Pemilu 2024 belum terlalu dekat, namun suhu politik sepertinya semakin memanas dan memunculkan berbagai macam prediksi yang menarik. Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) dan juga senior jurnalis Hendrajit mengungkapkan pendapatnya dalam wawancara khusus dengan Jurnalis JAKARTASATU.COM.
JAKARTASATU.COM – Terkait dengan bergabungnya Partai Golkar dan PAN ke dalam koalisi Gerindra dan PKB yang menjagokan Prabowo sebagai Capres 2024 mendatang, muncul berbagai asumsi bahwa hubungan Presiden Jokowi dengan Ketua Umum PDIP, Megawati sedang tidak baik-baik saja.
“Sempat terbersit pertanyaan dari beberapa sejawat saya, apa benar Megawati dan Presiden Jokowi saat ini terlibat konflik. Dan konfliknya yang terkesan semakin memanas di jagad politik nasional itu memang beneran atau sekadar sandiwara?” ujar Hendrajit membuka analisanya.
Menurut Hendrajit, memang susah menggambarkan hubungan antara Jokowi dan Megawati yang kebetulan merupakan partai pengusung dirinya sebagai calon presiden selama periode 2014-2019 dan 2019-2024, jika tidak menelisik riwayat kesejarahan hubungan keduanya.
“Jokowi kalau dilihat dalam konteks sebagai kader PDIP, mantan walikota Solo dan mantan gubernur DKI ini memang tergolong outsider alias orang luar. Namun kalau menelisik jejaring relasi Megawati dengan beberapa sesepuh nasionalis di Jawa Tengah, yang pada perkembangannya memunculkan duet Jokowi-Felix Rudiatmo sebagai walikota Solo, saya berani menyimpulkan bahwa di tataran hubungan personal Megawati-Jokowi, sejatinya tetap solid,” lanjut Hendrajit. “Sehingga perjalanan karir politik Jokowi yang lancar jaya dari walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga Presiden RI, bisa terjelaskan melalui adanya hubungan erat Megawati dengan beberapa tokoh senior dan sesepuh PNI Jawa Tengah, khususnya Surakarta, yang sebenarnya secara organik berada di luar PDIP sebagai partai pengusung Jokowi. Artinya, Jokowi jadi presiden merupakan buah dari kerja politik jejaring non-organik PDIP sebagai partai pengusung Jokowi baik sebagai walikota Solo, gubernur DKI maupun presiden.”
Menurut Hendrajit, kalau kita menyorot sinyalemen adanya konflik internal antara PDIP (baca: Megawati) versus Jokowi sebagai presiden, maka yang harus disorot, konflik Mega-Jokowi dalam konteks apa dulu. Apakah yang berkonflik dengan Jokowi itu Megawati sebagai representasi organik PDIP atau Megawati yang berkonflik dengan Jokowi sebagai entitas politik non-organik PDIP? Konflik Mega-Jokowi dalam angle non-organik PDIP. “Saya kira Mega-Jokowi tetap solid, mengingat fakta bahwa Jokowi itu karir politiknya bisa lancar jaya karena buah kerja politik jejaring politik Mega yang non-organik PDIP,” simpulnya.
“Lantas, bagaimana kalau dipandang dalam konteks konflik antara PDIP (baca: Megawati representasi organik partai) versus Jokowi? Nah kalau ini, sangat mungkin terjadi mengingat fakta bahwa sosok Jokowi maupun Ganjar Pranowo sekalipun, tidak sedikit yang menentang keras pencalonan Jokowi sebagai capres. Apalagi kalau kita telisik secara lebih jeli, berbagai faksi internal PDIP yang sejatinya dulu termasuk gerbongnya alm Taufik Kiemas, suami Megawati, saat ini bertumpu pada Puan Maharani sebagai lokomotifnya para politisi parpol PDIP yang dulunya berada di gerbongnya Taufik Kiemas. Nah mereka-mereka ini sebenarnya lebih senang kalau yang dicalonkan sebagai capres adalah Puan Maharani. Bahkan mereka ini cukup puas bila Puan jadi cawapres pendamping capres kubu lain. Seperti misalnya Anies Baswedan maupun Prabowo Subianto,” urai Hendrajit.
