gagalnya Revolusi Mental yang didengungkan oleh Jokowi.
Kedengaran aneh memang, karena tugas Presiden yang diberi amanah oleh rakyatnya dan diberikan kekuasaan besar untuk me “drive” bangsanya. Membangun karakter building rakyat melalui adalah Revolusi Mental yang menjadi jargon awal Jokowi. Sepertinya arahan tentang hal tersebut tidak pernah lagi didengar. Baik setiap tahun pidato kenegaraan dan pada pidato kesembilan pada hari kemerdekaan. Munculnya keluhan atau curhatan Jokowi.
Bukan kah artinya keluhan Jokowi meludah kelangit terpercik muka sendiri. Menjadi suatu fakta ketidak berhasilan dalam membangun karakter bangsa. Sedang hal tersebut merupakan tugas utama. Mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanah UUD 45.
Atau bisa jadi Presiden Jokowi sedang memainkan peran Playing Victim. Pada akhir masa jabatannya, untuk dikasihani. Karena seharusnya pada pidato resmi kenegaraaan Presiden seharusnya menyampaikan hal yang sangat substansial tentang kondisi bangsa dan arah ke depan.
Bukan saja tentang keberhasilan tetapi juga tentang kendala yang dihadapi kedepan, tentang membangun demokrasi, tentang mengurangi hutang Negara, tentang Korupsi yang meraja lela serta sangat luar biasa di masa pemerintahanya.
Ataukah memang ada Jokowi “kepanikan” power syndrom, mendekat kepada akhir kekuasaan. Jadi rakyat biasa. Tanpa ada perlindungan kekuatan oligarki partai. Hanya sebagai petugas partai. Juga tanpa dukungan oligari Ekonomi para taifan, pindah ke lain hati penguasa baru. Mereka sudah tidak lagi memerlukan. Kita hanya bisa “menduga” kegalauan Jokowi. Sehingga “cemen”, cengeng tidak ada lagi kegagahan kekuasaannya. Lame Duck.
Selamat HUT Proklamasi ke 78 Republik Indonesia. Kedepan warisan yang ditinggalkan kepada Pemerintahan selanjutnya dan kepada pewaris bangsa terutama kalangan milineal dan gen- Z sangat berat. Hutang yang menjadi tanggungan dan beban Negara luar biasa besar, di lakukan pemerintah Jokowi maupun oleh BUMN. Korupsi maha hebat yang belum terselesaikan. Kemiskinan dan Penggangguran yang meningkat.
Bandung, HUT Proklamasi ke 78, 17 Agustus 2023
*) Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78