“Namun senyatanya, Mega selaku ketua umum PDIP tetap mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres. Maka pupuslah sudah angan-angan bebeberapa politisi senior PDIP untuk menyandingkan cucu Bung Karno itu sebagai cawapres pendamping Prabowo atau Anies,” lanjutnya.
Menurut Hendrajit, di sinilah pertanyaan awal tadi apakah kesan adanya konflik Mega-Jokowi itu memang beneran atau cuma sandiwara. Jika mengikuti alur cerita yang telah diungkapkan Hendrajit di depan, maka di tingkat pucuk pimpinan, yaitu Mega dan Jokowi secara pribadi, bisa jadi sengaja atau tidak, kesan adanya konflik yang bergulir di antara keduanya menurutnya bisa jadi cuma sandiwara.
“Sekadar untuk memanaskah suhu politik yang sebenarnya sumbernya bukan pada kedua sosok tersebut. Tapi karena gayung bersambut dengan kegelisahan dan kegalauan di kalangan partai-partai oligarki yang sedang kebingungan karena mereka merasa kok opsi pilihan di hadapan mereka Cuma dua, milih Ganjar atau milih Prabowo,” ujar Hendrajit.
Menurutnya, di situlah kegalauan partai-partai oligikar seperti Golkar, PAN, dan Demokrat yang seakan dipaksa harus milih antara Ganjar atau Prabowo, bersinggungan dengan para politisi PDIP organik yang sebenarnya memendam keberatan atas diusungnya Ganjar sebagai capres. Sehingga para politisi PDIP dari gerbong warisan Taufik Kiemas yang saat ini dipimpin Puan, melakukan tektokan dengan para politisi parpol jumbo seperti Demokrat, Golkar dan PAN, yang menghendaki adanya perubahan kocok ulang meninjau kembali pencalonan Ganjar. Atau setidaknya, mengupayakan pengkondisian agar cawapres pendamping ganjar mengakomodasi sosok yang mewakili kepentingan partai-partai oligarki tersebut.
Alhasil, perseteruan Mega-Jokowi yang tercipta di lapisan menengah dan bawah, terkesan lantaran penyikapan Jokowi yang dinilai PDIP cenderung pro Prabowo ketimbang Ganjar. Padahal akibat fokus menyorot episode tersebut, malah justru mengabaikan sebuah fakta penting bahwa selain Ganjar dan Prabowo, ada capres lain di luar Ganjar dan Prabowo, yaitu Anies Baswedan yang hingga kini tetap solid dalam dukungan koalisi perubahan yang terdiri dari Nasdem, PKS dan Demokrat.
Pada tataran ini, Hendrajit berpendapat semua pemerhati politik dan media justru tidak membaca secara jeli perundingan-perundingan politik yang sedang berproses antara Puan sebagai representasi PDIP dan AHY sebagai representasi Demokrat. Yang mana secara de fakto yang berunding sesungguhnya adalah Megawati dan SBY. Menariknya, keduanya berunding bukan untuk power sharing. Melainkan menyelaraskan agenda. Mungkinkah agenda strategis keduanya bisa menyatu? Justru di sinilah dinamika politik nasional yang sesungguhnya. Katakanlah SBY dan Mega lewat AHY dan Puan sebagai proxy keduanya mencapai mufakat.
Lantas bagaimana nasib Anies Baswedan? Di sinilah Hendrajit melihat politik sebagai seni membuka kemungkinan baru bisa tercipta. Jikalau Mega-SBY mencapai mufakat pada tataran agenda, bukankah koalisi perubahan dan PDIP pun terjalin sebuah aliansi strategis yang solid dan bukan cuma koalisi taktis jangka pendek bagi-bagi kue kekuasaan?
“Ketika Mega-SBY mencapai mufakat, maka Puan+AHY = Anies Baswedan? Ketika kita sepakat politik tidak sama dengan hitungan matematika, maka politik sebagai seni membuka berbagai kemungkinan baru, maka duet Ganjar-Anies atau Anies-Ganjar bukan sesuatu yang mustahil,” ujar Hendrajit menutup wawancara. |Yoss-Jaksat